IMAJINASI

Judul asli tulisan ini adalah “PENTINGNYA DAYA IMAJINASI: KEMBALI KE KHITTAH KTSP DAN BELAJAR DARI THE FREEDOM WRITER” yang saya buat sebagai persyaratan untuk uji kepatuhan dan kelayakan seleksi pimpinan sekolah Al Hikmah.

Di belahan dunia lainnya, Marlo Thomas adalah salah satu artis dan aktivis sosial yang terkenal di Amerika. Pada suatu kesempatan, ia membuat sebuah lelucon tentang ironi di dunia pendidikan. Ia bercerita tentang kejadian di taman kanak-kanak. Seperti biasanya, guru meminta anak-anak untuk menggambar bebas. Di tengah-tengah proses menggambar, sang guru pun berkeliling kelas dan menanyai satu persatu siswanya tentang apa yang sedang mereka gambar. Hingga ia sampai kepada seorang siswa perempuan yang menggambar sesuatu yang menurut sang guru sangat unik. Dia pun bertanya kepada siswanya “what are you drawing?”. Anak tersebut tanpa melihat wajah sang guru menjawab “I am drawing the picture of God.” Sang guru pun kaget dengan jawaban anak itu. Ia melanjutkan pertanyaan “But nobody knows what God looks like?”. Dengan entengnya anak itu pun menjawab “They will in a minute.” (Huffington Post, 2012) 

Dalam cerita ini sebenarnya Marlo ingin menjelaskan bahwa betapa anak kecil sangat percaya diri dalam berimajinasi. Namun kebanyakan dari kita, kehilangan kepercayaan diri itu seiring dengan bertambahnya usia kita. Hal itu dapat kita lihat ketika kita bertanya tentang suatu hal kepada anak-anak SD di depan kelas, banyak dari mereka yang dengan percaya dirinya akan berebut menjawab pertanyaan itu dan mengacungkan tangan. Meskipun kita tahu, terkadang pertanyaan dan jawaban mereka jauh melenceng dari topik pembahasan. Namun setidaknya banyak dari anak-anak tersebut berani dan percaya diri untuk bertanya. Kondisi berebeda ketika dosen atau pemateri seminar meminta audiensnya untuk menjawab pertanyaan atau menanyakan sesuatu, sangat sedikit dari mereka yang berebut baik menjawab atau mengajukan pertanyaan. 

Ironisnya, berkurangnya rasa percaya diri dalam berimajinasi ini salah satunya disebabkan oleh sistem pendidikan kita. Secara umum, ada tiga hal yang mendasari sistem pendidikan kita termasuk dipraktikkan oleh Al Hikmah (Robisnon, 2009). Pertama adalah adanya tes masuk yang sifatnya akademik. Tes akademik ini penting, tapi kata “akademik” sendiri tidak harus identik dengan angka. Kedua, adanya hirarki mata pelajaran. Pada bagian atas hirarki terdapat Matematika dan IPA, sedangkan di tengah adalah ilmu-ilmu sosial, dan paling bawah adalah seni. Jumlah jam pelajaran bisa menjadi bukti. Yang ketiga adalah kebergantungan kepada tes terstandar sebagai alat ukur kemampuan siswa. Sistem sekolah ini adalah sistem lama ketika dunia pertama kali mengalami revolusi industri yang bermula di Inggris. Banyak pabrik-pabrik bermunculan dan membutuhkan tenaga manusia. Untuk mempermudah dalam rekrutmen, maka dibuatlah kebijakan sekolah. Di mana kemampuan siswa distandarkan berdasarkan usia, diajarkan mata pelajaran yang sama, kemudian dilabeli mana manusia dengan kategori A, kategori B, dan kategori C. Kemudian pabrik akan menyerap sesuai kebutuhan mereka. Model pendidikan ini saya sebut sebagai model sekolah Viktorian yang akan saya tuliskan tersendiri.

