Masih Relevankah Model Sekolah “Victorian” ?

Jika kita amati warna merah pada peta dunia ini, kita menyaksikan luasnya wilayah jajahan Inggris 300 tahun yang lalu. Inggris terkenal dengan imperialismenya. Dari sana dia menguasai kekayaan daerah-daerah yang dikuasainya. Bisa kita bayangkan betapa banyaknya harta kekayaan kerajaan Inggris kala itu.Untuk memudahkan pencatatan harta kekayaan yang melimpah itu, maka tentunya mereka membutuhkan super komputer yang pada saat itu belum ada. Bahkan pesawat telepon pun belum ada.

Wilayah Kekuasaan Inggris

Mereka membentuk sebuah sistem informasi, mirip komputer saat ini, namun terdiri dari manusia. Super komputer manusia ini bertujuan untuk melakukan tugas administrasi dan birokrasi, oleh karenanya mereka harus standar dalam menulis, membaca, menghafal, dan berhitung. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka dibentuklah sebuah sistem pendidikan ala viktorian yang kini kita kenal sebagai sekolah-sekolah di mana anak-anak kita mendapatkan “pendidikan”. Tujuan dari pendidikan ala Viktorian saat itu, tentunya mereka yang lulus di satu wilayah jajahan, misalnya New Zealand, kemudian dikirimkan ke wilayah Kanada, mereka sudah tahu tugas dan pekerjaan yang harus dilaksanakan, tentunya sekali lagi dalam hal administrasi dan birokrasi.

Sekolah model Viktorian ini sangat relevan kala itu karena mampu melahirkan lulusan yang standar dan dalam jumlah yang banyak. Seperti yang kita ketahui, ruang-ruang kelas mengajarkan anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Menggunakan pakaian yang sama. Bersepatu sama. Standar lulusannya pun dibuat sama. Untuk mengukurnya mereka menggunakan tes terstandarisasi. Sekolah pada saat itu mengajarkan bagaimana setiap siswanya taat pada aturan yang keras. Murid harus tunduk pada guru. Seperti seorang pegawai birokrasi yang harus tunduk pada gubernur jendral. Sistem belajar juga dibatasi oleh waktu. Ketika bel masuk, semua siswa masuk. Ketika bel selesai maka selesai pula proses pembelajaran.Setelah lulus, sekolah akan melabeli lulusannya dengan sebuah peringkat. Pekerjaan untuk masing-masing peringkat ini nantinya akan berbeda. Ada yang jadi manajer, supervisor, ada juga yang sekedar juru tulis.

Sebuah Kelas di Model Sekolah Viktorian, masih mirip dengan kelas-kelas saat ini

Seperti gayung bersambut, sepasca Thomas Newcomen mendesain mesin uap pertama kemudian disempurnakan oleh James Watt dan Mathew Boulton, revolusi industri terjadi di Inggris. Negara itu semakin membutuhkan banyak tenaga kerja. Kini tidak lagi menangani masalah administrasi daerah kekuasaannya tetapi juga untuk bekerja di pabrik-pabrik. Sekolah menjadi tempat yang semakin relevan bagi mereka yang ingin bekerja di pabrik-pabrik di mana mereka melakukan hal yang sama setiap harinya dalam produksi barang, dan memiliki jadwal ketat untuk kedatangan dan kepulangan, serta bekerja di bawah target jumlah produksi barang (underpressure).

Yang menjadi masalah adalah, saat ini dunia sedang berganti. Kita mengenal istilah Revolusi Industri 4.0 atau Society 5.0. Apa yang dikerjakan staf imperium Inggris 300 tahun yang lalu sekarang bisa dikerjakan dengan mudah oleh satu atau dua orang dengan menggunakan komputer. Pabrik-pabrik pun mulai beralih ke machine learning.

Kunjungan Ke Pabrik Toyota di Kyushu, Hanya boleh Mengambil Foto di Area Pameran

Saya di tahun 2014 pernah berkunjung ke pabrik mobil Toyota di Kyushu, Jepang. Pabrik itu memproduksi model Lexus. Para tamu diperbolehkan melihat proses produksi secara langsung, hanya saja tidak diperkenankan membawa kamera. Kala itu, saya melewati jalan koridor yang tergantung dan memanjang di atas ruang produksi. Jadi saya bisa melihat langsung. Untuk sekitar 10 ribu mobil setiap harinya, saya hanya melihat beberapa orang saja di dalam pabrik itu. Pemandu di sana menjelaskan bahwa sebagian besar proses produksi sudah dikerjakan oleh robot. Atau hal yang paling sederhana dalam hal administrasi keuangan adalah dalam dunia perbankan. Untuk menyetor sejumlah uang, saya tidak perlu lagi mengantri di depan teller. Beberapa mesin sudah mampu menerima setoran uang kita. Begitu pula untuk transaksi pemindah bukuan dan pembayaran lainnya. Bahkan kita bisa kerjakan lewat smartphone yang kita miliki. Dan masih banyak lagi bidang-bidang lainnya, yang kini mau tidak mau harus mengalah dengan teknologi.Kita melihat dunia berubah secara ekponensial. Nahasnya proses pendidikan kita masih sama dengan 300 tahun yang lalu.

Kreativitas adalah sebuah antithesis dari algoritma-algoritma yang bisa dikerjakan oleh komputer. Maka dari itu, saya melihat orang-orang kreatif akan lebih mudah beradaptasi di masa yang akan datang. Kreatifitas tidak akan pernah muncul dari pendidikan yang standar-standarnya sudah ditentukan oleh negara yang implementasinya bahwa siswa harus mengikuti apa yang dikatakan guru dan sekolah. Bahwa belajar dibatasi oleh ruang bernama kelas, dan waktu bernama jam pelajaran, semester, dan akhir tahun ajaran. Ketika ruang untuk manuver kita persempit, maka sejatinya kita sedang mempersempit pula ruang kreativitas siswa. Pendekatan dan cara belajar harus berubah. Perlu pendekatan baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

Tidak ada solusi tunggal untuk permasalahan ini. Saya sendiri sedang mengerjakan apa yang disampaikan oleh Sugata Mitra sebagai Self Organised Learning di Al Hikmah Boarding. Pertama tama kita harus mengubah paradigma kita terlebih dahulu bahwa belajar tidak harus selalu ada proses mengajar. Mengajar dalam hal ini, guru berdiri di depan kelas dan menjelasakan materi. Sejatinya manusia adalah makhluk pembelajar, dan kita hanya perlu menciptakan lingkungan yang mendukung mereka untuk belajar. Dan memberi ruang kreativitas seluas-luasnya kepada siswa kita. Sediakan beberapa komputer berlayar besar dan terkoneksi internet cepat. Ajukan pertanyaan besar seperti “Apakah virus Corona adalah makhluk hidup atau benda mati?”, “Apa yang terjadi ketika bumi berhenti berputar?”, atau “Apa yang terjadi bila semua bakteri di dunia ini menghilang?”. Biarkan siswa bersama dengan teman-temannya mengeksplor komputer itu. Temani mereka. Dan lalu lihatlah apa yang akan terjadi selanjutnya, akan mengejutkan kita.

16Riza Setiawan, Aura Merdika and 14 others5 Comments1 ShareLikeComment

Share

Satu pemikiran pada “Masih Relevankah Model Sekolah “Victorian” ?

Tinggalkan Balasan ke Mim saiful Batalkan balasan