Dalam kehidupan, musibah seringkali dikaitkan dengan bencana alam, kehilangan orang tercinta, atau berbagai bentuk kesialan yang menimpa diri kita. Namun, sesungguhnya musibah tidak hanya sebatas itu. Dalam dunia profesional, dan bagi kita sebagai pendidik, musibah juga bisa hadir dalam bentuk yang tidak kasat mata namun sangat bermakna: ketika kita belum mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran, baik dalam ranah pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.

Syukur tak terkira, Allah Swt. menempatkan saya berada di lingkungan Al Hikmah IIBS di mana setiap hari kami diajak untuk menyelami ayat-ayatNya, sehingga suatu pagi salah seorang kolega membacakan terjemahan syurat As Syura yang bermakna: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura: 30)
Ayat ini mengajarkan bahwa setiap musibah yang terjadi, termasuk dalam konteks pendidikan, mengandung isyarat bagi kita untuk bercermin. Sebelum kita menyalahkan peserta didik atau bahkan melabeli mereka dengan terminologi-terminologi yang tidak baik atas ketidak berhasilan mereka dalam belajar, akan lebih bijak jika kita menunjuk diri kita sendiri sebagai pendidik atas ketidak berhasilan kita dalam mengajar. Bukan karena siswa kita yang malas, bodoh, atau bersikap tidak baik, akan tetapi mungkin ada usaha dari kita yang belum maksimal. Mungkin ada pendekatan yang kurang sesuai dengan kebutuhan siswa. Atau mungkin, ada doa yang belum sepenuh hati kita panjatkan dalam ikhtiar kita mendidik mereka. Dalam dunia pendidikan, saat siswa belum mampu mencapai apa yang kita targetkan, itu bukan hanya sekadar “kesalahan” mereka, tetapi juga tanda bagi kita untuk memperbaiki niat, cara, dan strategi.
Rasanya, kita perlu memahami konsep yang dikenal dalam dunia psikologi pendidikan sebagai Rosenthal Effect atau Pygmalion Effect. (Saya pernah membahasanya di tulisan ini). Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson dalam penelitian terkenalnya “Pygmalion in the Classroom” membuktikan bahwa ekspektasi seorang guru terhadap muridnya sangat berpengaruh terhadap prestasi murid tersebut. Dalam eksperimen itu, guru diberi tahu bahwa beberapa siswa mereka berpotensi besar berkembang luar biasa, padahal nama-nama siswa itu dipilih secara acak. Hasilnya, siswa-siswa yang secara acak tersebut benar-benar menunjukkan peningkatan prestasi yang lebih tinggi, semata-mata karena guru memperlakukan mereka dengan ekspektasi positif: memberikan perhatian lebih, tantangan lebih, dan kepercayaan lebih.
Penelitian ini menegaskan bahwa apa yang kita pikirkan dan yakini tentang siswa-siswa kita membentuk bagaimana mereka berkembang. Jika kita percaya bahwa setiap anak mampu tumbuh, maka kita akan tanpa sadar memberikan dukungan, dorongan, dan peluang yang membentuk jalan menuju keberhasilan mereka. Sebaliknya, jika kita meragukan kemampuan mereka, maka kita membatasi pertumbuhan mereka dengan prasangka kita sendiri.
Kita perlu menjadi guru yang digambarkan oleh Lisa Delpit dalam bukunya “Multiplication Is for White People: Raising Expectations for Other People’s Children” sebagai Warm Demander. Konsep ini menggambarkan tipe guru yang menggabungkan dua sikap penting: High Expectations (harapan tinggi) dan High Support (dukungan tinggi). Seorang Warm Demander percaya bahwa semua siswa mampu berkembang, namun keyakinan itu tidak cukup hanya dalam pikiran. Ia mewujudkannya dalam bentuk tuntutan akademik yang serius disertai kehangatan, perhatian, dan dukungan emosional. Guru seperti ini tidak membiarkan siswa “terjebak dalam kemudahan” atau “terpatahkan oleh tuntutan”. Mereka membangun hubungan kuat berbasis rasa saling menghormati, sambil terus menantang siswa untuk mencapai potensi terbaiknya. Guru yang warm demander percaya bahwa setiap siswa dapat tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya. Mereka melihat siswa di kelasnya sebagai calon presiden, dokter, pemilik bisnis, dan ahli matematika di masa depan.

