Tentang Cerita dan Bercerita

Suara lantunan dzikir setelah Isya yang saling bersahutan dari corong speaker musholla-musholla di kampung perlahan menghilang, tanda malam hendak menuju larut. Sinar rembulan tak lagi tampak, tertutup awan mendung yang menggulita. Hujan sepertinya tak lama lagi akan turun. Di suatu rumah, seorang perempuan sedang menyiapkan nampan demi nampan. Sepertinya rumah yang ia tempati tak pernah bersahabat dengan hujan. Hujan selalu berhasil menembuskan airnya ke dalam celah-celah atap tua rumahnya. Jika tak ditangkap dengan nampan-nampan itu, air hujan bisa saja membanjiri lantai rumahnya dan membasahi perabotan miliknya.

Di dalam kamar, dua orang anak sedang menunggu sang bapak. Seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka nampak bersiap untuk tidur. Berbaring di atas kasur. Namun sepertinya agenda rutin ini menjadi syarat wajib sebelum tidur. Bapak pun masuk ke dalam kamar. Membawa buku yang cukup tebal bercover coklat. Buku yang hampir mirip kitab suci, namun berisi kumpulan majalah-majalah anak. Kedua anak menyambut sang bapak dengan senyum merekah bahagia. Mereka berebut untuk dibacakan cerita. Anak perempuan meminta dibacakan cerita favoritnya tentang asal usul Danau Toba sementara sang anak laki-laki memilih dibacakan Deni Sang Manusia Ikan.

Dengan mimik yang dramatis sang bapak mencoba merangkai cerita sembari menunjukkan gambar peristiwa di dalam buku. Hal ini mampu menarik perhatian kedua anaknya. Ia pun mencoba mengatur intonasi suaranya, adakalanya merendah seperti saat mengawali cerita “Pada suatu ketika, hidup seorang petani di wilayah Samosir, Sumatra Utara”, atau dengan intonasi yang penuh dengan rasa ingin tahu ketika menyelipkan sebuah pertanyaan dalam cerita “Kalian tahu di mana daerah samosir itu?” sehingga anak-anaknya berusaha untuk menebak-nebak jawaban dari pertanyaan itu. Atau dengan intonasi mengejutkan ketika dia berusaha menceritakan peristiwa Ikan yang bisa berbicara.

“Pak Toba, itu serakah ya pak?” tanya sang anak perempuan

“Ya, makanya kita harus senantiasa bersyukur apapun keadaan kita, jika kita terbiasa bersyukur ketika kita diberikan kekayaan nanti kita tidak serakah seperti pak Toba” jelas sang bapak

“Berarti rumah kita bocor semua harus tetap bersyukur ya pak?” tanya sang anak laki-laki

“Tentu harus tetap bersyukur, karena masih bisa tinggal di dalam rumah, meskipun rumahnya bocor semua.” Jawab sang bapak.

Cerita demi cerita dibacakan sang bapak hingga kedua anaknya tidur terlelap. Sang bapak tidak pernah tahu efek dari cerita-cerita yang ia bacakan untuk anak-anaknya setiap malam. Ia melakukan itu semata-mata karena tidak ada hiburan lain bagi anaknya. Ia tak mampu membelikan mainan anak-anaknya seperti anak-anak lain, bahkan tidak ada pesawat televisi di rumahnya seperti di rumah-rumah tetangganya. Cerita adalah satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan untuk anak-anaknya. Sang bapak benar-benar tak pernah tahu efek dari cerita-cerita yang ia bacakan untuk anak-anaknya setiap malam.

—————–

Tahun  2014 American Academy of Pediatrics membuat sebuah rekomendasi bahwa membacakan buku untuk anak-anak di usia-usia emas menjadi faktor yang paling besar pengaruhnya terhadao kesuksesan akademik anak-anak mereka di kemudian hari.

“With the increased recognition that an important part of brain development occurs within the first three years of a child’s life, and that reading to children enhances vocabulary and other important communication skills, the group, which represents 62,000 paediatricians across the country, is asking its members to become powerful advocates for reading aloud, every time a baby visits the doctor.” (New York Times, 2014)

Dengan pertimbangan otak anak yang mengalami perkembangan signifikan di usia-usia emas maka dengan membacakan cerita-cerita kepada anak diharapkan mampu meningkatkan jumlah kosakata yang dipahami oleh anak-anak hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap perkembangan komunikasi verbal mereka di kemudian hari.

Selain itu, di tahun 2018, beberapa peneliti dari Jepang mencoba mencari tahu efek dari bercerita kepada anak dengan menggunakan Near Ifrared Spectroscopy (NIRS) dan menemukan bahwa aliran darah ke otak mengalami percepatan ketika anak-anak dibacakan dongeng atau cerita bergambar daripada anak-anak membaca sendiri. Hasilnya menunjukkan aktivasi otak yang lebih berkelanjutan untuk aktivitas mendongeng dibandingkan dengan membaca buku bergambar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya kemungkinan keuntungan mendongeng sebagai media psikologis dan pendidikan pada anak-anak.

Bercerita mengambil posisi penting dalam sejarah peradaban manusia. Ketika kita belajar tentang sejarah manusia, kita akan menemukan lukisan-lukisan di goa-goa yang merupakan usaha dari nenek moyang manusia untuk bercerita. Bahkan teks-teks kitab suci yang kita imani, sebagian besar berisi tentang cerita. Cerita memungkinkan kita untuk memvisualisasikan, mengimajinasikan, berempati, dan terhubung dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan oleh statistik.

