Mitos Terbesar dalam Dunia Pendidikan: Gaya Belajar

Foto Caleg: Efek Paparan

Hari Jumat minggu lalu, saya dan keluarga membuat perjalanan mendakak ke Jogja. Setelah mendafatarkan Ella di salah satu TK di kota Batu, saya mengajak keluarga untuk menjenguk seorang teman guru yang baru saja menjadi seorang bapak di kota Kediri. Dari kota Kediri ini, kami memutuskan untuk pergi berlibur ke Jogja. Dalam perjalanan baik ke Kediri maupun Jogja kami melihat baliho-baliho para caleg dan capres terpampang di sepanjang jalan. Mulai dari pose tangan salam lebaran, hingga pose jari “sarangheo” kami temukan di sepanjang perjalanan. Foto-foto seperti ini memanfaatkan apa yang dinamakan para psikolog sebagai bias paparan. Semakin sering manusia terpapar akan suatu hal baik itu dalam bentuk gambar, audio, maupun bersifat verbal maka semakin kuat pula keyakinan mereka bahwa hal tersebut merupakan suatu kebenaran. 

Di dalam dunia pendidikan kita, seringkali secara tidak langsung kita terpapar oleh sesuatu, bahkan begitu seringnya kita menganggap itu sebagai suatu kebenaran. Salah satunya adalah Gaya Belajar. Yang paling umum tentang teori tentang gaya belajar ini adalah dengan membagi manusia dalam hal ini siswa ke dalam 4 kelompok yaitu visual, auditori, kinestetik, dan verbal (membaca/menulis). 

Gaya belajar visual diterjemahkan sebagai gaya belajar yang lebih menitik beratkan pada gambar. Anak-anak yang kecenderungan belajarnya visual akan lebih optimal belajarnya jika mereka belajar dari gambar-gambar atau video. Gaya belajar auditori bermakna belajar dengan mendengarkan. Anak-anak dengan gaya belajar ini lebih optimal jika mereka belajar dengan mendengarkan ceramah atau penjelasan, biasanya juga dibumbui dengan kesunyian. Gaya belajar ini mengacu pada visual namun lebih detail berupa gerakan. Orang yang memakai gaya ini biasanya belajar dengan cara melakukan sesuatu atau terlibat langsung dengan sebuah persoalan. Anak-anak yang senang berlarian di kelas biasanya akan ditafsirkan oleh guru sebagai anak dengan gaya belajar kinestetik, sehingga tugas-tugasnya pun harus menyesuaikan. Yang terakhir adalah gaya belajar verbal. Tipe siswa yang memiliki gaya ini berekspresi melalui menulis, membaca artikel atau buku, menulis di buku harian, mencari kata-kata di kamus dan mencari di internet untuk berbagai hal.

Banyak dari para pendidik tugas membaca karena menganggap siswanya bergaya belajar verbal ini. Seiring dengan perubahan kurikulum dan naiknya konsep pembelajaran berdiferensiasi, mitos tentang gaya belajar ini juga kembali menggaung dan terangkat. Bahkan dalam proses pendidikan guru penggerak, gaya belajar menjadi salah satu materi yang harus dipelajari oleh para calon guru penggerak. Hal ini tentu akibat efek paparan seperti baliho-baliho para calon anggota legislatif yang saya lihat sepanjang jalan menuju Kediri dan Jogja. 

Dari mana mitos Gaya Belajar ini? Hasil penelusuran saya, ialah seorang pengawas sekolah bernama Neil Flaming di Selandia Baru yang mengungkapkan bahwa penggunaan gaya belajar pada beberapa sekolah yang ia temukan seperti “magic” (sulap) (Fleming, 2006) “For nine years I was one of Her Majesty’s school inspectors in the New Zealand education system. During this time I watched some 9000 classes. I was puzzled when I observed excellent teachers who did not reach some learners, and poor teachers who did. When I moved to Lincoln University to work in staff development, I decided to try to solve this puzzle. There are, of course, many reasons for what I observed. But one topic that seemed to hold some magic, some explanatory power, was preferred modes of learning, ‘modal preferences’. “ Jadi selama ini kita mengamini gaya belajar atas dasar “Magic” bukan atas dasar saintifik, karena kesuksesan gaya belajar ini adalah sebuah klaim sepihak dari Fleming. 

Sebenarnya cukup mudah sekali untuk membuktikan apakah gaya belajar ini berfungsi atau tidak. Katakanlah melalui aplikasi “akupintar.id” kita identifikasi gaya belajar siswa kita lewat aplikasi tersebut. Lalu siswa kita akan dibagi oleh aplikasi, katakanlah untuk contoh, 2 kategori, yaitu visual dan auditori. Tapi dalam kenyataannya kita buat dua group di mana kita mencampur siswa yang visual dan auditori. Di kelompok 1 kita berikan materi yang visual. Dan di kelompok 2 kita berikan materi yang auditori. Kemudian kita tes kedua kelompok tersebut. Dan kita bandingkan hasilnya. Jika ada perbedaan hasil, misalnya di kelompok 1 siswa yang visual lebih tinggi nilainya daripada yang auditori, begitupula sebaliknya, maka bisa dikatakan gaya belajar memilik pengaruh terhadap pembelajaran itu sendiri. 

Jika kita tidak sempat melakukan penelitian di atas akan saya berikan beberapa cuplikan hasil penelitian mengenai gaya belajar. 