Padahal, kita tahu bahwa setiap manusia itu unik. Bahkan sesama saudara kandung pun, fisik, kecenderungan, bakat, dan kepeminatan kita berbeda. Sementara, sekolah memaksa anak-anak untuk menjadi sosok yang seragam. Mereka semua “harus” mendapatkan nilai Matematika di atas 80, IPA 75, dan Bahasa Inggris di atas 70. Hal ini disebut Paolo Freire (1968) dalam bukunya sebagai Pedagogy of Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), hal yang mengekang membuat anak-anak takut melakukan kesalahan, sehingga mereka tidak berani mencoba, hal ini tidak mungkin bisa melatih anak untuk berpikir kreatif dan imajinatif. Sementara zaman berubah begitu cepat. Revolusi Industri memasuki era 4.0. Dalam laporan tahun 2018, World Economic Forum memprediksi bahwa pada tahun 2022, peran manusia dalam dunia industri akan digantikan oleh robot (automation) sebesar 50%. Sementara jika anak-anak kita masuk SMP Al Hikmah Boarding School pada tahun 2020, artinya pada usia kerja mereka nanti, prosentase robot dalam dunia industri bisa diprediksi semakin besar dengan terus berkembangnya teknologi intelegensi buatan (artificial intelligence). Alec Ross (2016) mengatakan bahwa masa depan akan sangat berbeda dan sulit diprediksi. Sementara sekolah masih melakukan hal yang sama dengan apa yang dikerjakan sekolah 2 abad yang lalu. Futurist asal Israel Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (2015) menegaskan bahwa manusia sebenarnya bisa belajar dari masa lalu, dari nenek moyang kita, tentang apa yang membuat manusia menjadi makhluk yang paling berkuasa dan bertahan di bumi ini, yaitu kemampuan berimajinasi secara kolektif. Setiap kreasi selalu berawal dari imajinasi. Leawt imajinasi kita tidak hanya bisa memikirkan sesuatu yang pernah kita alami, kita juga bisa memikirkan tentang sesuatu yang belum pernah kita alami sama sekali. Sama seperti anak kecil tadi yang sedang menggambar tuhan. 

Imajinasilah yang membawa kita dari hidup di hutan dan di gua menjadi hidup di perkotaan seperti saat ini. Imajinasi pula yang membawa kita dari penunggang kuda hingga sekarang menjadi penunggang mobil mewah. Bayak tokoh-tokoh yang berhasil membawa perubahan karena imajinasinya. Sukarno, Hatta, Syahrir, Yamin adalah orang-orang yang memiliki imajinasi kuat tentang negara berdaulat. Steve Jobs, Bill Gates, Jeff Bezoz, Mark Zuckenberg Nadim Makarim adalah orang-orang yang tak perlu diragukan lagi daya imajinasinya hingga mencipatakan produk-produk digital yang fenomenal seperti yang kita nikmati saat ini. Dan yang paling saya ingat adalah cerita guru mengaji saya tentang bagaimana Rasulullah Muhammad Saw., yang pada saat perang Khandaq, ketika itu, beliau memukulkan palunya ke sebuah batu yang sulit dipecahkan sambil berucap “Allahu akbar ! aku telah di beri kunci-kunci Syam. Demi Allah, sekarang saya melihat istana yang merah.” Beliau melanjutkan dengan pukulan kedua. Kali ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berhasil menghancurkan sepertiga berikutnya dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Allahu akbar ! aku telah di beri kunci-kunci Persia. Demi Allah ! Saya melihat istananya yang putih.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan pukulan ketiga dan akhirnya batu yang tersisa berhasil dipecahkan. Setelah pukulan ketiga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Allahu akbar ! aku telah di beri kunci-kunci Yaman. Demi Allah aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.” (HR. Bukhari Muslim). Dan sepeninggal beliau, para sahabat yang tentunya memiliki imajinasi yang sama tentang hadis Rasul ini, terus berusaha untuk mewujudkan apa-apa yang diucapkan oleh Rasulullah, sehingga saat ini ketiga wilayah tersebut berhasil dikuasai oleh Islam. Inilah kekuatan imajinasi. 

