Menahan Diri

Percobaan Marsmello
Photo Credit: J Adam Fenster

Tahun 1970, Walter Mitschel mengumpulkan sebanyak 32 anak dari TK Bing yang dikelola oleh Universitas Stanford. 16 anak laki-laki dan 16 anak perempuan dengan rentang usia antara 3 sampai 5 tahun. Satu persatu anak-anak ini diminta masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya hanya ada kursi, meja, dan hadiah untuk anak-anak tersebut. Hadiah tersebut berupa marsmello.

Satu persatu anak-anak diminta untuk masuk ke ruangan dan duduk di kursi. Kemudian Mitschel menjelaskan bahwa di atas meja ada marsmello yang akan ia berikan kepada sang anak. Lalu ia ijin meninggalkan ruangan sebentar sambil berkata bahwa ia akan menambah jumlah marsmello jika sang anak mau menunggunya dan tidak memakan marsmello di depannya sebelum ia datang. Lalu sang anak ditinggalkannya sendirian di dalam ruangan tersebut.

Di ruangan yang lain Mitschel melakukan hal yang sama kepada beberapa anak. Namun di dalam ruangan ini tidak nampak marsmello. Yang ada hanyalah kursi dan meja. Sebanyak kurang lebih 52 anak dari TK Bing, secara satu persatu dimintanya untuk duduk dan dijanjikan hadiah berupa marsmello jika anak tersebut mau menunggunya untuk kurang lebih selama 15 menit.

Tujuan dari penelitian yang kini dikenal sebagai Marsmello Standford Experiment ini adalah untuk mengetahui seberapa kuat anak-anak mampu menahan diri apabila sebuah hadiah dihadapkan secara gamblang di hadapan mereka. Juga terkait dengan tingkat frustasi anak-anak terhadap kondisi di atas. Dan hasilnya menunjukkan bahwa kondisi pertama (hadiah diperlihatkan secara gamblang) membuat anak-anak tidak mampu menahan diri dan cenderung membuat anak-anak mudah frustasi.

Penelitian Mitschel tidak berhenti sampai di sini saja, tahun 1988 sebuah survey kepada para orang tua anak-anak yang menjadi subjek dalam penelitian ini menjelaskan bahwa anak-anak yang mampu menahan diri jauh lebih kompeten daripada mereka yang tidak mampu menahan diri. Tahun 1990 ia melakukan investigasi terhadap anak-anak yang berada di ruangan pertama, hasilnya mengejutkan. Mereka yang mampu menahan diri dan mendapatkan dua buah marsmello secara umum mendapatkan nilai SAT (Semacam Ujian Nasional di USA) yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak mampu untuk bersabar dan memakan marsmello yang ada di meja. Tahun 2011, dilakukan uji scanning otak kepada anak-anak tersebut yang saat itu usianya sudah mencapai 30an dan didapati bahwa anak-anak yang mampu menahan diri memiliki kondisi prefrontal cortex (bagian otak yang berfungsi membedakan baik buruk benar salah) lebih bagus daripada mereka yang tidak mampu menahan diri. Tentu saja secara ekonomi dan sosial kondisi mereka yang mampu menahan diri dalam percobaan marsmello tersebut lebih baik daripada mereka yang tidak mampu menahan diri.

Hal ini tentu senada tentang apa yang diceritakan oleh Morgan Housel dalam buku terlarisnya “The Psychology of Money”. Ialah Ronald Read dan Richard Fuscone. Mereka berdua memiliki latar belakang yang sangat kontras. Read berasal dari keluarga sederhana dan hanya lulusan SMA sementara Fuscone dari keluarga ekonomi atas dan lulusan perguruan tinggi prestisius. Read adalah seorang montir selama 25 tahun dan 17 tahun sebagai tukang bersih bersih kamar mandi, sementara Fuscone adalah seorang direktur finansial perusahaan terkemuka di Amerika. Yang menyamakan keduanya adalah aktivitas mereka sebagai filantropis (orang yang dermawan). Tahun 2014 Read meninggal di usia 92 tahun, meninggalkan tabungan sebesar 8 juta USD yang dalam wasiatnya ia gunakan untuk pendidikan anak-anak asuhnya serta untuk berdonasi di rumah sakit-rumah sakit. Dari manakah Read memperoleh uang sebanyak itu? Tidak ada yang istimewa, selama hidupnya ia menyisihkan penghasilannya untuk menabung dan berinvestasi di saham blue chip. Dengan uang yang berlimpah ia memilih untuk tetap hidup sederhana di rumah dengan dua kamar. Sementara itu, 5 bulan sebelum Read meninggal, Fuscone dinyatakan bangkrut karena di tahun 2000 an ia meminjam uang untuk mendirikan sebuah mansion mewah yang sangat besar dengan biaya perawatannya sekitar 90000 USD sebulan. Tahun 2008, Amerika dihantam oleh krisis kuangan sehingga Fuscone harus menjual tidak hanya mansion yang ia dirikan tetapi juga rumahnya. Yang satu memiliki kemampuan menahan diri yang baik dan satunya tidak.

