AKM dan Kebutuhan Berpikir Lateral

Di awal masa kepemimpinannya sebagai Menteri Pendidikan, Nadim Makariem mengeluarkan sebuah program besar yang dikenal sebagai 4 pokok kebijakan merdeka belajar yang salah satunya adalah penghapusan Ujian Nasional. Ujian Nasional dianggap sudah tidak relevan karena tidak lagi menentukan kelulusan siswa dan bukan merupakan syarat untuk masuk ke perguruan tinggi. Sebagai gantinya maka dibuatlah Asesmen Kompetensi Minimal dan Survei Karakter sebagai alat evaluasi pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah. AKM dan Survey Karakter ini menjadinya satu-satunya evaluasi pendidikan dari pemerintah setelah Ujian Sekolah Bersama Nasional juga diserahkan kepada masing-masing unit pendidikan (sekolah).

Beberapa perbedaan mendasar antara AKM dan Ujian Nasional diantaranya terdapat pada waktu pelaksanaan juga materi yang diujikan. Waktu pelaksanaan ujian nasional diselenggarakan  pada akhir masa pendidikan di tiap jenjang sekolah yaitu kelas 6 untuk sekolah dasar, kelas 9 untuk jenjang SMP dan kelas 12 untuk jenjang SMA, sementara itu AKM diberikan kepada siswa kelas 5, kelas 8, dan kelas 9. Meskipun ada wacana ke depan AKM akan diberikan ke selurih siswa, sementara ini pemerintah akan memilih peserta secara acak para peserta yang secara kuantitas berjumlah maksimal 30 orang untuk jenjang SD dan 45 orang untuk jenjang SMP dan SMA. Konten yang diujikan pun berbeda dengan ujian nasional. Konten ujian tidak berbasis mata pelajaran melainkan secara umum menguji tentang kemampuan literasi dan numerasi siswa. Hasil yang diperoleh nanti bukan menjadi alat evaluasi individu siswa, melainkan bersifat kolektif yaitu mengevaluasi proses pendidikan mulai dari unit pendidikan terkecil yaitu sekolah hingga level nasional.

Yang menjadi persamaan  antara AKM dan UN adalah kedua-duanya berbentuk tes terstandar. Tes jenis ini adalah segala bentuk tes yang mengharuskan semua peserta tes (siswa) untuk menjawab pertanyaan yang sama, atau pilihan pertanyaan dari bank soal, dengan cara yang sama, dan dinilai dalam “standar” atau cara yang konsisten, yang memungkinkan untuk membandingkan kinerja relatif setiap siswa atau kelompok siswa. Dengan kata lain, sebenarnya kita sedang berpindah dari penilaian terstandar satu ke penilaian terstandar lainnya.

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam tes terstandar. Salah satu kelebihannya kenapa sistem evaluasi oleh negara biasanya menggunakan tes terstandar adalah kemudahannya untuk dilaksanakan secara masif serta memudahkan pemerintah dalam mengolah data yang bisa menjadi acuan untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Namun di lain sisi, model test terstandar semacam ini tidak mampu mengukur kemampuan siswa secara utuh. Hasil kajian dari MIT menyebutkan bahwa naiknya nilai tes terstandar tidak berbanding luris dengan naiknya kemampuan kognitif. Dalam studi terhadap hampir 1.400 siswa kelas delapan di sekolah negeri di Boston, para peneliti menemukan bahwa beberapa sekolah telah berhasil meningkatkan nilai siswanya pada Sistem Penilaian Komprehensif Massachusetts (MCAS). Namun, hasil tersebut hampir tidak berpengaruh terhadap kinerja siswa pada tes terbuka, seperti kapasitas memori kerja, kecepatan pemrosesan informasi, dan kemampuan memecahkan masalah abstrak.

Dalam pelaksanaannya nanti, paradigma para pelaksana pendidikan di grassroot (sekolah) harus benar-benar berubah. Jika paradigma sekolah, guru, siswa, dan wali murid masih sama, maka kekhawatiran saya sama dengan apa yang diampaikan Richard Feynman dalam bukunya “Surely, You’re Joking Mr. Feynman” yaitu “I can’t see how anyone could be educated by this self-propagating system in which people pass exams, and teach others to pass exams, but nobody knows anything.”

Jika paradigma tidak berubah ada antangan lain yang dihadapi model tes terstandar yaitu adanya cara-cara pintas untuk menyiasati model tes semacam ini. Yang paling lazim adalah dengan menggunakan model drilling. Siswa diberikan contoh-contoh soal tes, dipelajari, dan diajari bagaimana mencari jawabannya. Hal ini tentunya akan kontra produktif dengan tujuan AKM itu sendiri yaitu memperoleh gambaran riil tentang sekolah agar bisa pemerintah mampu membuat kebijakan dan program yang tepat. Hal ini terjadi lantaran paradigma yang salah tentang tes itu sendiri. Banyak pelaku pendidikan yang masih terjebak pada mindset bahwa tes itu sangat menentukan. Seolah-olah mereka yang mendapatkan nilai tes bagus akan mendapat jaminan masa depan yang bagus pula. Atau setidaknya sekolah-sekolah “takut” jika siswanya mendapatkan nilai jelek maka nama baik sekolah itu akan tercemar. Pemikiran-pemikiran semacam ini harus berubah, hal ini terjadi karena pemerintah, pada kebijakan sebelumnya mengumumkan secara gamblang sekolah-sekolah mana yang mendapatkan nilain baik dan sekolah mana yang nilainya di bawah rata-rata. Bahkan, pemerintah juga sempat membuat peringkat dan penghargaan baik untuk level sekolah maupun siswa. Sehingga, ini sangat berpengaruh pada sisi psikologis siswa dan semakin mendemotivasi mereka dalam belajar.

