Mualim (Guru sebagai Pemimpin): Membumikan Konsep Guru dalam Islam dengan Pendekatan “Petani”

Worldview atau pandangan hidup adalah kerangka konseptual yang menjadi lensa seseorang dalam memandang dan memaknai realitas. Ia adalah sistem kepercayaan fundamental yang membentuk cara kita memahami dunia, menentukan nilai-nilai yang kita anut, dan memandu setiap keputusan yang kita ambil. Worldview bukanlah sekadar opini atau preferensi sesaat, melainkan struktur kognitif dan spiritual yang tertanam dalam, yang sering kali dibentuk oleh budaya, agama, pengalaman hidup, dan refleksi intelektual seseorang.

Pengaruh worldview terhadap identitas seseorang sangatlah mendalam dan menyeluruh. Worldview membentuk identitas personal dan profesional dengan cara yang tidak selalu kita sadari. Ia menentukan bagaimana kita mendefinisikan diri, tujuan hidup, dan peran kita dalam masyarakat. Bagi seorang pendidik, worldview akan mempengaruhi filosofi pendidikannya, gaya mengajarnya, relasi dengan siswa, hingga ekspektasinya terhadap hasil pembelajaran.

Dalam konteks Al Hikmah, filosofi mengajar bukan hanya konsep teoritis, melainkan ruh yang membentuk cara pandang, motivasi, dan tindakan guru-guru di Al Hikmah di ruang kelas maupun di luar kelas. Filosofi ini diperkenalkan kepada saya saat mengikuti pelatihan 400 jam—sebuah fase pembentukan yang tidak hanya
mengasah kompetensi teknis, tetapi menumbuhkan kesadaran spiritual dan profesional saya sebagai guru.

Mendampingi Ustad Kadir Baraja dalam salah satu Sesi Pelatihan Guru Baru di Al Hikmah

Saya masih mengingat dengan jelas sebuah pernyataan dari Ustad Abdul Kadir Baraja dalam pelatihan tersebut: “Menjadi guru berarti menjadi pewaris para nabi, yang tugasnya adalah mendidik umat manusia—dalam hal ini, peserta didik.” Kalimat itu bagi saya bukan sekadar nasihat, tapi sebuah deklarasi panggilan hidup.

Filosofi ini semakin saya yakini ketika saya mengambil Master of Educational Leadership. Di fase itu saya diperkenalkan dengan profesor Saeeda Shah. Beliau dalam karyanya Education Leadership and Islam menghadirkan konsep yang mencerahkan tentang kepemimpinan pendidikan dalam kerangka nilai-nilai Islam. Ia menegaskan bahwa seorang guru dalam tradisi Islam bukanlah sekadar pengajar, melainkan seorang leader teacher—pemimpin (dalam bukunya ia menyebutnya sebagai mualim) yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membimbing perkembangan spiritual, moral, dan intelektual siswa secara menyeluruh.

Sebagai mualim, guru bertanggung jawab tidak hanya terhadap pencapaian akademis siswa, tetapi juga terhadap pembentukan karakter dan akhlak mereka. Guru adalah teladan hidup (qudwah hasanah) yang kata-katanya, tindakannya, bahkan sikapnya menjadi pembelajaran tersendiri bagi siswa. Kepemimpinan guru dalam perspektif Islam berlandaskan pada prinsip tarbiyah (pendidikan holistik), ta’lim (pengajaran), dan ta’dib (pembentukan adab). Ketiga dimensi ini membentuk satu kesatuan yang utuh dalam proses pendidikan.

Berkenalan dengan Karya Profesor Saeeda Shah ketika Menulis Tugas Educational Leadership

Profesor Shah juga menekankan bahwa kepemimpinan guru dalam Islam didasarkan pada nilai-nilai ketawadhuan (kerendahan hati), kasih sayang (rahmah), keadilan (‘adalah), dan kesabaran (sabr). Seorang leader teacher memahami bahwa otoritasnya bukan untuk mendominasi, melainkan untuk melayani dan memberdayakan siswa. Ia menyadari bahwa setiap siswa adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan kesadaran ini, guru tidak melihat pengajaran sebagai rutinitas profesi semata, tetapi sebagai ibadah dan jihad dalam membangun peradaban.

