Istanbul 1: Blue Mosque & Hagia Sofia

Konstantinopel itu adalah nama dari sebuah kota yang dibelah oleh selat Bhosporus yang memisahkan daratan Asia dan Eropa. Nama itu sudah berganti dengan Istanbul. Ialah Muhammad Al Fatih, pemuda penakluk Konstantinopel yang dengan strategi perangnya ia mampu melumpuhkan benteng laut sang raja Konstantin kala itu. Setidaknya kisah itu hampir senantiasa ku dengar di sudut-sudut ruang di Al Hikmah kala kepala sekolah dan guru memberikan motivasi kepada siswa-siswa.

Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Istanbul. Dengan bermodal tiket murah maskapai Atlas Global akhirnya aku dan Nurul sampai juga di kota seribu menara tersebut. Tentunya yang saya maksud adalah menara Masjid.

Malam yang dingin menyambut kami di Bandara Ataturk Havalimani. Dalam bus yang mentransfer kami ke terminal, masih ku lihat sisa-sisa tumpukan salju. Karena beberapa hari sebelum kedatangan kami, badai salju dikabarkan menyerang Istanbul.

ataturk_airport-metro_station

– Pintu Masuk ke Stasiun Metro Istanbul Attaturk Airport –

Dari bandara kami berencana mengambil rute M1 subway, semacam MRT tapi sekelas KRL Jabodetabek menuju Yenikapi. Untuk itu saya harus membeli Istanbulkaart di mesin otomatis. Sayangnya mesin tersebut mengatakan bahwa stok kartu di dalam mesin tersbut habis. Beruntungnya ada seseorang yang menawarkan kami kartu sakt tersebut. Awalnya saya kira diberikan cuma-cuma. Namun sang dermawan tersebut meminta ganti kartu sebesar 10 Turki Lira. Harga yang sama dengan harga kartu tersebut. Saya berterimakasih kepada orang baik tersebut.

Setiba di Yenikapi kami berencana mengambil bus N1 menuju hotel. Sayangnya setiba di stasiun Yenikapi, kami kesulitan menemukan terminal bus Yenikapi Sahil. Di dalam pencarian tersebut kami bertemu bebrapa jenis manusia. Ada tentara yang membawa senjata lengkap. Adapula beberapa wanita yang menurut dugaan kami adalah pekerja seks komersil. Kesan pertama yang begitu campur aduk di dalam pikiran kami tentang orang Turki.

Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki. Menyusuri lorong-lorong Istanbul hingga sampai di Hotel. Meskipun untuk itu kami harus tersesat beberapa kali. Dan kami harus bertanya-tanya pada penduduk sekitar. Hanya saja, setiap kali kami mendapatkan bantuan, dalam pikiran kami selalu terbersit pertanyaan apakah orang ini murni ingin membantu atau dia memiliki maksud tersembunyi. Untung lah, masih banyak orang yang baik dan ikhlas membantu di bumi ini. Seandainya paket data bisa kami gunakan mungkin kami tak perlu selama itu menikmati dinginnya lorong-lorong Istanbul.

Setelah kurang lebih berjalan selama satu jam. Akhirnya kami menemukan hotel kami. Hippodromme Antique Hotel. Selain banyak menara, Istanbul juga memiliki banyak hotel. Karena memang pariwisata menjadi salah satu sumber pendapatan tertinggi negara. Karena banyaknya hotel, maka harga pun bersaing. Hotel kami adalah sekelas hotel melati. Biaya yang harus kami keluarkan adalah 70 TL atu sekitar 210.000 Rupiah untuk 2 malam. Harga yang sangat murah. Pelayanan hotelnya sangat ramah. Seperti biasa, ketika pertama kali masuk kamar hotel yang pertama aku lakukan adalah membuka korden jendela. Melihat pemandangan di luar. Dari jendela nampak menara Masjid Sultan Mehmet (Blue Mosque) yang menjadi tujuan utama safar kali ini.

Pagi yang sangat dingin. Ketika keluar dari hotel kami bertemu dengan rombongan umroh dari Indonesia. Umroh plus menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang memiliki uang lebih. Selain pergi ke tanah Haram, mereka juga biasanya mengunjungi Istanbul. Tentunya biaya tambahannya tidak semurah jalan-jalan mandiri. Rupanya mereka dari Jakarta.

