Pendidikan Empati

Ketika mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama, salah satu pelajaran sejarah yang sering diceritakan oleh guru IPS saya waktu itu adalah kisah penjelajah benua bernama Vasco da Gama. Dikisahkan bahwa ia adalah pelaut pertama Eropa yang berhasil sampai di dataran India, tepatnya Goa. Kisah Vasco da Gama ini fenomenal. Literatur sejarah menyebutnya sebagai salah satu penjelajah hebat. Penemuannya mengubah sejarah dan geografi dunia, terutama setelah keberhasilannya menemukan rute Tanjung Harapan dengan bantuan musafir Arab Ahmed bin Majid. Dan tentu kisah selanjutnya adalah pelaut-pelaut Eropa lainnya terpacu dan berlomba-lomba untuk menjelejah ke benua lainnya, termasuk pelaut Belanda ke Indonesia. 

Para pelaut ini membawa visi. Tentu saya sangat mengingatnya karena pertanyaan tentang visi ini sering muncul di soal-soal ulangan mata pelajaran sejarah waktu itu, yaitu 3G, Gold, Glory, dan Gospel. Gold melambangkan kekayaan, Glory melambangkan kejayaan, sementara Gospel bermakna penyebaran agama, yang waktu itu adalah agama Kristen. 

Entah karena keterbatasan guru-guru kita terhadap informasi, peristiwa yang tersampaikan dalam mata pelajaran itu seolah-olah selesai pada peristiwa penemuan daratan yang kemudian dilanjutkan dengan penjajahan, sehingga detail peristiwa lainnya yang terjadi seperti kabur bahkan cenderung hilang. Salah satu fakta sejarah yang hampir tidak pernah diceritakan dalam buku-buku sejarah kita ketika dalam perjalannya, Vasco da Gama dan pasukannya membakar kapal para jamaah haji dari Mesir dan menewaskan kurang ebih 200 an penumpang termasuk wanita dan anak-anak. Sanjay Subrahmanyam, profesor sejarah ekonomi di University of California , mencatat Vasco de Gama, seperti bangsawan Portugis mana pun di abad ke-16, terobsesi memerangi Islam.

Jika saya mengenal Vasco da Gama di usia sekolah menengah pertama, saya baru mengenal Muhammad Al Fatih sang penakluk Konstantinopel ketika saya berada di kampus. Tentu saja cerita ini saya peroleh dari kajian-kajian di kampus yang saat itu saya ikuti. Seorang senior di kajian dengan nada mirip motivator menjelaskan betapa hebatnya Muhammad Al Fatih, sesosok pemimpin muda, yang mampu menembus benteng Konstatinopel (Saat itu Mayoritas Katholik) dengan mengangkat kapal mereka melewati bukit Galata, untuk menghindari jebakan rantai laut. Ia menjadi representasi pembukti nubuwah nabi yang hadisnya “Sungguh konstatinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu”. Setidaknya demikian yang disampaikan dalam halaqah-halaqah kecil di kampus. Saya juga tidak perlu menyebut organisasi yang sering mengulang-ngulang kisah ini, asumsi saya semuanya sudah memahami. Namun dalam sebuah kesempatan diskusi di luar kajian, saya pernah bertanya pada seorang teman penggemar fanatik Al Fatih bahwa untuk memenuhi ambisinya merealisasikan nubuwah itu, berapa banyak pasukan yang harus dikorbankan oleh Al Fatih? Lalu, apabila Konstatinopel yang saat ini Istanbul diambil alih oleh Attaturk dan diubah menjadi sekuler, bukankah Konstantinopel/Istanbul terjajah kembali? Apa kita tidak perlu kritis terhadap hadis-hadis yang sering digunakan untuk kepentingan kekuasaan? Teman saya pun, kebingungan menjawabnya.

