Insentif

Problem Lilin oleh Karl Dunker

Tahun 1945 ketika Indonesia sedang merayakan kemerdekaannya, seorang psikolog dari Universitas Clark, Massachusetts di Amerika bernama Karl Dunker membuat percobaan yang sampai saat ini masih sering kita tanyakan kepada anak-anak kita. Percobaan itu terkenal dengan sebutan percobaan lilin. Dalam percobaan itu, disediakan beberapa paku payung yang diletakkan di atas kotak karton, sebuah lilin, dan beberapa batang korek api. Semuanya diletakkan di atas meja yang posisinya berdampingan dengan tembok ruangan tersebut. Dunker meminta beberapa subjek penelitiannya untuk menyalakan lilin namun lelehan dari lilin tersebut tidak boleh jatuh ke meja.

Dari semua subjek penelitian, beberapa mencoba untuk menancapkan lilin langsung menggunakan paku payung ke tembok, namun seperti yang bisa diprediksi hasilnya gagal. Beberapa orang kemudian melelehkan sebagian dari lilin dan menggunakan lelehan tersebut sebagai perekat lilin di tembok, namun hal tersebut juga gagal. Dan setelah sekitar lima belas menit barulah ada yang mempunyai ide untuk mengeluarkan semua paku payung dari kotak, kemudian menancapkan kotak tersebut ke tembok sebagai tempat di mana lilin bisa berdiri dan dinyalakan. Dan tentu saja ide inilah yang berhasil.

Penelitian ini digunakan oleh Dunker untuk membuktikan  Functional fixedness dari seseorang. Functional fixedness sendiri berarti bias kognitif yang membatasi seseorang untuk menggunakan suatu objek hanya dengan cara yang digunakan secara tradisional atau pada umumnya. Pada percobaan lilin oleh Dunker di atas, para subjek penelitian hanya melihat kotak paku payung sebagai tempat untuk meletakkan paku payung padahal bisa juga digunakan sebagai penyangga lilin.

17 tahun berikutnya, seorang psikolog dari Princeton University, Sam Glucksberg menggunakan percobaan lilin ini untuk menguji seberapa efektifkah dampak dari insentif terhadap kreatifitas subjek penelitiannya. Dia menggunakan problem lilin yang sama, namun dia membagi subjek penelitiannya ke dalam dua group. Pada group yang pertama dia ingin mengatakan bahwa dia ingin tahu seberapa cepat subjek peneilitian di group pertama bisa menyelesaikan masalah ini. Dan di group yang kedua dia bilang bahwa dia akan memberikan hadiah bagi 25 orang yang tercepat dalam menyelesaikan masalah ini. Bahkan dia berjanji akan memberikan uang sebesar 20 dollar bagi yang tercepat menyelesaikan masalah lilin ini. Setelah kedua group menyelesaikan permasalahan lilin yang diberikan, Glucksberg membandingkan rata-rata waktu penyelesaian masalah antara kedua group. Yang mengejutkan adalah group pertama, atau group yang tidak dijanjikan untuk diberikan hadiah TIGA SETENGAH MENIT LEBIH CEPAT dalam menyelesaikan permasalahan lilin yang diberikan.

Hasil penelitian Glucksberg ini tentu saja bertentangan logika awam kita. Logika awam kita tentu mengatakan bahwa jika ingin mendapatkan hasil yang bagus maka sebaiknya kita memberikan bonus, penghargaan, tunjangan, dan sebagainya yang dalam bahasa umum kita kenal sebagai insentif.  Lihat saja, ada banyak istilah yang kita temukan terkait insentif ini yang pada umumnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kinerja kita seperti tunjangan kinerja, tunjangan profesi, tunjangan pendamping, tunjangan jabatan, tunjangan kordinator, dan sebagainya. Namun terjadi perbedaan yang bertolak belakang antara apa yang sains temukan dan apa yang menjadi kebijakan kita dalam dunia kerja.

Lalu apakah insentif benar-benar tidak bekerja? Untuk menguji ini, Glucksberg melakukan penelitian lagi. Kali ini ia agak sedikit memodifikasi permasalahan lilin. Paku payung yang sebelumnya diletakkan di atas kotak, kini ia letakkan paku payung tersebut di luar kotak atau di atas meja. Dan hasilnya, mereka yang diberikan insentif jauh lebih cepat menyelesaikan permasalahan daripada mereka yang tidak diberikan insentif. Dari percobaan kedua tersebut, kita bisa melihat bahwa untuk pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan kreatifitas atau pekerjaan yang SOP nya sudah sangat jelas hanya perlu diikiuti saja, insentif bisa bekerja dengan baik bahkan sangat baik.