Untuk menjadi seorang Warm Demander, salah satu keterampilan penting yang harus kita kembangkan adalah keterampilan dalam memberikan umpan balik yang efektif. Umpan balik bukan sekedar koreksi, melainkan jembatan penting dalam proses pembelajaran. Riset menunjukkan bahwa umpan balik efektif adalah umpan balik yang spesifik, terfokus pada proses (bukan hanya hasil), bersifat membangun, dan mendorong siswa untuk segera memperbaiki kesalahan mereka.
John Hattie (2009) dalam meta-analisisnya menyatakan bahwa umpan balik merupakan salah satu faktor terbesar yang memengaruhi hasil belajar siswa. Namun, waktu dan jenis umpan balik juga sangat menentukan keberhasilannya. Jangan menunda umpan balik apalagi tidak memberikannya di setiap tugas yang kita berikan kepada siswa. Umpan balik yang diberikan segera (immediate feedback) terbukti jauh lebih efektif dibandingkan umpan balik yang ditunda. Ketika siswa menerima umpan balik segera setelah menyelesaikan tugas atau latihan, mereka lebih mudah memahami di mana letak kekeliruannya, mengingat proses berpikir yang baru saja mereka lakukan, dan melakukan perbaikan saat ingatan dan motivasi masih kuat. Sebaliknya, menunda umpan balik menyebabkan siswa melupakan konteks tugas, kehilangan momentum, dan berisiko mengulangi kesalahan yang sama.
Dalam artikel InnerDrive (2024), ada empat jenis umpan balik yang perlu dipahami guru untuk lebih efektif mendampingi siswa:
- Task Feedback — berfokus pada seberapa benar hasil kerja siswa. Ini baik untuk memperjelas kesalahan yang spesifik.
- Process Feedback — membantu siswa memahami dan memperbaiki strategi yang mereka gunakan untuk mencapai hasil. Ini mengajarkan berpikir kritis.
- Self-Regulation Feedback — mendorong siswa untuk mengevaluasi sendiri pekerjaannya, mengelola usahanya, dan belajar lebih mandiri.
- Person-Feedback — berupa komentar tentang diri siswa (seperti “kamu pintar sekali”), tetapi menurut banyak studi, ini kurang efektif untuk memperbaiki hasil akademik karena fokusnya bukan pada usaha atau strategi.
Dari keempat jenis ini, task, process, dan self-regulation feedback adalah yang paling efektif untuk meningkatkan hasil belajar. Fokuslah memberikan umpan balik yang memperbaiki apa yang dilakukan siswa, bagaimana mereka melakukannya, dan bagaimana mereka bisa memperbaikinya sendiri. Pemberian umpan balik seperti ini merupakan salah satu prinsip pelaksanaan Self-Managed Learning di SMP Al Hikmah IIBS Batu.
Dengan segera memberikan umpan balik yang berfokus pada proses dan pengembangan diri siswa, kita membentuk lingkungan belajar yang suportif dan berorientasi pada pertumbuhan (Growth Mindset dan Lifelong Learner) — tentu saja dengan harapan jika tidak mampu menghilangkan musibah ketidak tercapaian tujuan belajar, setidak nya kita berikhtiar untuk meminimalisasinya. Dan pada setiap ikhtiar kita berdoa seperti doa nabi Syuaib pada surat Hud ayat 88 “Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan sesuai dengan kesanggupanku. Tidak ada kemampuan bagiku untuk mendatangkan perbaikan melainkan dengan pertolongan Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.”
REFERENSI
- John Hattie : Visible Learning. Buku bisa diunduh secara gratis di link ini https://inspirasifoundation.org/wp-content/uploads/2020/05/John-Hattie-Visible-Learning_-A-synthesis-of-over-800-meta-analyses-relating-to-achievement-2008.pdf
- Different Types of Feedback https://www.innerdrive.co.uk/blog/different-types-of-feedback/
- Lisa Delpit : Multiplication Is for White People: Raising Expectations for Other People’s Children
Buku-Buku Terkait Pendidikan dan Parenting bisa dibeli lewat link berikut