Sebagai wakil kepala sekolah bidang Kurikulum SMP Al Hikmah Batu, kebijakan kurikulum yang saya buat haruslah berpihak kepada siswa dan menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Salah satu yang harus dikerjakan adalah reorientasi kurikulum kita. Kebijakan yang menurut saya ekstrim tapi patut dicoba adalah kembali ke khittah KTSP. Sesuai namanya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sekolah berhak untuk menyelenggarakan, mengembangakan, serta menyesuaikan bentuk kurikulum berdasarkan kondisi dan kebutuhan sekolah. Kebutuhan sekolah berarti juga berdasarkan kebutuhan masing-masing peserta didik yang unik dan berbeda. Sementara ini, kita masih terjebak pada paradigma “ikut dinas pendidikan” disertai model kepengawasan yang “kalau tidak seperti ini ya salah”. Sehingga, asumsi saya, model kurikulum yang kita kerjakan tidak menjawab permasalahan yang ada.

Memang dibutuhkan penelitian untuk membuktikan asumsi saya di atas. Tapi, berdasarkan pengalaman saya yang sudah 4 kali menjadi panitia penerimaan peserta didik baru di Al Hikmah, berdasarkan hasil tes masuk, ada setidaknya 3 kategori siswa. Siswa yang pertama adalah siswa yang memang melewati passing grade yang telah ditentukan, dan memang berhak untuk masuk di sekolah Al Hikmah terutama di sekolah menengah. Jumlah kategori ini tidak begitu banyak mungkin sekitar 10 hingga 15 persen dari jumlah siswa yang diterima. Kategori yang kedua adalah kategori siswa yang hasil tes masuknya bisa ditoleransi. Kategori ini biasanya mendominasi sekitar 30 – 40 persen. Dan yang terakhir adalah kategori yang dipaksakan untuk masuk. Kategori ini sama dengan kategori yang pertama.

Dari tes masuk ini saja, kita sudah mendapatkan setiap siswa memiliki kemampuan akademis yang berbeda. Rentangnya bisa jadi sangat lebar. Sementara, kita kelompokkan mereka dalam satu ruangan bernama kelas. Kita memberikan pelajaran yang sama, jam yang sama, porsi yang sama, dan kita evaluasi dengan alat ukur yang sama. Dan hasilnya sudah bisa diduga, mereka yang sering tampil di banner sekolah, di LCD sekolah, di atas panggung untuk menerima pengharagaan sebagai siswa teladan adalah mereka dari golongan 10 hingga 15 persen tadi. Sementara sisanya adalah anak-anak “biasa” (meskipun sebenarnya mereka luar biasa) yang mungkin merasa “tidak pernah mendapatkan apresiasi dari sekolah.” 

Selama ini, kita terjebak pada paradigma bahwa pendidikan adalah sebuah proses industrialisasi. Kita mencetak lulusan-lulusan dengang grade-grade tertentu, melalui data-data yang dihitung dengan angka-angka. Dan kita mengharapkan angka-angka itu semakin hari semakin meningkat. Guru-guru kita sibuk menyiapkan anak-anak agar lulus ujian nasional dengan nilai yang tinggi. Sementara itu, pada dasarnya pendidikan bukanlah sistem mekanik yang bisa dihitung dengan angka-angka lewat tes-tes terstandar. Pendidikan adalah tentang manusia. Manusia yang mau belajar dan manusia yang tidak mau belajar. Dan masing-masing mereka mempunyai alasan untuk melakukannya. Bisa jadi karena mereka merasa yang mereka pelajari adalah sesuatu yang membosankan, atau tidak relevan, atau mereka merasa ada ketidak cocokan antara yang mereka pelajari di sekolah dengan kehidupan mereka di luar sekolah, atau hal-hal lain yang kita tutupi dengan kalimat “anak ini memang sulit dalam belajar.” 

Manusia adalah mahluk organik. Dan sebagai makhluk organik ia membutuhkan kondisi dan lingkungan yang pas untuk tumbuh (Robisnson, 2009). Lingkungan yang tidak pas, termasuk di dalamnya kurikulum dapat menghambat atau bahkan mematikan pertumbuhan mereka. Pada kondisi ini daya imajinasi mereka mati. Sekali lagi ini butuh penelitian yang mendalam, tapi pernahkah kita merasa bahwa anak-anak kita tidak hanya belum bisa merencanakan dengan baik bagaimana meraih impian mereka, bahkan sebagian besar dari meraka tidak tahu apa yang akan mereka inginkan di kemudian hari. 