DSCF7810

Jarak dari hotel ke Blue Mosque hanya lima menit dengan jalan kaki. Setiba di depan masjid, kami bertemu dengan beberapa polisi tanpa seragam. Aku melihat ada senapan api di saku mereka yang mereka pegang begitu erat. Masalah keamanan dan pertahanan di negara ini memang sedang diuji. Beberapa minggu sebelum kami tiba di Istanbul, seorang psikopat memberondong sebuah klub malam di pinggiran selat Bhosporus dengan peluru. Puluhan manusia menjadi korban. Sebelumnya, bom dan rencana kudeta sudah mendahului.

Interior Blue Mosque atau masjid Sultan Ahmet ini memang menakjubkan. Goresan dinding yang indah, tiang penyangga yang besar, lampu gantung yang terkesan seperti lampu minyak, serta mimbar khatib yang menjulang tinggi membuat kami takjub akan arsitektur Islam. Kemegahannya seakan-akan menceritakan kejayaan Dinasti Ustmaniyah di masa lampau. Masjid ini dibangun antara tahun 1609 dan 1616 atas perintah Sultan Ahmed I, yang kemudian menjadi nama masjid tersebut. Ia dimakamkan di halaman masjid. Masjid ini terletak di kawasan tertua di Istanbul, di mana sebelum 1453 merupakan pusat Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantium. Berada di dekat situs kuno Hippodrome, serta berdekatan juga dengan apa yang dulunya bernama Gereja Kristen Kebijaksanaan Suci (Hagia Sophia) yang sekarang diubah fungsinya menjadi museum. Jaraknya cukup dekat dengan Istana Topkapı, tempat kediaman para Sultan Utsmaniyah sampai tahun 1853 dan tidak jauh dari pantai Bosporus.

DSCF7822

= Interior Masjid Sultan Ahmet =

Kami memang berencana untuk melakukan wisata rohani dari satu masjid ke masjid lainnya. Tidak mau kalah dengan ibu-ibu di kampung yang melakukan wisata ziarah dari satu masjid makam ke masjid makam lainnya. Bangunan masjid di Istanbul terkenal indah. Mengadopsi model gereja katolik ortodox kala itu dengan kubah yang lebar dan menara-menara yang menjulang tinggi. Dan yang paling terkenal adalah Hagia Sofia. Letaknya berseberangan dengan Blue Mosque, dipisahkan oleh sebuah taman nan cantik. Hagia Sofia menjadi saksi bisu perubahan peradaban dan kekuasaan di wilayah konstatinopel. Dahulu situs merupakan sebuah gereja katolik ortodox. Setelah konstatinopel ditaklukan oleh Al Fatih, fungsi gereja diubah menjadi Masjid. Revolusi Turki oleh Kemal Attaturk mengubah fungsi masjid Hagia Sofia menjadi museum.

Sebelum masuk ke dalam masjid museum Hagia Sofia kami memuaskan perut kami dengan menyantap jagung rebus yang dijual pedagang asongan di sekitar taman di antara Blue Mosque dan Hagia Sofia. Di sana kami bertemu dengan rombongan biarawati. Awalnya dari paras wajah mereka, saya menebak para biarawati itu dari Jepang. Namun tebakanku salah, mereka memperkenalkan diri sebagai orang Korea.

“Anyongseo … ” sapaku, membuat mereka termangu dan tertawa.

“I learnt it from Korean Drama, I love watching K Drama.” penjelasanku membuat mereka tersenyum.

DSCF7870

– Foto Nurul dan Para Biarawati dari Korea-

Untuk masuk ke Hagia Sofia Kita harus membeli tiket seharga 40 TL untuk dewasa, dan 15 TL untuk anak-anak dan pelajar. Seperti biasanya ketika Nurul membeli tiket masuk, petugas tiket menanyakan keberadaan orang tua Nurul.

“Are you here alone? Where are your parents?” tanya petugas tiket berparas perpaduan arab dan eropa timur itu.

“I am with my husband.” Nurul menjawab sambil menoleh ke arah ku.

