Sertifikat Itu Masih Tertumpuk di Meja Kerjaku

Sertifikat itu masih tertumpuk di meja kerjaku. Sertifikat berwarna biru. Bertuliskan nama anak-anak. Isi sertifikat itu menerangkan bahwa sang anak telah melaksanakan uji kompetensi. Satu-satunya ujian terstandar yang ada di sekolah kami. Sekolah kami tidak menyelenggarakan Penilaian Tengah Semester (PTS) ataupun Penilaian Akhir Semester (PAS) seperti yang dilaksanakan di sekolah-sekolah pada umumnya.

——————————————————————————————————————

Model penilaian terstandar seperti PTS, PAS, Ujian Sekolah, dan Ujian Nasional menjadi salah satu agenda rutin yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Biasanya penilaian tersebut dilaksanakan dalam satu kurun waktu tertentu terhadap siswa. Fungsinya tidak lain adalah untuk mengukur hasil belajar siswa dan mengevaluasi proses pembelajarannya.

Saya pribadi melihat dari sisi lain dari penyelenggaraan model-model penilaian semacam ini. Selama kurang lebih 10 tahun menjadi tenaga pendidik, saya mendapatkan bahwa penilaian tidak lagi menjadi alat ukur, tetapi lebih menjadi tujuan belajar itu sendiri. Dengan kata lain, anak dipaksa belajar agar nilai ujiannya bagus. Minimal lulus Kriteria Ketuntasan Mandiri (KKM). Hal inilah yang selalu saya perdebatkan. Jika pada akhirnya ujian-ujian merubah orientasi pendidikan kita yang sejatinya ada untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, serta memperbaiki sikap, maka sebaiknya penggunaan penilaian-penilaian terstandar di minimalisasi di sekolah-sekolah. Hal terparah yang kita bisa saksikan di sekolah-sekolah adalah anak belajar hanya menjelang pelaksanaan ujian-ujian ini saja.

Kita juga sering lupa bahwa ada faktor di mana masing-masing anak memiliki kemampuan yang berbeda. Mereka juga memiliki kecepatan belajar yang berbeda. Sementara penyelenggaraan penilaian terstandar menutup mata akan hal itu. Jika sudah tiba waktunya melaksanakan penilaian maka semua anak baik yang sudah siap maupun tidak harus mengikuti proses penilaian itu. Hasilnya tentu saja sudah bisa kita tebak, siapa saja siswa yang mendapatkan nilai baik atau lulus KKM. Jika ada anak yang dalam proses belajarnya kita anggap kurang baik, sementara dalam penilaian yang kita selenggarakan mereka mendapatkan nilai yang sebaliknya, maka kita akan menaruh curiga bahwa mereka telah melakukan kecurangan saat ujian berlangsung. Lagi-lagi dalam praktik ini, murid menjadi korban kebijakan. Karena tuntutan sistem, banyak siswa yang tidak siap melaksanakan ujian. Sehingga “memaksa” mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan kecurangan. Lalu sebagian dari kita marah dan ada yang sampai mempermalukan mereka di hadapan kelas dengan merobek kertas ujian mereka.

Saya ingin mengajak kita kembali ke tahun 1967 di mana seorang pakar psikologi Universitas Yale, Robert Paul Albelson memperkenal sebuah istilah apa yang dinamakan sebagai Hot Cognition. Ketika tes dianggap sebagai ancaman, otak meresponnya dengan emosi, bukan logic. Otak akan memproduksi norepinophrine dan kortisol. Ketika kedua hormon ini membanjiri pre frontal cortex tempat manusia berpikir logis, maka apa-apa yang menjadi pengetahuan rasional kita tiba-tiba menjadi hilang. Dan ini mempengaruhi bagian otak yang lainnya termasuk hippocampus yang menjadi jalur untuk mengakses memori lama kita.

Hal ini bisa kita lihat pada kaum laki-laki ketika pergi ke masjid, kemudian diminta menjadi imam yang suaranya digaungkan lewat pengeras suara. Semua yang mengalami ini akan merasakan denyut jantungnya berdetak lebih kencang. Lalu tiba-tiba membuat sang imam ragu untuk membaca surat-surat yang panjang. Dan memilih membaca surat An Nas dan Al Ikhlas.

Peristiwa sama juga terjadi di kelas. Ketika sekolah menetapkan kapan anak-anak akan menghadapi ujian, kemudian diadakan pengawasan yang ketat, di ujung ujian sana akan ada penghakiman di mana nasib anak-anak yang belajar selama kurun waktu tertentu ini ditentukan lewat ujian yang maksimal hanya berlangsung selama 2 jam. Bahkan beberapa sekolah membuat yel-yel penyemangat ketika ujian akan diberlangsungkan. Hal ini menjadikan ujian menjadi aktifitas yang “luar biasa” dalam proses pendidikan.