Al Hikmah membutuhkan kurikulum yang lebih personal atau yang biasa disebut sebagai personalised learning. Pembelajaran yang dipersonalisasi memprioritaskan pemahaman yang jelas tentang kebutuhan dan tujuan masing-masing siswa dan kegiatan pembelajaran menyesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan tujuan siswa tersebut. Teknologi memiliki peran penting dalam kompleksitas proses personalisasi. Ketika didukung dengan baik oleh para guru, ini dapat membantu siswa belajar secara mandiri dan bekerja dengan kecepatan mereka sendiri. Teknologi juga dapat memungkinkan pendidik untuk mengambil pendekatan yang lebih pribadi dalam pengajaran mereka dan kegiatan lain yang mereka lakukan untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan siswa. Dan tidak seperti sekolah-sekolah pada umumnya, Al Hikmah memliki potensi untuk dapat melakukan personalised learning di sekolahnya. 

Riset dari RAND Corporation yang didanai oleh billioner Bill Gates dan istrinya (2017) menunjukkan bahwa personalised learning berdampak positif terhadap hasil belajar siswa dalam bidang Matematika dan Literatur. Temuan lain dari riset tersebut adalah bagaimana siswa yang pada saat masuk sekolah nilainya berada di bawah standar nasional, berhasil meraih nilai standar nasional di akhir tahun pelajaran. Dan setelah dua tahun belajar dengan pendekatan personalised learning, mereka mampu melampaui standar nasional. Yang lebih meyakinkan saya sistem ini bisa berjalan di Al Hikmah adalah, masih dalam penelitian yang sama, sekolah charter (sekolah yang mendapat dana dari pemerintah tapi diberikan kebebasan untuk melakasanakan kurikulumnya sendiri) yang menggunakan sistem personalised learning memiliki capaian yang lebih tinggi daripada sekolah negeri (Pane et al, 2017). 

Banyak yang harus diteliti dan didiskusikan lagi. Ini tidak mungkin saya tuliskan ke dalam essay yang saya kerjakan dalam dua hari ini. Tapi zaman berubah, maka sistem pendidikan kitapun butuh berubah. Kalaupun tawaran kebijakan di atas tidak diterima oleh Yayasan LPI Al Hikmah sebagai pemangku kebijakan, maka tawaran kedua saya adalah adanya program freedom writer. Sekali lagi, tujuan utamanya adalah untuk menjaga imajinasi anak-anak kita.

Program ini terinspirasi dari sebuah novel dengan judul yang sama. Novel ini sendiri merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan diari siswa yang bermasalah di suatu sekolah di Los Angeles, Amerika. Melalui menulis, anak-anak di Wilson High School mencurahkan permasalahan yang mereka hadapi lewat diari yang setiap harinya akan dibaca oleh wali kelas mereka dan diberikan umpan balik serta komentar. Singkat cerita, dengan menulis, beban hidup anak-anak tersebut cenderung berkurang, mereka lebih terbuka kepada guru mereka tentang permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi dan mereka sangat senang ketika guru mereka ibu Erin Gruwell memberikan nasihat-nasihat yang juga ditulis di diari para siswanya tersebut. Motivasi-motivasi yang diberikan Gruwell mampu mengangkat semangat para siswanya, sehingga para siswa tersebut mampu melewati setidaknya problem-problem di sekolah dan lulus ujian negara. Tetapi untuk menyemangati anak-anak agar mau menulis, Gruwell meminta anak-anak mereka membaca Diary of Anne Frank, sebuah memoir tentang gadis yang hidup di camp manusia Jerman di era Hitler. Dari sana anak-anak terinspirasi bahwa meskipun dalam keadaan yang lebih sulit, Anne tetap bisa menulis dan meninggalkan warisan berupa tulisan yang bisa dibaca oleh generasi-generasi setelahnya. 

