
Saya mengenal Miss Ana Lorena Fabrega dari media sosial lewat twit-twitnya yang inspiratif tentang pendidikan. Saat membaca bukunya, The Learning Game, saya merasa ide-ide yang diutarakannya sangat aplikatif, walaupun ada beberapa hal yang saya pandang secara berbeda, terutama tentang asal-usul sistem sekolah modern. Jika Ana Lorena mengaitkan akar pendidikan modern dengan sistem Prusia, saya lebih memahami bahwa model pendidikan saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh sistem sekolah era Victoria Inggris. Meski begitu, saya dan Fabrega sepakat pada satu hal penting: sistem pendidikan tradisional memiliki banyak kelemahan yang perlu dipertanyakan.
Dalam pembukaannya, Fabrega mengingatkan saya pada pemikiran John Taylor Gatto, seorang guru veteran dan pengkritik keras sistem sekolah. Gatto, yang selama tiga dekade mengajar dan tiga kali dinobatkan sebagai “New York City Teacher of the Year,” akhirnya berhenti dari pekerjaannya karena lelah mengajarkan kurikulum yang, menurutnya, lebih banyak merugikan daripada membantu anak-anak. Setelah keluar dari dunia pengajaran, ia menulis buku Dumbing Us Down: The Hidden Curriculum of Compulsory Schooling, sebuah karya yang membuka mata banyak orang tentang “pelajaran tersembunyi” di balik sistem sekolah wajib.
Gatto mengidentifikasi tujuh pelajaran berbahaya yang secara tidak sadar diajarkan sekolah kepada anak-anak, di antaranya adalah kebingungan, posisi kelas, ketidakpedulian, ketergantungan emosional, ketergantungan intelektual, harga diri bersyarat, dan hilangnya privasi. Ia mengkritik bagaimana sekolah sering kali memaksa anak-anak untuk menerima informasi yang terputus-putus tanpa konteks, memupuk budaya persaingan alih-alih kolaborasi, dan mengajarkan mereka untuk menggantungkan penilaian diri pada sistem eksternal seperti nilai atau penghargaan.
Ide-ide ini beresonansi kuat dalam buku The Learning Game, di mana Fabrega mengungkap bagaimana sistem pendidikan tradisional sering kali gagal mempersiapkan anak-anak untuk dunia nyata. Fabrega mengajak pembaca untuk membayangkan sistem pendidikan yang lebih terdesentralisasi, yang tidak hanya memberikan kebebasan kepada anak untuk belajar sesuai minatnya tetapi juga mendukung perkembangan emosional dan intelektual mereka secara mandiri.
Salah satu pernyataan Fabrega yang sangat menggugah adalah ketika ia mengutip ahli Matemtika Seymour Papert, “Every maker of video games knows something that the makers of curriculum don’t seem to understand. You’ll never see a video game being advertised as being easy. Kids who do not like school will tell you it’s not because it’s too hard. It’s because it’s boring.” Fabrega menekankan bahwa perbedaan antara sekolah dan video game adalah bahwa video game dirancang untuk menjadi menarik, menantang, dan memberi umpan balik langsung yang membuat pemain terus terlibat. Sementara itu, banyak sistem pendidikan tradisional yang gagal menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan menantang, membuat siswa merasa bosan dan kurang termotivasi.
Fabrega juga menekankan prinsip-prinsip gamifikasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan efektif. Untuk memasuki kondisi flow—suatu keadaan di mana seseorang merasa sepenuhnya terlibat dan termotivasi dalam suatu aktivitas—ada tiga hal yang diperlukan, yaitu: Clear Goal (tujuan yang jelas), Unambiguous Feedback (umpan balik yang jelas), dan A Goldilock Challenge (tantangan yang sesuai dengan kemampuan, tidak terlalu mudah atau terlalu sulit). Dalam dunia psikologi ini dikelanl sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). Dalam konteks pendidikan, gamifikasi dapat memberikan struktur (scaffolding) yang jelas dan runut, tantangan yang menarik dan berlanjut, dan umpan balik yang cepat, yang semuanya membantu siswa merasa terlibat dan terus termotivasi untuk belajar.
Fabrega juga membahas tentang pointsification, sebuah konsep di mana pendidikan diberi elemen-elemen mirip permainan seperti pemberian poin, level, dan penghargaan. Meskipun pointsification dapat membantu memodifikasi perilaku siswa dalam jangka pendek, Fabrega berpendapat bahwa itu tidak cukup efektif untuk membangun keterampilan atau pengetahuan yang sesungguhnya dalam jangka panjang.
Salah satu konsep yang menarik dan relevan dalam buku ini adalah yang dikenal dengan istilah Super Mario Effect. Fabrega menjelaskan bagaimana kesalahan dalam video game tidak membuat pemain menyerah, sebaliknya justru menjadi tantangan untuk melanjutkan permainan. Pemain terus mencoba meskipun berulang kali gagal, karena mereka merasa bahwa setiap kegagalan adalah bagian dari proses untuk mencapai tujuan akhir. Konsep ini bisa diterapkan dalam pendidikan dengan cara yang serupa, di mana siswa tidak merasa terpuruk atau frustasi ketika mengalami kegagalan, mereka boleh mengerjakan ulang (seperti yang sudah saya tulis di sini) setelah mendapatkan umpan balik sehingga mereka merasa tertantang untuk mencoba lagi dan belajar dari kesalahan mereka.
Bagi pembaca yang telah mempertanyakan efektivitas sistem pendidikan tradisional, The Learning Game menawarkan pandangan segar dan solusi alternatif. Dengan menjadikan ide-ide Gatto sebagai pijakan, Fabrega memberikan gambaran tentang bagaimana kita bisa bergerak melampaui sistem yang ada menuju cara belajar yang lebih manusiawi dan memberdayakan.
Buku ini bisa dibeli di sini ya … klik link ini.
Dengan membeli buku lewat link di atas, teman-teman telah membantu saya untuk tetap menulis. Terimakasih. 🙂