Problem Lilin di Percobaan Kedua Glucksberg

Bagaimana dengan dunia kita ke depan? Apakah kita membutuhkan banyak kreativitas ataukah pekerjaan yang SOPnya sudah sangat jelas dan mungkin akan lebih cepat lagi bila digantikan dengan software atau komputer?

Penelitian McKinsey (2021) yang berjudul “Defining the skills citizens will need in the future world of work” menempatkan kreatifitas, imajinasi, penyelesaian masalah kompleks, serta menaganalisis bias dalam berpikir sebagai keterampilan kognitif yang harus dikuasai di masa yang akan datang. Hal ini juga sesuai dengan laporan dari World Economic Forum (2020) tentang pekerjaan di masa yang akan datang di mana jumlah permintaan untuk pekerjaan yang algoritma dan SOP nya sudah jelas dan berulang cenderung turun drastis di tahun 2025. Maka dari itu, mungkin ini adalah opini tidak populer, tapi kita harus mengganti paradigma berpikir kita tentang insentif.

Tahun 2008 ketika saya pertama kali membeli laptop, ada sebuah perangkat lunak yang sangat ingin saya install dan harus ada di laptop saya. Nama perangkat lunak tersebut adalah Microsoft Encarta. Perangkat lunak ini merupakan ensiklopedia yang berisi tentang artikel dan kuis dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Saya suka sekali membaca. Maka dari itu, saya ingin sekali perangkat lunak ini ada di laptop saya.

Untuk memulai membuat dan mengembangkan Encarta di tahun 1993, Microsoft mengumpulkan dan membayar ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mulai dari ahli sejarah, ahli botani, ahli hewan, astronom, dan sebagainya. Mereka merumuskan artikel terbaik yang kemudian disunting agar mudah dan ringan untuk dibaca. Hanya saja, Encarta harus berhenti memperbarui konten dan layanannya di tahun 2009. Salah satu penyebabnya adalah tentu saja ensiklopedia yang lahir 8 tahun setelah Encarta lahir.

Ialah Jimmy Wales dan Larry Sanger yang memprakarsai lahirnya open source ensiklopdia bernama Wikipedia. Di Wikipedia ini semua orang bebas untuk menulis dan mengunggah informasi baru serta menyunting informasi yang telah ada. Tidak ada insentif untuk menulis dan menyunting artikel di platform ini. Dalam bahasa yang lebih duniawi, kita menulis dan menyunting tulisan di Wikipedia karena kita senang untuk melakukannya. Dan kita bisa melihat hasilnya. Tentu saja, saat ini Wikipedia merupakan ensiklopedia berbasis webiste yang menjadi rujukan bahkan bisa dikatakan rujukan pertama apabila kita mencari tahu tentang suatu pengetahuan. Sementara pendahulunya Encarta, mungkin anda baru saja tahu tentangnya dari tulisan ini.

Dari kasus Encarta dan Wikipedia kita belajar bahwa model bisnis dan pekerjaan saat ini sudah mulai berubah. Model lama yang menitikberatkan insentif sebagai motivasi untuk meningkatkan kinerja sudah usang dan cenderung kontras dengan rekomendasi sains. Untuk mendapatkan kinerja dan kreatifitas yang optimal, kita rupanya harus mengesampingkan terlebih dahulu masalah insentif. Fokus kita harus berpindah pada hal-hal seperti yang disebutkan Daniel Pink dalam bukunya berjudul “Drive” yaitu Otonomi, Masteri, dan Tujuan.

Otonomi adalah dorongan untuk mengarahkan hidup sendiri. Tanpa kemampuan untuk mengontrol apa, kapan, dan bagaimana kita bekerja, dan dengan siapa kita bekerja, kita tidak akan pernah sepenuhnya termotivasi untuk menyelesaikan suatu tugas. Bagaimana organisasi kita dapat memberikan lebih banyak otonomi kepada karyawannya? Kita dapat melakukan persis seperti yang dilakukan Google dimana kita menyisihkan waktu tertentu dalam seminggu, bulan, atau tahun yang dapat dihabiskan anggota tim kita untuk mengerjakan proyek apa pun yang mereka inginkan.

Ide lain yang lebih ekstrim termasuk menghapus jadwal dari tempat kerja Anda. Biarkan tim kita melakukan pekerjaan mereka kapan pun mereka mau, selama mereka masih menyelesaikan proyek mereka dengan baik dan tepat waktu. Atau Anda dapat mendukung program kerja jarak jauh. Biarkan tim Anda bekerja di tempat yang mereka inginkan— setidaknya satu atau dua hari seminggu.