Untuk membumikan konsep leader teacher agar tidak berhenti pada tataran teori, kita memerlukan metafora yang mampu menggambarkan secara konkret bagaimana seorang guru memimpin di ruang kelas. Metafora sendiri sering digunakan di dalam Al Quran untuk memudahkan manusia memahami konsep-konsep yang abstrak. Dalam konteks inilah, analogi bahwa guru sebagai leader dan great leader thinks like a farmer menjadi sangat relevan. Setidaknya ada 7 hal yang harus kita perhatikan ketika kita (baca: guru) berpikir seperti seorang petani:

Pertama adalah “Never shout to the crops“. Tidak ada petani yang berteriak-teriak pada tanamannya agar cepat tumbuh. Ini adalah perbuatan sia-sia. Petani memahami bahwa berteriak tidak akan mempercepat pertumbuhan, bahkan bisa merusak. Demikian pula dalam pendidikan, guru yang bijak memahami kekuatan kata-kata yang baik dan lembut.

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk berbicara dengan kata-kata yang baik (qaulan ma’rufa) dan kata-kata yang mulia (qaulan karima). Bahkan ketika memerintahkan nabi Musa untuk berdakwah kepada Firaun (yang kita kenal sebagai manusia yang super jahat) dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan) Berteriak, membentak, atau menggunakan kata-kata kasar kepada siswa hanya akan melukai harga diri mereka dan menciptakan trauma yang menghambat pembelajaran. Sebaliknya, kata-kata yang lembut namun tegas, penuh pengertian namun jelas, akan membuka hati siswa dan memotivasi mereka untuk berkembang. Seorang guru yang bertutur kata baik sedang menanamkan benih kepercayaan diri dan menumbuhkan rasa aman dalam diri siswa—prasyarat penting untuk pembelajaran yang efektif.

Kedua, “Dont blame the crops for not growing so fast“. Petani tidak menyalahkan tanaman yang tumbuh lambat. Ia memahami bahwa setiap tanaman memiliki fase pertumbuhannya sendiri. Beberapa tanaman cepat tumbuh, beberapa memerlukan waktu lebih lama. Yang penting bagi petani adalah memastikan kondisi optimal untuk pertumbuhan tersebut.

Dalam konteks pendidikan, ini mengajarkan kita tentang pentingnya kesabaran dalam proses tarbiyah. Setiap siswa memiliki kecepatan belajar yang berbeda. Ada yang cepat memahami konsep matematika, ada yang memerlukan pengulangan berkali-kali. Ada yang langsung bisa membaca, ada yang butuh pendampingan intensif. Guru yang bijak tidak menyalahkan atau membandingkan siswa satu dengan yang lain. Ia memahami bahwa pendidikan adalah proses panjang yang memerlukan kesabaran luar biasa. Dalam Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang diulang, saya masih mengingat bagaimana alm. Prof Muhammad Roem Rowi sebagai pembina kami mengingatkan bahwa ada banyak ayat Al Quran yang diulang itu untuk menekankan bahwa tarbiyah (pendidikan) itu tidak instan. Harus terus diulang terus menerus. Dalam bahasa modern sering dikenal sebagai life-long learning.

Ketiga, “Don’t Uproot the Crops Before They Have a Chance to Grow“. Petani yang baik tidak akan mencabut tanaman hanya karena belum berbuah dalam beberapa hari. Ia memberikan waktu yang cukup bagi tanaman untuk berakar, tumbuh, dan akhirnya berbuah. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru menghakimi atau menghukum siswa.

Dalam praktik pendidikan, terlalu sering kita melihat guru yang cepat memberi label pada siswa: “siswa bodoh”, “anak nakal”, “pemalas”, dan sebagainya. Label-label ini adalah bentuk pencabutan sebelum waktunya—kita sudah menghukum dan menghakimi siswa sebelum memberi mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Islam mengajarkan kita untuk bersangka baik (husnudzon) dan memberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Seorang siswa yang hari ini membuat kesalahan, dengan bimbingan yang tepat dan waktu yang cukup, bisa menjadi pribadi yang luar biasa di masa depan. Tugas guru adalah membimbing, bukan menghakimi.