Oleh karena itu program Freedom Writer tidak semata-mata hanya menulis saja. Program ini diawali dengan meminta anak-anak untuk membaca karya fiksi. Neuroscientist dari Emory University menemukan bahwa membaca fiksi dapat meningkatkan fungsi otak pada berbagai tingkatan. Mereka juga menemukan bahwa menjadi asyik dengan novel meningkatkan konektivitas di otak dan meningkatkan fungsi otak. Membaca fiksi mampu meningkatkan imajinasi pembaca dengan cara yang mirip dengan muscle memory dalam olahraga (Gregory et al, 2013). Selain itu banyak riset lain yang menyimpulkan bahwa membaca dan menulis berkaitan erat dengan daya imajinasi manusia (Dart, 2010; Kinloch et al, 2016; Waldron, 2018; Herriman, 2005). Oleh karena itu, perpustakaan beserta karya fiksi di dalamnya harus bisa diakses sejak hari pertama siswa SMP Al Hikmah Boarding School masuk. Konsep ruangan apapun baik perpustakaan maupun kelas harus dibuat senyaman mungkin. Ia tidak lagi ruangan seperti konsep industri pabrik di mana siswa belajar untuk duduk berderet menghadap papan tulis. Konsep ruang belajar modern adalah berupa learning space

Dengan Learning Space, setiap anak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas belajar yang berbeda, tidak hanya mendengarkan penjelasan guru

Ada banyak konsep saintifik bagaimana sebuah learning space seharusnya dibangun. Ini berkaitan dengan pencahayaan, akustika, dan instrument-instrumen lainnya karena instrumen-instrumen tersebut sangat mempengaruhi gairah belajar siswa (Unchaper, 2016). Merrill (2018) menambahkan “An ambitious study of 153 classrooms in the United Kingdom provides the best evidence that flexible spaces can boost academic performance.” Hal ini menguatkan bahwa jika Al Hikmah ingin meningkatkan daya imajinasi siswa mereka maka kelas-kelas konvensional berjejer khas pabrik sudah harus dikurangi, dan berganti menjadi learning common yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk duduk di mana senyaman mereka dan memilih buku apa yang mereka baca. 

Tahapan berikutnya setelah membaca adalah siswa diwajibkan membuat diari yang diisi setiap minggunya. Mereka dapat menuliskan kejadian-kejadian yang mereka alami, atau momen-momen menarik yang mereka rasakan, atau masalah-masalah yang mereka hadapi dalam seminggu terakhir. Guru atau wali kelas seperti yang dilakukan oleh Gruwell harus memberikan umpan balik atau komen terhadap catatan mingguan siswa tersebut. Pada akhirnya saat lulus nanti, tulisan siswa itu bisa dijadikan suatu gambaran atau bahan evaluasi sekolah dan asrama Al Hikmah dalam memfasilitasi anak-anak berproses. 

Pada akhirnya sebagai muslim, dalam membuat suatu kebijakan, kita harus kembalikan serta mengambil hikmah dari Al Quran. Dan saya meyakini, dengan Al Quran yang sebagian besarnya berisi kisah-kisah masa lalu, serta bagaimana Al Quran mendeskripsikan baik kehiduan di masa lalu maupun kehidupan setelah hari akhir, adalah karena kita manusia sedang ditantang untuk berimajinasi. Dan melalui imajinasi itu kita tergerak dan bergerak menentukan ke arah kebaikankah kita akan melangkah atau sebaliknya. 

Surabaya, 24 April 2019 

Referensi 

Dart, Lisa. 2001. Literacy and the lost world of the imagination. Educational Research Vol. 43 No. 1 : 63–77 

Freire, Paolo. 1968. Pendidikan Kaum Tertindas. Yogyakarta: LP3ES 

Gregory, Berns, et al. 2013. Short- and Long-Term Effects of a Novel on Connectivity in the Brain. Brain Connectivity. 3(6): 590-600 

Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Tel Aviv: Harvil Secke 

Herriman, Michael. 2005. Imagination and meta‐linguistic awareness in the development of literacy: Teaching Education Volume 16 (1): 81-88 

Kinloch, Valerie., et al. 2016. Literacy, Equity, and Imagination: Researching With/In Communities: Literacy Research: Theory, Method, and Practice Volume: 65 issue: 1, page(s): 94-112 

Merrill, Stephen. 2018. Flexible Classrooms: Research Is Scarce, But Promising. Dapat diakses di https://www.edutopia.org/article/flexible-classrooms-research-scarce-promising 

Pane, et al. 2017. How Does Personalized Learning Affect Student Achievement?. Bisa diakses di https://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB9994.html 

Robinson, Sir Ken. 2009. The Element: How Finding Your Passion Changes Everything. London: Pinguin Book Ltd. 