Cerita mempu menghidupkan imajinasi, dan imajinasi adalah sumber kreativitas. Jika kita kaitkan dengan kreativitas sebagai keterampilan yang dibutuhkan di masa yang akan datang maka kita tidak boleh menghilangkan peran cerita dalam dunia Pendidikan saat ini. Riset dari Egan (1989) menunjukkan bagaimana peran cerita dalam pembelajaran. Namun, ketika kita berjalan ke dalam kelas-kelas kita hari ini, kita akan mungkin menemukan guru-guru yang banyak menjelaskan tentang fakta, benda, dan rumus-rumus. Pendekatan yang Ergan (1989) katakan sebagai pendekatan teknokrat. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembelajaran dapat diatur dengan baik untuk menghasilkan output yang standar seperti halnya jalur perakitan diorganisir untuk memproduksi mobil. Kita harus memulai dengan pernyataan yang tepat tentang tujuan pembelajaran kita, seperti halnya perencana industri memberikan rencana terperinci untuk mobil baru. Lalu kita harus mengumpulkan bahan atau isi pelajaran atau unit kita, seperti halnya perencana industri harus memastikan pasokan bahan ke jalur perakitan. Kemudian kita harus memutuskan metode yang akan kita gunakan dalam menyampaikan konten, seperti halnya perencana industri mengatur berbagai keterampilan yang dibutuhkan di sepanjang jalur perakitan. Dan pada akhirnya kita perlu mengevaluasi seberapa jauh tujuan kita tercapai, sama seperti di akhir jalur perakitan seorang petugas kendali mutu harus naik ke mobil untuk melihat apakah itu berhasil. Ketika merumuskan model pembelajaran seperti ini, Tyler (1949) mungkin lupa bahwa pembelajaran oleh manusia adalah sebuah aktivitas imajinatif bukan fungsi penyimpanan seperti yang dilakukan oleh komputer.

Mari kita kembali ke masa silam. Sebagian besar kita pastinya mempunya guru favorit. Saya bertaruh satu hal ini menjadi salah satu pertimbangan kenapa setidaknya kita memilihnya sebagai guru favorit, yaitu mereka membuat pelajaran menjadi hidup dengan ilustrasi yang memikat, mungkin mereka bercerita tentang pengalaman, berbagi tentang sejarah ataupun berita terkini. Guru-guru seperti ini tahu bagaimana membuat sebuah lingkungan atau kelas yang anak-anak bisa lakukan secara natural. Apa yang anak-anak lakukan secara natural? Mereka berimajinasi kemudian berpura-pura menjadi tokoh pada cerita yang mereka dengarkan. Dan yang perlu diingat, hal ini tidak hanya berlaku kepada anak-anak saja, kita juga banyak belajar dengan mengikuti cerita-cerita orang sukses sebelum kita.

Di mana para guru seharusnya memposisikan cerita dalam pembelajaran? Saya ingin bercerita tentang guru Matematika saya. Namanya Sutiyoso. Dalam satu kesempatan beliau mengajar tentang materi peluang. Alih-alih beliau memulai dengan rumus Bayes yang terkenal itu, ia memulai dengan cerita Michael Bambang Hartono. Banyak orang mengenalnya sebagai pemilik perusahan rokok Djarum dan salah satu orang terkaya di Indonesia, tapi siapa sangka dia juga merupakan atlit Bridge professional dan sukses. Bagaimana dia bisa sukses, tentu saja dia menggunakan teori probabilitas seperti milik Bayes. Teori ini membuat dia tidak hanya mampu melihat peluang usaha tapi juga mampu melihat peluang dalam dunia Bridge profesional. Nah, tentu saja saat itu dengan ekspresi dan mimik wajah yang sungguh-sungguh, pak Sutiyoso tidak hanya membuat saya ingin belajar statistika, tetapi juga menyenangi matematika.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa rumus matematika tidak penting, tentu saja rumus itu penting. Untuk menguasai suatu keterampilan kita perlu rumus-rumus itu, tetapi untuk bisa sampai di sana kita perlu memulainya dari titik yang tepat.

Dunia saat ini memasuki era yang disebut era keberlimpahan di mana sumber-sumber belajar kita bisa dapatkan di mana pun dan kapan pun. Nyalakan gawai dan laptop kita, kemudian bukalah Google lalu ketikkan beberapa kunci, kita akan menemukan banyak cerita yang kita bisa bagikan kepada anak-anak kita di dalam kelas sesuai dengan topik dan materi yang mereka pelajari. Dengan media yang sama, sebagai seorang guru, kita juga bisa terus melatih keterampilan bercerita kita. Keterampilan yang menurut saya, wajib dimiliki oleh semua guru.

—————

Di tahun 2016 anak laki-laki bapak duduk duduk di dalam sebuah bis yang mengantarnya dari kota Sheffield melintasi desa-desa di daerah Peak District. Ia berhenti di sebuah desa yang indah. Ada bangunan milik bangsawan Inggris dan gereja tua di seberang jalannya. Salah satu hal yang membawanya ke sana adalah karena ia suka membaca cerita. Kegemarannya ini membawanya pada sebuah novel berjudul Edensor. Dari novel inilah ia memiliki mimpi bahwa suatu saat nanti bagaimanapun caranya ia akan sampai di tanah Edensor.

Tinggalkan komentar