Keterampilan Di Masa Yang Akan Datang

World Economic Forum dalam laporan terbarunya menyebutkan sepuluh keterampilan yang dibutuhkan di tahun 2025. Lima diantaranya adalah terkait dengan pemecahan masalah yang kompleks di mana berpikir kreatif menjadi kuncinya. Kreatifitas adalah hal yang tidak bisa diukur lewat tes yang kunci jawabannya sudah disiapkan. Kreatifitas tidak diperoleh melalui waktu 90 menit dengan mengerjakan soal, melainkan lewat waktu yang panjang. Melalui proses latihan yang terus menerus. Dan tugas negara semestinya adalah memastikan proses ini berjalan dengan benar karena masih banyak institusi pendidikan yang dalam pelaksanaan belajarnya menggunakan model yang sama dengan model sekolah Viktoria 300 tahun yang lalu. Guru berdiri di depan menjelaskan materi, meminta siswa diam, kemudian di akhir kelas memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan siswa. Maka jangan salahkan anak-anak jika mereka merasa bosan di dalam kelas dan enggan untuk belajar.

Jika memang penilaian dan evaluasi itu diperlukan dalam dunia pendidikan, maka saat ini kita membutuhkan model penilaian yang lebih komprehensif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir lateral. Berpikir lateral berarti berpikir tentang banyak alternatif solusi bukan hanya satu jawaban tunggal. Kata tanya dari berpikir lateral adalah mengapa. Mengapa satu di tambah satu sama dengan dua. Mengapa manusia memerlukan uang. Mengapa di dunia masih terjadi diskriminasi. Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu maka kita akan mendapatkan jawaban-jawaban yang lebih beragam. Ketika kita merasa jawaban mereka salah, jangan terburu menjustifikasi mereka. Tanyakanlah dari mana mereka mendapatkan jawaban itu. Bisakah mereka menjelaskan itu, karena di balik itu mungkin ada kesalahpahaman atau pemahaman yang menarik tentang suatu pengetahuan, yang tidak akan kita dapatkan, jika kita terus-menerus memberikan jawaban yang benar.

Salah satu yang bisa dilakukan misalnya masing-masing anak membuat sebuah proyek lintas mata pelajaran. Luaran dari proyek itu bisa berupa produk atau desain produk yang nantinya harus mereka tampilkan dalam sebuah pameran. Di pameran ini anak-anak bisa belajar memasarkan produk mereka dengan memperesentasikannya di hadapan pengunjung. Ada banyak hal yang bisa dipelajari anak dalam penilaian seperti ini. Paling tidak mereka harus belajar membuat perencanaan, bekerjasama dengan teman-teman mereka, belajar mempersuasi pengunjung, dan lain sebagainya. Penilaian seperti ini jarang didapati di sekolah-sekolah. Tidak semua anak punya kesempatan untuk mengikuti lomba-lomba yang mensyaratkan presentasi produk. Dan sekolah semestinya bisa memfasilitasi model-model penilaian semacam ini. Tugas pemerintah adalah mengawasi dan memastikan prosesnya berlangsung dengan baik.

Pada tahun 60an, George Land dan Beth Jarman, psikolog dari Stanford University melakukan sebuah penelitian longitudinal. Subjek penelitiannya adalah sekitar 1600 anak usia pra sekolah. Ia meminta anak-anak itu untuk menyebutkan fungsi dari paperclip. 98 persen dari mereka menunjukkan level jenius dengan menyebutkan begitu banyak yang kita bisa lakukan menggunakan paperclip. Ketika anak-anak ini memasuki usia sekolah dasar, mereke berdua kembali melakukan tes yang sama, dan hasilnya hanya 30 persen yang masuk dalam kategori jenius. Dan ketika anak-anak itu menginjakkan kaki di sekolah menengah, mereke diberikan tes yang sama, dan mengejutkannya hanya 12 persen dari mereka yang masuk level jenius. Dalam kasus ini kita dapati bahwa semakin tua, level berfikir lateral mereka semakin menurun. Mungkin bukan hanya faktor sekolah dan segala jenis tes yang ada di dalamnya yang menjadi penyebabbnya, tapi yang pasti menjadi salah satunya.

Bibliografi

  1. Testing Times: The uses and abuses of assessment – Gordon Stobart
  2. Creative Schools – Sir Ken Robinson
  3. What School Could Be – Ted Dintersimth
  4. Breakpoint and Beyond: Mastering the Future Today – George Land & Beth Jarman
  5. https://news.mit.edu/2013/even-when-test-scores-go-up-some-cognitive-abilities-dont-1211

Tinggalkan komentar