Pashler dan timnya (2009) pernah melakukan studi literatur yang mengkritik tentang percobaan yang dilakukan Fleming sama sekali tidak sesuai dengan kaidah saintifik. Ia menekankan “We conclude therefore, that at present, there is no adequate evidence base to justify incorporating learning-styles assessments into general educational practice. Thus, limited education resources would better be devoted to adopting other educational practices that have a strong evidence base, of which there are an increasing number. However, given the lack of methodologically sound studies of learning styles, it would be an error to conclude that all possible versions of learning styles have been tested and found wanting; many have simply not been tested at all.” 

Hal senada juga dikemukakan oleh Willingham et al (2015) di mana bukti-bukti yang disampaikan oleh penganut paham gaya belajar hanya sebatas prediksi, belum ada uji ilmiah yang kuat mengenai efktifitas gaya belajar. 

Bahkan psikolog dari University of Pensylvania Rogowski (2014) membuktikan bahwa tidak ada dampak gaya belajar terhadap hasil belajar dari 121 partisipan yang ia teliti dengan metode seperti yang saya jelaskan pada paragraf sebelumnya. 

Kritik keras juga disampaikan oleh Furrey (2020) dalam majalah Education Next yang menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya di 29 negara bagian di Amerika menyebutkan bahwa tidak ada korelasi antara gaya belajar dengan hasil belajar siswa. 

Yang saya khawatirkan terhadap pengelompokkan gaya belajar adalah munculnya fixed mindset (mindset tetap) dalam diri siswa dan guru. Karena ketika kita mempercai dampak gaya belajar, kita akan mengelompokkan mereka ke dalam suatu kelompok untuk belajar dengan gaya tersebut. Padahal anak-anak dikaruniai Tuhan tidak hanya penglihatan atau pendengaran saja. Dengan mengelompokkan mereka sesuai gaya belajarnya, maka ini berpeluang menjebak pikiran mereka bahwa mereka tidak bisa belajar dengan gaya yang lainnya. Selain itu penelitian menyebutkan bahwa kombinasi dari banyak indera membuat hasil belajar siswa semakin baik. Di dalam otak kita, kita memproses apa yang kita lihat, dengar, dan lakukan secara bersamaan. Semakin banyak koneksi antar ketiga unsur itu maka semakin baik pula otak dalam memproses suatu informasi (Oakley & Sejnowski, 2018).

Anak-anak mungkin belajar memasak lewat Youtube, tapi bukan berarti mereka ini adalah seorang anak dengan gaya belajar visual, dia bisa belajar dengan baik jika mendengarkan instruksi dalam video kemudian mempraktikkan pelajaran memasaknya itu. Jadi rekomendasi saya, mari kita sama-sama buang jauh-jauh mitos gaya belajar ini. Jika belajar memang untuk tujuan agar siswa nantinya bisa hidup di masyarakat, maka mereka harus menggunakan semua inderanya untuk hidup di masyarakat, bukan hanya melihat atau mendengar saja, tetapi juga melihat, mendengar, dan juga melakukan.

Saran terakhir dari saya, tinggalkan mitos akan Gaya Belajar.

 — 

Bayangkan ada seorang guru yang mengajar Geografi, ia percaya pada mitos Gaya Belajar. Kemudian ia menguji siswa mereka dan didapati bahwa sebagian ada 3 kelompok yaitu visual, auditori, dan verbal. Kemudian kelompok visual diminta untuk melihat peta Indonesia, sementara kelompok visual diminta untuk mendengarkan penjelasan peta Indonesia, dan kelompok verbal diminta untuk membaca artikel tentang peta Indonesia. 

Sementara itu di sekolah lainnya, seorang guru tidak peduli dengan gaya belajar siswa mereka, tetapi ia menyediakan peta Indonesia, beserta penjelasannya dalam bentuk audio, serta artikel bacaan untuk semua siswa mereka. Menurut anda, mana yang lebih efektif? 

Lakukan riset sebelum menjawab. Think again

Referensi

Furey, W. (2020). THE STUBBORN MYTH OF LEARNING STYLES. Education Next, 20(3), 8-13. 

Fleming, N., & Baume, D. (2006). Learning Styles Again: VARKing up the right tree!. Educational developments, 7(4) 

Oakley, B. & Sejnowski, T. (2018). Learning How To Learn. New York: Penguin Random House LLC 

Pashler, H., McDaniel, M., Rohrer, D., & Bjork, R. (2008). Learning styles: Concepts and evidence. Psychological science in the public interest, 9(3), 105-119. 

Rogowsky, B. A., Calhoun, B. M., & Tallal, P. (2015). Matching learning style to instructional method: Effects on comprehension. Journal of educational psychology, 107(1), 64. 

Willingham, D. T., Hughes, E. M., & Dobolyi, D. G. (2015). The scientific status of learning styles theories. Teaching of Psychology, 42(3), 266-271

 

4 pemikiran pada “Mitos Terbesar dalam Dunia Pendidikan: Gaya Belajar

  1. Yang saya pahami dari merdeka belajar adalah diferensiasi bukan mengkotakkan murid dengan gaya belajar, tetapi lebih pada kemampuan dasar dalam setiap fase, topik, dan konten pembelajar. Sepakat, dengan memaksimalkan seluruh indra untuk mendapatkan informasi akan lebih baik dalam menggapai ilmu pengetahuan.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Saya juga mengajar IPS, ketika menyampaikan materi bagian2 peta, anak2 lebih mudah memahami ketika mereka melihat secara langsung peta kemudia sya menjelaskan bagaian2 apa sja yang ada di peta, dan mempraktikkan anak untuk menunjukkan bagian2 peta. Berbeda jika anak belajar sesuai gaya belajar mereka, selain tingkat keberhasilan kurang pasti guru juga akan kewalahan jikan flm saru kelas sekali pembelajaranenggunakan lebih dr 1 metode dlm satu waktu

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Siti nur khasanah Batalkan balasan