Mengunjungi Istanbul dulu Konstantinopel

Dari dua kisah di atas, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya manusia memiliki rasa tidak aman. Sejak lahir, manusia berada dalam kondisi yang lemah. Bayi manusia dilahirkan dalam keadaan sangat prematur, tidak mampu melindungi atau merawat dirinya sendiri. Dibutuhkan waktu sekitar satu tahun hanya untuk bisa berjalan dan bertahun-tahun lagi untuk mencapai kedewasaan serta mandiri dalam menjalani hidup. Ketidakberdayaan ini menumbuhkan secara naluriah rasa tidak aman terhadap lingkungannya. Keberadaan binatang buas menjadi ancaman, begitu juga manusia di luar kelompoknya. Oleh karena itu, manusia berusaha menciptakan perlindungan demi kelangsungan hidupnya. Penemuan api menjadi titik balik, karena selain mampu menjauhkan ancaman binatang buas, api juga memungkinkan manusia menciptakan senjata. Seiring waktu, teknologi pertahanan semakin berkembang, tetapi rasa tidak aman tetap bertahan. Jika dahulu manusia takut terhadap binatang buas—yang kini sebagian besar telah punah atau hampir punah—kekhawatiran itu kini lebih banyak tertuju pada sesamanya, terutama mereka yang berada di luar kelompoknya. Kekhawatiran ini yang menyebabkan baik Vasco da Gama maupun Muhammad Al Fatih menyerang kelompok di luar kelompoknya. Kekhawatiran bahwa suatu saat nanti, jika tidak dibumihanguskan merekalah yang akan dibumihanguskan.

Kita tidak bisa menghilangkan perasaan tidak aman. Ini inherit, bawaan, sudah turun menurun dalam DNA kita, sejak nenek moyang kita mengenal masa bertani dan bercocok tanam. Di lain sisi perasaan tidak aman ini juga penting untuk pertahanan diri. Namun, perasaan tidak aman yang berlebih dan akut, akan membuat kita membenci dan memusuhi manusia di luar kelompok kita. Sehingga muncullah tindakan-tindakan seperti dua kisah yang sudah saya ceritakan di atas. 

Lalu, untuk meminimalisasi perasaan ini maka kita perlu melatih empati kita dan melakukan upaya-upaya sadar lewat pembiasaan untuk memperkuat rasa hormat kita kepada manusia di luar kelompok kita. Upaya sadar berarti lewat pendidikan, sedini mungkin, karena pada fase ini anak-anak akan menjadi manusia dewasa. Sebagai guru tentu kewajiban saya untuk mengajarkan ini kepada siswa-siswa saya lewat projek-projek sosial dan kegiatan lainnya yang menumbuhkan empati. 

Salah satu hal yang bisa dilakukan sekolah adalah aktivitas seperti yang dituliskan dalam buku The Danish Way of Parenting. Sang penulis yang juga seorang guru sekolah dasar menekankan bahwa Kepekaan empati yang sangat berkembang di kalangan masyarakat Denmark merupakan salah satu alasan utama mengapa Denmark secara konsisten terpilih sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia. Mereka memasukkan pembelajaran empati sebagai bagian dari kurikulum inti. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah Klassen Time. Istilah yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai The Class’s Hour dijadwalkan pada waktu khusus sekali dalam seminggu dan sekali lagi merupakan bagian inti dari kurikulum. Tujuannya adalah agar seluruh siswa dapat berkumpul dalam suasana yang nyaman untuk membicarakan berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Bersama-sama, kelas berusaha menemukan solusi. Permasalahan yang dibahas bisa berupa konflik antara dua siswa, dalam kelompok, atau bahkan sesuatu yang tidak berkaitan dengan sekolah. Jika tidak ada masalah yang perlu didiskusikan, mereka tetap berkumpul untuk bersantai dan menikmati kebersamaan dalam suasana yang hangat dan nyaman. Hal ini pula yang coba diadaptasi oleh Al Hikmah IIBS Batu dalam bentuk evaluasi malam dan musyawarah warga.