Keempat, “Choose the Best Plants for the Soil“. Petani yang cerdas tidak menanam semua jenis tanaman di semua jenis tanah. Ia memahami bahwa tanah berpasir cocok untuk tanaman tertentu, tanah liat cocok untuk tanaman lain. Ia memilih tanaman yang sesuai dengan karakteristik tanahnya untuk hasil optimal. Dalam pendidikan, prinsip ini mengingatkan kita bahwa setiap siswa memiliki potensi unik, kecerdasan yang berbeda, dan bakat yang beragam. Teori multiple intelligences dari Howard Gardner menegaskan bahwa kecerdasan tidak tunggal. Ada kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Seorang siswa yang lemah dalam matematika mungkin sangat berbakat dalam seni. Siswa yang pendiam di kelas mungkin memiliki kecerdasan intrapersonal yang luar biasa.

Tugas guru sebagai leader teacher adalah mengenali potensi unik setiap siswa dan membantu mereka mengembangkannya. Bukan memaksakan semua siswa untuk unggul dalam satu bidang yang sama, tetapi memfasilitasi setiap siswa untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri sesuai fitrah dan bakatnya masing-masing. Mereka biasanya menggunakan pendekatan belajar secara personal (diferensiasi).

Kelima, “Irrigate and Fertilise“. Petani tidak sekadar menanam lalu meninggalkannya. Ia rutin mengairi, memberi pupuk, dan memastikan tanaman mendapat nutrisi yang dibutuhkan. Dalam pendidikan, ini adalah prinsip pengasuhan yang baik dan pemberian umpan balik yang konstruktif. Siswa jangan terlalu dites terus dan terus tanpa mendapat umpan balik.

Metafora guru yang sering memberikan ujian / tes kepada siswa tetapi jarang memberikan umpan balik

Siswa memerlukan “nutrisi” berupa bimbingan yang konsisten, perhatian yang tulus, dan umpan balik yang bermakna terhadap setiap usaha dan karya mereka. Umpan balik bukan sekadar memberi nilai atau mengoreksi kesalahan, tetapi memberikan apresiasi terhadap proses, mengakui usaha yang telah dilakukan, dan memberi arahan yang jelas untuk perbaikan. Ketika seorang siswa mengerjakan tugas, meskipun hasilnya belum sempurna, guru yang bijak akan terlebih dahulu mengapresiasi usahanya, kemudian memberi masukan spesifik yang membantu siswa memahami bagaimana ia bisa berkembang.

John Hattie dalam karya monumental Visible Learning nya, menyatakan bahwa umpan balik merupakan salah satu faktor terbesar yang memengaruhi hasil belajar siswa. Namun, waktu dan jenis umpan balik juga sangat menentukan keberhasilannya. Jangan menunda umpan balik apalagi tidak memberikannya di setiap tugas yang kita berikan kepada siswa. Umpan balik yang diberikan segera (immediate feedback) terbukti jauh lebih efektif dibandingkan umpan balik yang ditunda. Ketika siswa menerima umpan balik segera setelah menyelesaikan tugas atau latihan, mereka lebih mudah memahami di mana letak kekeliruannya, mengingat proses berpikir yang baru saja mereka lakukan, dan melakukan perbaikan saat ingatan dan motivasi masih kuat. Sebaliknya, menunda umpan balik menyebabkan siswa melupakan konteks tugas, kehilangan momentum, dan berisiko mengulangi kesalahan yang sama.

Keenam, “Remove Weeds“. Petani yang baik rutin menyiangi gulma yang tumbuh di sekitar tanamannya. Gulma mengganggu pertumbuhan tanaman karena menyerap nutrisi dan menghalangi sinar matahari. Dalam konteks pendidikan, “gulma” adalah hambatan-hambatan yang menghalangi proses belajar siswa.

Hambatan ini bisa berupa faktor eksternal seperti lingkungan belajar yang tidak kondusif, fasilitas yang kurang memadai, atau bahkan perundungan dari teman sebaya. Hambatan juga bisa berupa faktor internal seperti rasa takut gagal, trauma masa lalu, atau kepercayaan diri yang rendah. Tugas guru sebagai leader teacher adalah mengidentifikasi hambatan-hambatan ini dan berusaha menghilangkannya atau meminimalkan dampaknya.

Ini memerlukan kepekaan dan empati yang tinggi. Seorang siswa yang tiba-tiba prestasinya menurun mungkin sedang menghadapi masalah keluarga. Siswa yang selalu mengantuk di kelas mungkin harus bekerja paruh waktu untuk membantu ekonomi keluarga. Guru yang bijak tidak langsung menyalahkan, tetapi berusaha memahami dan membantu mencarikan solusi, atau setidaknya memberikan dukungan moral yang dibutuhkan siswa.