Belum lagi masalah yang ada pada konten soal-soal ujian. Soal ujian yang baik adalah soal yang apila dilakukan uji distribusi maka kita akan mendapatkan hasil distribusi normal. Seperti yang kita ketahui bentuk kurva distribusi normal adalah seperti sebuah gunung. Dari bentuk gunung itu, bisa kita tafasirkan bahwa porsi terbesar adalah porsi yang berada di tengah. Dengan kata lain, soal-soal yang kita berikan lebih banyak adalah soal-soal yang bersifat medioker. Yang saya khawatirkan adalah kita tidak mengetahui ini bahwa kita sedang menyiapkan anak-anak yang mempunya pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang medioker pula.

Jangan sampai kita menjadi seperti apa yang dikhawatirkan Richard Feynman, fisikawan kondang peraih nobel “Finally, I said that I couldnt see how anyone could be educated by this self-propagating system in which people pass exams, and teach others to pass exams, but nobody knows anything.

Merubah Paradigma

Sekolah perlu merubah paradigma. Ujian-ujian terstandar itu tidak boleh lagi menjadi tujuan, atau setidaknya dianggap sebagai tujuan belajar. Bahwa proses belajar itu sejatinya adalah proses yang melibatkan sistem berpikir untuk memperoleh pengetahuan, peningkatan keterampilan, serta perbaikan sikap. Maka kembalikanlah ujian itu kepada asal-muasalnya yaitu sebagai alat.

Saya selalu menjelaskan kepada rekan-rekan guru bahwa kita menganut prinsip Mastery Learning di mana anak-anak diperbolehkan berpindah topik apabila sudah menuntaskan materi belajar sebelumnya. Tuntas dalam hal kuantitas maupun kualitas. Kuantitas bermakna mengerjakan semua modul belajar pada topik tersebut. Kualitas bermakna hasil pekerjaan mereka harus mendapatkan nilai di atas 90 persen. Tapi sekali lagi, angka 90 persen ini tidak pernah kami sebutkan di dalam kelas.

Dalam pelaksanaannya, ada anak-anak yang memang memiliki kecepatan belajar yang baik. Mereka mampu menyelesaikan modul ajar dengan cepat. Ada anak-anak yang harus mengulang sekian kali untuk bisa pada sampai level tuntas. Ada anak-anak yang masih belum bisa beradaptasi, menunggu kami para guru mengingatkan mereka untuk mengerjakan modul belajar. Itulah tantangan-tantangan yang kami hadapi. Dan kami harus menjaga komitmen terhadap apa yang sudah menjadi keyakinan kami bahwa masing-masing anak itu unik dan proses yang bervariasi pada masing-masing anak semacam ini pasti akan terjadi. Setidaknya kami punya teknologi yang sedikit banyak membantu kami dalam mengatasi masalah ini. Kami memanfaatkan internet untuk membuat modul. Sebelum tahun ajaran baru di mulai, guru sudah harus menyelesaikan penyusunan modul untuk satu tahun ke depan. Modul harus mengikuti kaidah dan teori belajar.

Kita harus mampu menjelaskan ke anak-anak bahwa tujuan belajar kita bukan angka-angka yang kita dapatkan di rapor, tetapi perubahan sikap, perubahan sistematika berpikir, menjadi lebih baik daripada sebelum kita belajar. Maka dari itu, SMP Al Hikmah Boarding Life Batu memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengulang dan mengulang kembali materi-materi belajar yang mereka tidak puas atas pencapaiannya. Kami tidak pernah menyebutkan kriteria ketuntasan minimal kepada anak-anak. Yang kami lakukan adalah memberikan umpan balik terhadap pekerjaan anak-anak dan memberikan kesempatan mereka untuk merespon umpan balik itu.

Masa depan yang tak tentu karena perkembangan teknologi yang cukup pesat, membuat kami memilih menanamkan karakter pembelajar yang mandiri. Anak-anak harus memilki sikap pembelajar sepanjang hayat. Harapan kami, seperti apapun kondisi masa depan mereka mampu beradaptasi dengan cepat karena jiwa pembelajar mereka. Untuk itu mereka harus belajar bagaimana cara belajar. Dan langkah awal yang kami tempuh adalah dengan mengubah paradigma mereka bahwa belajar itu tidak harus diajar. Guru tidak harus menjelaskan materi secara reguler di depan kelas. Hal itu memaksa mereka untuk belajar secara mandiri, mencari jawaban juga secara mandiri, dan mengevaluasi proses belajar mereka pun secara mandiri.

