
Sebagai bagian dari efisiensi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat, Donald Trump baru saja mengeluarkan mandat untuk menghapus Departemen Pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi birokrasi dan mengalihkan tanggung jawab pendidikan ke tingkat negara bagian, sehingga dana pendidikan dapat digunakan lebih efisien dan tepat sasaran. Meskipun tidak ada kaitan langsung dengan pendidikan di Indonesia, kedua negara saat ini memiliki semangat yang sama untuk efisiensi, termasuk dalam dunia pendidikan. Gagasan ini memicu diskusi penting tentang bagaimana alokasi dana pendidikan dapat dioptimalkan untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Di Indonesia, semangat efisiensi ini juga digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya penggunaan anggaran negara secara efektif. Dalam konteks pendidikan, pertanyaan kritis muncul: ke mana sebaiknya arah efisiensi dana pendidikan dasar dan menengah diarahkan? Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN, penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan digunakan secara optimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia sehingga mampu meningkatkan daya saing SDM Indonesia seperti yang tertera pada visi keempat Indonesia Emas 2045.
Investasi dari dalam maupun luar negeri sangat bergantung pada kualitas SDM suatu negara. Investor cenderung memilih negara dengan tenaga kerja yang terampil, produktif, dan memiliki daya saing tinggi. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam kualitas pendidikan, seperti yang tercermin dalam skor Programme for International Student Assessment (PISA). Berdasarkan data OECD tahun 2022, skor PISA Indonesia untuk literasi berada di angka 371, numerasi 379, dan sains 383. Skor ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju seperti Singapura (literasi 549, numerasi 569, sains 551) dan Jepang (literasi 516, numerasi 527, sains 529).
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) juga menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan, Indonesia masih belum optimal dalam aspek pendidikan. Menurut laporan UNDP tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 114 dari 189 negara dalam hal HDI, dengan skor pendidikan yang masih rendah. Solusi utama dalam meningkatkan skor PISA dan HDI adalah memperbaiki kualitas pendidikan, terutama dengan meningkatkan kualitas guru, karena penelitian menunjukkan bahwa guru adalah faktor paling signifikan dalam pencapaian akademik siswa (Hanushek & Rivkin, 2006).
Berbagai masalah dalam sistem pendidikan Indonesia telah diidentifikasi, dan salah satu yang paling krusial adalah kualitas guru. Berdasarkan hasil penelitian, guru adalah faktor paling berpengaruh terhadap pencapaian akademik siswa dibandingkan faktor lain seperti fasilitas sekolah atau kurikulum. Sayangnya, berbagai evaluasi menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan.
Dua aspek utama yang menentukan kualitas guru adalah kompetensi dan komitmen. Kompetensi mencakup pengetahuan pedagogik dan profesionalisme, sedangkan komitmen mencerminkan dedikasi dan motivasi guru dalam menjalankan tugasnya.
Kompetensi guru dapat diukur melalui berbagai instrumen, salah satunya adalah Uji Kompetensi Guru (UKG). Data menunjukkan bahwa rata-rata nilai UKG nasional masih rendah. Misalnya, pada tahun 2019, nilai rata-rata UKG berada pada angka 57 dari skala 100. Rata-rata nilai UKG untuk jenjang SD adalah 54,8; SMP 58,6; SMA 62,3; dan SMK 58,4. Selain itu, data dari Pusat Analisis Anggaran DPR RI menunjukkan bahwa rata-rata nasional hasil UKG pada tahun 2020 adalah 53,02, dan menurun menjadi 50,64 pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa banyak guru yang belum memiliki keterampilan pedagogik dan profesional yang cukup untuk mendidik siswa dengan baik.
Sebuah studi oleh Rockoff et al. (2011) dari Columbia Business School menemukan bahwa guru berkualitas memiliki dampak signifikan terhadap capaian akademik siswa. Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas guru sebesar satu standar deviasi dapat meningkatkan skor siswa hingga 0,1 hingga 0,2 standar deviasi dalam ujian akademik. Lebih lanjut, penelitian tersebut menegaskan bahwa pengalaman mengajar dan pelatihan profesional yang berkelanjutan dapat meningkatkan efektivitas guru secara signifikan.
Problem lainnya dari kualitas guru kita saat ini adalah terkait dengan komitmen. Komitmen guru dalam menjalankan tugasnya sering kali terhambat oleh tingkat absensi yang tinggi, baik karena alasan kesejahteraan maupun kurangnya motivasi intrinsik. Sebuah laporan dari Asian Development Bank (ADB) menunjukkan bahwa tingkat absensi guru di Indonesia masih menjadi masalah serius, dengan angka rata-rata nasional mencapai 9,5%. Di beberapa daerah terpencil, angka ini bahkan bisa lebih tinggi, mencapai lebih dari 20%. Tingginya absensi guru berdampak langsung pada kualitas pembelajaran dan efektivitas pendidikan secara keseluruhan.
Masalah kesejahteraan guru juga menjadi faktor penting yang memengaruhi komitmen mereka. Menurut penelitian oleh Suryadarma et al. (2006), guru yang merasa tidak sejahtera cenderung memiliki motivasi yang rendah dalam mengajar, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran siswa. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Untuk meningkatkan kualitas guru dan menjadikan profesi ini lebih menarik bagi anak muda yang kompeten, diperlukan kebijakan yang strategis dan berbasis data. Kebijakan ini mungkin tidak akan menghasilkan perubahan dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang.