Thomas, Marlo. 2015. Picturing God. Bisa diakses di https://www.huffpost.com/entry/marlo-thomas-laugh-of-the-day-picturing-god_n_1745538 

Unchaper, Melina. 2016. The Science of Effective Learning Spaces. Dapat diakses di https://www.edutopia.org/article/science-of-effective-learning-spaces-melina-uncapher 

Waldron, Chad H. 2018. “Dream More, Learn More, Care More, and Be More”: The Imagination Library Influencing Storybook Reading and Early Literacy; Reading Psychology Vol. 39(7): 711-728 

World Economic Forum. 2018. The Future Jobs Report 2018. Bisa diakses di https://www.weforum.org/reports/the-future-of-jobs-report-2018 

2 pemikiran pada “IMAJINASI

  1. #Apakah kurikulum yang sekarang sedang dikembamgkan sudah mampu menjawab persoalan yang anda sajikan dalam essay ini?
    #Jika memang kurikulum yang perlu diajarkan harus sesuai dengan kebutuhan masa depan siswa? Siapakah yang menentukan kebutuhan tersebut selama ini? Guru/siswa? Atau keduanya?
    #Pernahkah ada survei tingkat kepuasan siswa terkait kurikulum ini? Jika iya hasilnya bagaimana? Seberapa valid?
    #Personalised learning? Kondisi saat ini masih terlalu jauh untuk mencapai tujuan itu sementara siswa terlau banyak dituntut untuk mematuhi aturan, menyelesaikan banyak tagihan. Mereka tidak dibentuk untuk menjadi pribadi yang independent, problem solver, mampu mengatur manajemen waktu dan menentukan kehendak mereka sndiri untuk belajar apa, dan ingin mengembangkan kemampuan apa. They have spent their time for what we plan not what they plan themselves. Mostly in Indonesian school.
    #Jika standarisasi berupa angka, dan nilai itu dihapuskan. Alternatif apakah yang bisa diberikan untuk menjadi tolak ukur baru sebagai bahan perbandingan proses pembelajarsn yang sukses dan tidak?

    Disukai oleh 1 orang

    • 1. Jika yang dimaksud kurikulum merdeka, dalam pandangan saya, sudah lebih memanusiakan siswa. Kurikulum ini melihat siswa bukan sebagai subjek yang dicekoki materi-materi pembelajaran yang didesain oleh pusat (Jakarta), guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa, kurikulum ini memperkenalkan tes diagnostik baik kognitif dan non-kognitif di mana kondisi awal siswa menjadi pertimbangan penting dalam mendesain pembelajaran yang nantinya dikenal sebagai pembelajaran berdiferensiasi. Saya mengatkan mendekati karena ada variabel waktu yang bisa “membatasi” waktu belajar siswa, padahal kecepatan belajar masing-masing siswa berebeda.

      2. Kalau kepuasan saya belum tahu apakah sudah ada atau belum, tapi kalau untuk perbandingan capaian pembelajarannya kurikulum yang baru lebih baik bisa dilihat di sini https://kurikulum.kemdikbud.go.id/

      3. Tulisan ini dalam konteks Al Hikmah, saat ini Al Hikmah sudah menerapkannya dengan bantuan teknologi, mungkin bisa baca tulisan saya https://thalut.com/2022/04/04/kerjakan-ulang/ anak-anak diberikan kesempatan untuk menentukan target belajarnya, memilih produk yang dihasilkan sesuai minatnya, serta proses yang berdiferensiasi pula.

      4. Nilai-nilai jangan dihilangkan, tetapi porsinya atau penekanannya dikurangi. Alhamdulillah, saat ini banyak ujian-ujian terstandar yang dihapuskan seperti UN dan USBN. Selain nilai yang berupa angka, guru harusnya juga mampu mendeskripsikan proses belajar yang dialami oleh siswa, permasalahan yang dihadapi, serta potensi yang dimiliki siswa tersebut. Sementara itu pihak manajemen sekolah harus mampu melakukan kontrol terhadap proses pembelajaran yang berlangsung, apakah sesuai dengan prinsip-prinsip personalised learning atau tidak.

      Suka

Tinggalkan komentar