Dari sini saya membuat kriteria anak-anak yang boleh melaksanakan uji kompetensi. Yaitu anak-anak yang proses kemandiriannya mencapai indeks 1 dan ketuntasan belajarnya 90 persen. Indeks 1 bermakna anak-anak sudah mencoba mengerjakan semua modul belajar yang terdapat pada satu topik tertentu. 90 persen berarti dari semua modul yang sudah mereka kerjakan pada topik tersebut mereka mendapatkan nilai rata-rata 90. Ini bukan sesuatu yang paten karena pada dasarnya guru memiliki hak veto dalam menentukan siapa saja yang boleh melakukan uji kompetensi. Karena guru paling tahu dan mampu merasakan anak-anak yang mereka ajar.

Dalam mata pelajaran yang saya ampu, saya ingin bercerita tentang Fadhil. Kami bertatap muka langsung sekali saja. Yaitu pada saat proses observasi siswa baru beberapa bulan yang lalu. Saya mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Fadhil kala itu. Kesan saya, dia anak yang santun. Dan itu juga saya rasakan saat belajar secara online. Bagaimana tidak, ketika pembelajaran berlangsung via Zoom, sebenarnya anak-anak termasuk Fadhil bisa saja meninggalkan meja belajarnya hanya dengan mematikan kamera kemudian pergi ke toilet. Tapi Fadhil tidak melakukan itu, ia meminta izin terlebih dahulu.

Namun, kesantunan Fadhil berbanding terbalik dengan kemampuan bahasa Inggrisnya. Beberapa kali ia menjelaskan bahwa ia tidak pandai dalam bahasa Inggris. Mindset ini rupanya yang membuat dia enggan membuka modul belajar. Bahasa Inggris sudah memasuki pertemuan ke 12 tapi ketuntasan modul bahasa Inggris Fadhil masih di bawah 20 persen. Ini tantangan tersendiri bagi saya. Saya menugaskan Fadhil untuk bergabung di kelas tutorial. Kelas tutorial adalah satu di antara 3 model kelas yang kita miliki selain kelas reguler dan kelas konsultasi. Dan ia mau bergabung. Ini kesempatan. Setidaknya anak itu memiliki niat untuk perbaikan belajarnya.

Pada saat kelas tutorial saya menanyakan kepada Fadhil apakah ia sudah membuka modul bahasa Inggrisnya. Ia menjawab sudah dan ia melihat tugas-tugas yang sepertinya mustahil ia kerjakan. Saya arahkan dia untuk membuka halaman kedua pada subtopik pertama. Palajaran menyapa dalam bahasa Inggris. Yang saya lakukan adalah memintanya untuk fokus. Memberikan kesempatan kepadanya sekitar 10 menit untuk tidak mengerjakan apapun selain mengerjakan tugas pada halaman tersebut. Ia berkomitmen untuk mencoba, dan hasilnya ia mendapat prosentase benar sekitar 90 persen. Saya meyakinkannya bahwa dia sebenarnya bisa mengerjakan modul itu. Ia hanya perlu fokus dan mencoba. Ia melanjutkan ke halaman berikutnya dan meminta saya untuk memberikan umpan balik. Hasilnya memang perlu perbaikan karena dia mendapatkan anga 70 persen. Tapi saya juga menjelaskan bahwa 70 persen berarti dia tidak bisa sama sekali. Ia punya modal 70 persen kemampuan bahasa Inggris pada topik itu. Saya mellihat Fadhil dari kamera, dia tersenyum. Hari-hari setelahnya Fadhil lebih aktif mengerjakan modul belajar dan berhasil mengambil uji kompetensi pada pertemuan ke 15.

Memang Fadhil membutuhkan waktu yang lebih banyak daripada teman-temannya dalam menyelesaikan modul. Tapi harapan saya, pengalaman belajar seperti mampu menumbuhkan jiwa pembelajar, tidak mudah menyerah, dan membuat ia lebih bertanggungjawab. Dan proses itu terasa ketika ia saat ini sedang mengerjakan topik 2. Ia lebih aktif bertanya di dalam kelas, dan ia mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya dengan lebih optimal. Sebagai seorang guru, jam terbang saya mungkin belum tinggi. Tapi saya bisa merasakan perkembangan itu.

———————————————————————————————————————

Sertifikat itu masih tertumpuk di meja kerjaku. Sertifikat berwarna biru. Bertuliskan nama anak-anak. Salah satunya nama Fadhil. Entah harus menunggu berapa purnama lagi agar bisa menyerahkan kepada pemiliknya. Menunggu pandemi yang ujungnya masih belum nampak.

Tinggalkan komentar