Pemerintah perlu Meningkatkan Kesejahteraan Guru. Rendahnya gaji guru di Indonesia menjadi salah satu faktor utama mengapa profesi ini kurang diminati oleh lulusan terbaik SMA. Studi yang dilakukan oleh Hanushek et al. (2019) menunjukkan bahwa peningkatan gaji guru secara signifikan dapat menarik individu dengan kompetensi akademik yang lebih tinggi untuk masuk ke profesi ini. Selain itu, gaji yang lebih baik juga meningkatkan komitmen guru terhadap pekerjaannya. Studi dari Loeb & Page (2000) menemukan bahwa kesejahteraan yang lebih tinggi berhubungan langsung dengan penurunan tingkat absensi guru serta peningkatan motivasi kerja.
Kementerian juga perlu mereformasi Sistem Sertifikasi dan Tunjangan. Tunjangan sertifikasi yang saat ini berbasis administratif harus diubah menjadi berbasis kinerja yang mencakup kehadiran, keaktifan dalam pelatihan profesional, serta dampak terhadap kualitas pembelajaran di kelas. Hal ini akan mendorong guru untuk terus meningkatkan kompetensi mereka dan berkontribusi secara nyata dalam proses pembelajaran.
Arah pengembangan aplikasi “Merdeka Mengajar” atau apapun namanya setelah ini, harus dalam rangka mengurangi beban administrasi guru. Banyak guru menghabiskan waktu untuk tugas administratif yang tidak berhubungan langsung dengan pembelajaran. Dengan mengurangi beban ini, guru dapat lebih fokus dalam meningkatkan kompetensi mengajar mereka. Hal ini juga akan memberikan lebih banyak waktu bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa, memberikan umpan balik untuk pekerjaan siswa dan mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif.
Dan untuk mengawasi kinerja guru diperlukan kepala sekolah yang profesional dan kompeten. Untuk itu, penunjukkan kepala sekolah secara terpusat. Kepala sekolah memiliki peran kunci dalam mengawal kinerja dan profesionalisme guru. Studi dari Branch, Hanushek, & Rivkin (2012) menunjukkan bahwa kepala sekolah yang kompeten dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan dengan membangun lingkungan akademik yang lebih baik dan mendukung perkembangan profesional guru. Untuk memastikan kualitas kepemimpinan sekolah yang lebih baik, sistem rekrutmen kepala sekolah sebaiknya dilakukan secara terpusat oleh kementerian, bukan oleh kepala daerah, untuk menghindari politisasi dan memastikan penunjukan berdasarkan kompetensi.
Dalam konteks efisiensi yang digaungkan oleh Presiden Prabowo, daripada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memunculkan wacana pembelajaran deep learning yang nantinya akan menuntut guru-guru yang sudah ada untuk mengikuti pelatihan, namun tetap tidak mampu mengikuti perubahan tersebut karena masalah kompetensi dan komitmen, sebaiknya anggaran yang ada digunakan untuk fokus pada perbaikan kualitas guru secara bertahap dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan anggaran negara.
Pendekatan bertahap dan berkelanjutan ini akan memastikan bahwa guru-guru memiliki dasar kompetensi yang kuat sebelum melangkah ke metode pembelajaran yang lebih kompleks seperti deep learning. Dengan demikian, transformasi pendidikan dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan berdampak jangka panjang.
Jika Indonesia ingin mencapai target sebagai negara maju dengan daya saing SDM tinggi pada tahun 2045, maka perbaikan kualitas guru harus menjadi prioritas utama. Dengan meningkatkan kompetensi dan komitmen guru melalui kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memperbaiki kualitas pendidikan dan secara langsung meningkatkan daya saing SDM di tingkat global. Pendidikan yang kuat akan menciptakan SDM unggul, menarik lebih banyak investasi, dan mendorong Indonesia menuju visi negara maju yang diimpikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Barber dan Mourshed (2007), negara-negara yang berhasil dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah mereka yang berinvestasi besar dalam pengembangan profesional guru dan memastikan bahwa guru-guru mereka memiliki motivasi dan kompetensi yang tinggi.
Daftar Pustaka
Barber, M., & Mourshed, M. (2007). How the world’s best-performing school systems come out on top. McKinsey & Company.
Branch, G. F., Hanushek, E. A., & Rivkin, S. G. (2012). Estimating the effect of leaders on public sector productivity: The case of school principals. NBER Working Paper No. 17803.
Hanushek, E. A., & Rivkin, S. G. (2006). Teacher quality. In Handbook of the Economics of Education (Vol. 2, pp. 1051-1078). Elsevier.
Hanushek, E. A., & Woessmann, L. (2008). The role of cognitive skills in economic development. Journal of Economic Literature, 46(3), 607-668.
Hanushek, E. A., Piopiunik, M., & Wiederhold, S. (2019). The value of smarter teachers: International evidence on teacher cognitive skills and student performance. Journal of Human Resources, 54(4), 857-899.
Loeb, S., & Page, M. E. (2000). Examining the link between teacher wages and student outcomes: The importance of alternative labor market opportunities and non-pecuniary variation. Review of Economics and Statistics, 82(3), 393-408.
Rockoff, J. E., Jacob, B. A., Kane, T. J., & Staiger, D. O. (2011). Can you recognize an effective teacher when you recruit one? Education Finance and Policy, 6(1), 43-74.
Suryadarma, D., Suryahadi, A., Sumarto, S., & Rogers, F. H. (2006). Improving student performance in public primary schools in developing countries: Evidence from Indonesia. Education Economics, 14(4), 401-429.