Ketujuh, “Remember Sometimes the Season is Good, Sometimes is Bad“. Petani yang berpengalaman memahami bahwa tidak semua musim akan memberikan hasil yang sama. Ada musim dengan curah hujan yang baik, ada musim kemarau panjang. Ada tahun dengan hasil panen melimpah, ada tahun dengan gagal panen. Namun petani sejati tidak berhenti berusaha. Ia terus membajak sawah, menanam benih, dan merawat tanaman dengan sepenuh hati, sambil menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Dalam pendidikan, prinsip ini mengajarkan kita tentang keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Sebagai guru, kita wajib berusaha maksimal: mempersiapkan pembelajaran dengan baik, menggunakan metode yang efektif, memberi perhatian pada setiap siswa, dan terus mengembangkan kompetensi diri. Namun, kita juga harus memahami bahwa ada hal-hal di luar kendali kita.

Ada siswa yang meskipun sudah kita bimbing dengan segenap kemampuan, tetap mengalami kesulitan karena faktor-faktor yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Ada kelas yang responsif dan antusias, ada kelas yang pasif dan sulit dimotivasi. Ada tahun ajaran yang berjalan lancar, ada tahun yang penuh tantangan. Semua ini adalah bagian dari kehendak Allah SWT yang Maha Mengetahui.

Sebagai seorang Muslim, guru harus memiliki kesadaran bahwa kita hanya ditugaskan untuk berikhtiar semaksimal mungkin, namun hasil akhirnya adalah hak prerogatif Allah. Seperti firman Allah dalam QS. Asy-Syuara ayat 3, yang artinya: “Boleh jadi kamu akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.” Ayat ini turun untuk menghibur Nabi Muhammad SAW yang sangat mengharapkan semua orang beriman. Allah mengingatkan bahwa tugas Nabi hanyalah menyampaikan, bukan memaksakan hasil.

Dengan kesadaran ini, guru tidak akan terjebak dalam kelelahan mental (burnout) akibat merasa gagal ketika siswa tidak mencapai target. Guru akan tetap bersemangat dan konsisten dalam membimbing, sambil berserah diri pada Allah yang Maha Bijaksana. Ini bukan berarti pasrah dalam arti negatif, tetapi ketenangan jiwa yang lahir dari keyakinan bahwa kita sudah melakukan yang terbaik, dan hasilnya kita serahkan pada Yang Maha Menentukan.

Sebagai penutup saya ingin menuliskan kembali contoh dari teladan kita yang pernah saya tulis di sini.

Rasulullah adalah sebaik-baik teladan, mari kita belajar dari Beliau Saw. ketika mencari suaka ke Thoif akibat penolakan yang terjadi di Makkah. Kita sama-sama tahu bahwa di Thaif beliau ditolak mentah-mentah. Diusir bahkan dilempari kotoran dan batu sehingga dahi Beliau berdarah. Tapi sungguh menarik munajat yang beliau sampaikan kepada sang Khalik kala itu

Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Engkaulah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan diriku. Kepada orang yang jauh yang menyerangku ataukah kepada Zat yang dekat yang mengatur urusanku. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Aku berlindung terhadap cahaya wajah-Mu Yang menerangi kegelapan dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat, dan kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah Yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya dan upaya selain dan Engkau.

Lihatlah kalimat pertama yang Beliau Saw. panjatkan. Adakah menyalahkan penduduk Thaif. Tidak. Sama sekali tidak. Beliau mengembalikan apa yang terjadi di Thaif kepada diri Beliau sendiri. Beliau mengevaluasi bahwa Beliau memiliki kekuatan yang lemah dan usaha Beliau yang sedikit. Beginilah seharusnya adab para pendidik. Alih-alih menyalahakan para siswa, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri “Sudahkah kita menjadi Mualim? Sudahkan kita menjadi petani yang baik?”

Referensi:

  1. Al Quran
  2. Saeeda Shah – Education, Leadership, and Islam (Theory, Discourses, and Policies from Islamic Perspectives)
  3. John Hattie – Visible Learning: The Sequel
  4. Sunwords Article click here

*Tulisan ini sejatinya adalah sebuah refleksi dan pengingat untuk penulis

Tinggalkan komentar