Terlepas dari debat yang terjadi di kalangan peneliti tentang validitas dan reliabilitas eksperimen ini mestinya kita menyadari betapa pentingnya belajar menahan diri dan mengajari anak-anak kita untuk menahan diri.

Seperti yang kita ketahui bersama, sebagian besar waktu anak-anak kita dihabiskan di sekolah, bahkan bagi mereka yang mengirimkan anaknya ke sekolah berasrama, bisa dikatakan 90 persen waktu anak-anak dihabiskan di sekolah berasrama tersebut. Tak salah jika saya mengatakan bahwa anak-anak berlatih untuk menahan diri sebagian besarnya dilakukan di sekolah.

Sementara itu, di era perkembangan teknologi ini dan ditambah dengan adanya pandemi, sekolah-sekolah harus segera beradaptasi. Pembelajaran menggunakan teknologi baik secara daring maupun luring menjadi sebuah keniscayaan. Generasi Alpha yang merupakan natif teknologi informasi tidak dapat dipisahkan dari alat komunikasi baik berupa handphone maupun laptop yang tentunya memiliki sisi positif dan negatif. Oleh karena itu, sebagai institusi pendidikan, sekolah memiliki aturan bagi para penghuninya baik guru maupun siswa dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi ini. Salah satu contohnya adalah anak-anak tidak diperkenankan untuk mengakses game selama di sekolah.

Selain untuk kondusifitas kegiatan belajar mengajar, hal ini tentunya juga berkaitan dengan latihan untuk menahan diri. Sama seperti percobaan marsmello yang dilakukan oleh Mistchel. Dan untuk proses pendidikan ini, butuh kerjasama yang kuat antara sekolah dan rumah.

Dalam diskusi saya dengan teman-teman pengelola sekolah berasrama, kami membahas tentang penggunaan media sosial sebagai sarana berkomunikasi dengan orang tua di luar jam yang telah ditentukan oleh sekolah. Agar lebih jelas konteksnya, sebagian besar sekolah berasrama memiliki aturan yang melarang siswa mereka untuk berkomunikasi di jam yang telah ditentukan, biasanya akhir pekan. Dan aturan ini tentunya sudah disosialisasikan kepada orang tua dan bagian dari kesepakatan antara orang tua dan sekolah. Namun, beberapa anak memanfaatkan celah yang ada untuk bisa berkomunikasi dengan orang tua. Dan nahasnya tidak sedikit orang tua yang merespon pesan dari anaknya tersebut. Bagi sekolah yang menitik beratkan pada imunisasi (memberikan pengertian) daripada isolasi (membatasi/memblokir celah), hal ini tentunya bisa mengganggu proses pendidikan yang ada terutama dalam hal menahan diri.

Uji marsmello juga mengajarkan kita agar lebih berhati-hati dalam memfasilitasi anak-anak dengan gadget yang kita berikan. Tidak sedikit orang tua terutama dari kalangan menengah atas yang menginginkan anak-anak mereka belajar dengan menggunakan laptop namun memberikan anak-anak mereka laptop dengan spesifikasi gaming. Seperti yang telah ditemukan oleh Mitschel (1970) bahwa ketika reward itu ada di depan mereka, mereka akan cenderung terdistraksi, frustasi, dan tidak bisa menahan diri.

Anak-anak yang gagal dalam menahan diri cenderung lebih memilih jalan pintas daripada jalan panjang yang harus mereka lalui dengan sabar. Mencontek, copy paste, berbohong, dan aktivitas negatif lainnya yang mampu membawa mereka untuk segera mendapatkan reward akan mereka ambil. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap masa depan mereka seperti yang telah dibuktikan oleh Mitschel dalam penelitiannya.

Hari ini kita memasuki bulan suci Ramadhan, shaum atau dalam bahasa Indonesia berarti puasa memiliki arti harfiah menahan diri. Mari jadikan Ramadhan ini menjadi bulan latihan kita untuk menahan diri tidak hanya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa tetapi juga menahan diri dari hal-hal yang bisa merugikan masa depan kita dan anak-anak kita.

Selamat menjalankan ibadah Puasa Ramadhan 1443 H, selamat belajar untuk menahan diri.

Referensi:

1. Mischel, Walter; Ebbesen, Ebbe B. (1970). “Attention in delay of gratification”. Journal of Personality and Social Psychology. 16 (2): 329–337.

2. Mischel, W; Shoda, Y; Rodriguez, M. (26 May 1989). “Delay of gratification in children”. Science. 244 (4907): 933–938.

3. Mischel, Walter; Shoda, Yuichi; Peake, Philip K. (1988). “The nature of adolescent competencies predicted by preschool delay of gratification”. Journal of Personality and Social Psychology. 54 (4): 687–696.

4. Morgan Housel, The Psychology of Money

Satu pemikiran pada “Menahan Diri

Tinggalkan komentar