Petugas loket tersebut seperti tidak percaya jika wanita dihadapannya itu sudah menikah. Dia menebak usia Nurul masih belasan. Dan terkejut jika dia sudah memiliki pasangan. Nurul meminta petugas tersebut menebak usianya. Petugas perempuan itu mengatakan “Twenty three.” Aku tertawa mendengar percakapan mereka. Ingin aku mengatakan ke petugas loket itu bahwa sebentar lagi usia perempuan yang kau ajak bicara itu menginjak kepala tiga.

Pengawasan untuk masuk ke dalam museum sangat ketat. Kami harus melewati mesin pendeteksi logam. Dan tas yang kami bawa dimasukkan ke dalam mesin X-ray. Kami hanya diijinkan untuk membawa kamera. Bahkan tripod yang menjadi andalan kami agar kami bisa mengambil foto berdua pun harus dititipkan.

DSCF7881

= Foto Maria di tengah lafadz Allah dan Muhammad =

Design interior Hagia Sofia sangat unik. Selain kaligrafi berlafadz Allah dan Muhammad, di dalamnya kita juga bisa menemukan lukisan Maria dan Isa. Hal ini membuat nilai sejarah bangunan ini sangat tinggi. Bagaimana agama dan kekuasaan saling mempengaruhi pada zaman itu. Hanya saja, kami berkunjung di saat beberapa bagian dalam museum sedang direnovasi. Menurut cerita, di bawah bangunan ini terdapat saluran air rahasia yang sangat besar yang terhubung hingga ke selat Boshporus. Selain berfungsi sebagai saluran air baik limbah dan kotoran, juga bisa digunakan sebagai ruang rahasia untuk bagi raja Konstantinopel kala itu untuk melarikan diri apabila dirasa kalah dalam berperang. Jika kita mau belajar, banyak bangunan-bangunan seperti Hagia Sofia ini menjadi saksi bisu pertumpahan darah akibat perang. Lihat saja ketika Al Fatih menaklukkan Konstantinopel ini, berapa puluh ribu nyawa harus dikorbankan hingga akhirnya berhasil menaklukannya. Dan kekuasaan itu tak pernah ada yang abadi, hingga akhirnya Mustafa Kemal Attaturk berhasil melakukan revolusi di Turki menggulingkan Dinasti Ottoman.

Di dalam museum, di lantai 2, kami bertemu dengan rombongan keluarga dari Lebanon. Yasseer dan kelima putrinya sedang menikmati liburan di Turki. Aku menawarkan bantuan untuk mengambil foto mereka sekeluarga. Merekapun menginginkan berfoto bersama kami orang Indonesia negeri yang kemungkinan masih asing dari telinga mereka. Karena, untuk kesekian kalinya kami disangka sebagai orang Malaysia. Kesempatan ini tak pernah kami sia-siakan, kami meminta salah seorang dari mereka untuk mengambilkan gambar kami berdua di dalam Hagia Sofia.

Apa yang bisa kami pelajari dari 2 bangunan megah yang  kami kunjungi ada pada buku Dan Brown berjudul Inferno. Di mana di Hagia Sofia ini terdapat makam salah satu raja kerajaan Venezia yang dipindahkan dari makam sebelumnya di St. Mark Basilica. Pesan itu adalah

“As with all great shrines, Hagia Sophia’s prodigious size served two purposes. First, it was proof to God of the great lengths to which Man would go to pay tribute to Him. And second, it served as a kind of shock treatment for worshippers— a physical space so imposing that those who entered felt dwarfed, their egos erased, their physical being and cosmic importance shrinking to the size of a mere speck in the face of God … an atom in the hands of the Creator.”

“Seperti semua tempat pemujaan besar, ukuran Hagia Sophia yang luar biasa untuk menunjukkan dua tujuan. Pertama, itu adalah sebagai bukti kepada tuhan tentang apa yang dilakukan manusia untuk memberi penghormatan kepada-Nya. Dan kedua, itu berfungsi sebagai semacam terapi kejut untuk para pemujaNya — sebuah ruang fisik yang begitu mengesankan sehingga mereka yang masuk merasa dikerdilkan, ego mereka terhapus, keberadaan fisik dan kepentingan kosmik mereka menyusut menjadi seukuran setitik di wajah Tuhan … sebuah atom di tangan Sang Pencipta”

Tinggalkan komentar