Bersama Siswa-Siswa

Suatu Jumat di masjidil Haram, saya sedang duduk menunggu waktu shalat Jumat bersama kelima siswa saya. Kami mencari tempat yang cukup teduh karena kami tahu terlambat sedikit mengokupasi tempat teduh, maka akan hanya ada dua pilihan, shalat di tengah pelataran Ka’bah yang cukup terik dan menyilaukan, atau shalat di bagian masjidil haram lantai 2 yang jarak pandang ke Ka’bahnya tidak sedekat di pelataran. Setelah membaca surat Al Kahfi, saya bercerita kepada siswa saya bahwa pada suatu masa Mekkah dilanda banjir besar sehingga batu Hajar Aswad tergeser cukup jauh. Pada saat itu, masyarakat Mekkah terdiri dari berbagai macam suku dan golongan. Setiap golongan ingin menjadi perwakilan yang mengangkat Hajar Aswad untuk diletakkan kembali ke dinding Ka’bah, karena masing-masing suku merasa yang paling terhormat dan pantas untuk mengangkatnya. Hampir saja terjadi pertumpahan darah karena masalah ini hingga tercapai sebuah kesepakatan bahwa siapa saja yang datang paling awal keesokan harinya, maka dialah yang paling berhak mengangkat Hajar Aswad. Singkat cerita setelah keesokan harinya, seeorang pemuda dari bani Hasyim lah yang datang paling awal. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya, maka bani Hasyimlah yang memiliki hak untuk memikul Hajar Aswad. Namun, yang dilakukan oleh pemuda dari bani Hasyim tersebut merepresentasikan sebuah tindakan penuh empati. Ia mampu merasakan perasaan yang dirasakan oleh kelompok lainnya. Sehingga alih-alih mengangkat Hajar Aswad sendiri, ia kemudian membentangkan surbannya, diletakkanlah Hajar Aswad itu ke atas surban tersebut. Ia meminta perwakilan dari masing-masing kelompok untuk memegang bagian tepi surbannya untuk kemudian mengangkat Hajar Aswad dan meletakkannya di Kakbah. Sebuah tindakan yang penuh empati, yang mencegah terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah. Sejak saat itu, sang pemuda diberi gelar Al Amin. Pemuda itu bernama Muhammad. Saat itu pula saya berpesan pada siswa saya, jika ingin dekat dengan nabimu, tirulah sikapnya berempati. Tentu apabila memberikan nasihat, maka suara yang terucap dari mulut lebih dekat kepada telinga pengucap sendiri.

BUKU YANG MENJADI INSPIRASI TULISAN INI BISA DIBELI DI SINI YA … KLIK

Dengan membeli buku lewat link di atas, teman-teman telah membantu saya untuk tetap menulis. Terimakasih. 🙂

3 pemikiran pada “Pendidikan Empati

  1. Mantap ustadz, memang top kegiatan evaluasi dan musyawarah warga di Al Hikmah IIBS ini mengingat murid di sekolah ini berasal dari berbagai macam latar belakang, hal ini pasti mampu mengembangkan kepekaan terhadap perbedaan sosial yang lebih luas lagi.
    Terkait tulisan secara umum kayak terasa agak lepas dari diskusi sebelumnya tentang Vasco d Gama dan Muhammad AlFatih. Mungkin akan lebih kuat tulisan ini jika ada penghubung yang lebih jelas antara bagaimana sejarah bisa dijadikan pelajaran konkret dalam menanamkan empati, misalnya dengan refleksi tentang bgaimana pihak-pihak yang pernah berkonflik kini membangun hubungan damai.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Empati menunjukkan kodrat kita sebagai manusia sosial yg selalu berinteraksi dengan orang lain salah bentuk interaksi adalah empati serta salah satu bentuk kasih sayang terhadap sesama👍🏻👍🏻👍🏻

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Mochammad Salahuddin Thalut Batalkan balasan