Apakah di Indonesia ada perusahaan seperti ini? Saya dengan tegas menjawab ada. Ialah e-fishery, perussahaan rintisan yang baru saja mendapat suntikan investasi sebesar 90 Juta USD atau sekitar 1,3 Trilyun Rupiah dari Temasek dan Softbank, menjadi Aquapreneur terbesar di Asia. Dan yang mengejutkan adalah kinerja karyawannya meningkat setelah adanya penerapan bebas mau bekerja dari manapun atau mau bekerja di kantor. (Kompas.com 13/10/21)

Masteri (Penguasaan) adalah elemen penting lainnya untuk motivasi intrinsik dan digambarkan sebagai keinginan untuk menjadi lebih baik dalam sesuatu bidang pekerjaan.

Manajemen perlu mencocokkan setiap karyawannya dengan tugas yang tepat. Jika Anda terus-menerus meminta anggota tim Anda untuk menyelesaikan proyek yang tidak mereka kuasai, mereka akan merasa kewalahan dan motivasi mereka akan turun. Jika Anda memberi mereka tugas yang terlalu mudah, mereka akan bosan. Anda perlu menemukan apa yang disebut Pink sebagai tugas Goldilocks: tugas yang tidak terlalu sulit atau terlalu mudah, tetapi tepat.

Tujuan (purpose) yang didefinisikan Daniel Pink sebagai hasrat untuk melakukan pekerjaan demi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Lebih dari sekadar gaji. Ini adalah bentuk motivasi tertinggi. Ketika para pekerja percaya pada apa yang sedang dibangun perusahaan/organisasi, mereka akan lebih produktif, bekerja lebih keras, lebih sedikit mengeluh, dan terlibat penuh.

Kita perlu memastikan bahwa setiap anggota tim memahami visi tersebut. Agar mereka bisa melihat gambaran besarnya. Jika mereka tidak tahu jawaban atas apa yang sebenarnya sedang dikerjakan oleh organisasi kita dan mengapa itu penting, mereka tidak akan termotivasi seperti yang mereka bisa. Dan yang harus menjadi catatan kita adalah hal ini dimulai selama fase perekrutan. Hanya bawa orang-orang yang nilai dan dorongannya sejalan dengan tujuan organisasi.

Bagaimana dengan Pendidikan Kita?

Tahun 2005 pemerintah mengeluarkan sebuah program yang dinamakan sertifikasi guru. Trilyunan dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan insentif kepada para guru yang memiliki sertifikat pendidik. Lalu apakah lantas hal tersebut berhasil meningkatkan performa dan lulusan kita. Hasil riset Smeru (2018) yang berjudul Education in Indonesia: A white elephant menyatakan bahwa dana yang dikeluarkan pemerintah sejak dimulainya program sertifikasi tersebut tidak sebanding dengan hasil yang diinginkan. Mereka menggunakan hasil PISA dari tahun 2003 hingga 2015 yang tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Bahkan laporan tersebut diberi judul A White Elephant (Gajah Putih) sebuah istilah dalam bahasa Inggris untuk menggambarkan biaya perawatan yang tinggi namun tidak memiliki manfaat atau keuntungan yang maksimal. Hipotesis saya hal ini terjadi karena fokus utama dari program ini adalah pada insentifnya (TPP). Setidaknya hal ini berdasarkan apa yang sudah saya sampaikan di atas.

P.S.

Saya sendiri menyayangkan ketika ada organisasi pendidikan memiliki proyek besar untuk membuat sebuah alat bantu belajar, yang notabene membutuhkan kreatifitas yang tinggi, namun hal yang pertama dilakukan setelah menunjuk tim adalah memperkenalkan insentif yang diberikan tiap bulannya. Dan dari cara awal melangkah serta berdasarkan teori di atas, saya tentu mempunyai alasan untuk mengkhawatirkan kualitas alat belajar yang dibuat.

Referensi

  1. Glucksberg, S. (1962). “The influence of strength of drive on functional fixedness and perceptual recognition”. Journal of Experimental Psychology63: 36–41
  2. Drive: Surprising Truth about What Motivate Us (Buku oleh Daniel Pink)
  3. Efishery Terapkan WFA Permanen untuk Karyawannya, bisa diakses di: /https://money.kompas.com/read/2021/10/13/181000826/efishery-terapkan-wfa-permanen-untuk-karyawannya?page=all
  4. Encarta’s Failures is No Tragedy, bisa diakses di https://www.theguardian.com/technology/2009/apr/07/wikipedia-encarta
  5. Indonesia Education: A White Elephant, bisa diakses di: http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/whiteelephant.pdf
  6. Defining the skills citizens will need in the future world of work, bisa diakses di: https://www.mckinsey.com/industries/public-and-social-sector/our-insights/defining-the-skills-citizens-will-need-in-the-future-world-of-work
  7. The Future of Jobs Report 2020, bisa diakses di: https://www.weforum.org/reports/the-future-of-jobs-report-2020

Artikel saya lainnya tentang Motivasi

Prinsip Bekerja (Mendidik) : Melayani

2 pemikiran pada “Insentif

Tinggalkan Balasan ke Rosa Batalkan balasan