Sudah hampir 2 minggu kaki ini melangkah di bagian bumi yang lain. Janji untuk segera menulis setiba di bumi Ratu Elizabet tak unjung jua terlaksana. Sisi-sisi kemalasan itu masih bersarang dengan nyaman di bagian diriku yang lainnya. Mungkin itu juga yang membuatku datang ke sini, lebih tepatnya Tuhan mengirimku ke sini. Seorang yang masih memiliki sifat malas dalam belajar dan mengembangkan diri, untuk satu kata “belajar”.
Bagiku ini bukan hanya sekedar tugas negara untuk menyelesaikan kuliah, menyiapkan diri menjadi generasi emas Indonesia. Bukan. Ini lebih tentang bagaimana aku harus bisa menaklukkan diriku sendiri. Dari aku yang sebelumnya sangat begitu nyaman duduk di atas kursi empuk di balik meja kerjaku, kini aku harus berusaha berlari mengejar bus, berhadapan dengan agen rumah dan lanlord, dan tentunya nanti aku akan berhadapan dengan orang-orang yang sudah malang melintang di dunia keilmuan dan pendidikan.
Manchester, di Indonesia lebih dikenal sebagai kota dengan tradisi sepakbola yang kuat. Hal itu memang benar adanya. 2 klub sepakbola raksasa Inggris bahkan Eropa berada di kota ini. Tapi mari lupakan itu sejenak. Mari kita lihat Manchester dari sisi yang lain. Setidaknya ada beberapa hal yang aku harus biasakan ke depan selama tinggal di Manchester
Pertama, kota ini sangat multi etnis. Semua manusia dari berbagai belahan dunia berkumpul disini. Aku bisa membayangkan bagaimana komunikasi yang terjadi dengan orang-orang tersebut. Mulai dari orang Skotlandia yang bahasa Inggrisnya seperti orang berkumur, hingga orang Indonesia -bagian Jawa sub bagian Surabaya- sepertiku yang bahasa Inggrisnya super medok. Bisa jadi ketika mereka bilang A aku menangkap E. Hal ini membuatku harus terus menerus meningkatkan kemampuan komunikasi terutama bahasa Inggrisku.
Kedua, kota ini sangat dingin. Hampir tiap hari mendung menutupi langitnya. Sangat kontras dengan Indonesia terutama Surabaya yang panas. Udara dingin membuat perut kita menjadi cepat lapar. Bersiaplah gagal dalam diet. Ke depan aku harus sering-sering di kampus. Selain tempatnya yang nyaman, makanan-makanan di sana cukup mahal sehingga ada barrier yang membuatku berfikir 10 kali untuk membeli makanan di sana yang tentunya juga tidak cocok dengan lidah jawaku.
Ketiga, pengemis. Beberapa waktu yang lalu setelah shalat jumat di MacDoughall Prayer Hall, ketika sebelum menyeberang jalan masuk ke kampus. Seorang ibu (kira-kira usia 30 tahunan) menghentikan langkahku. Ia menunjukkan bayinya yang berada di dalam stroler. Ia mengatakan bahwa ia butuh uang untuk makan. Ia berkata “Apakah kamu muslim? Saya butuh makan.” Dua kali saya bertemu dengan modus yang sama. Mengunciku dengan kalimat “Kamu Muslim? Saya saudaramu dan saya butuh uang.” Entah kenapa saya selalu merasa bersalah dengan hal ini. Masalahnya adalah saya tidak tahu apakah mereka itu benar-benar membutuhkan bantuan atau hendak menipu. Pengalaman tertipu di berbagai perjalan-perjalananku sebelumnya dengan modus yang sama membuatku trauma. Semoga Allah memaafkanku. Nurul pernah mengalami kejadian buruk namun lucu. Kali ini modusnya berbeda. Seorang perempuan berambut pirang mendekatinya, meminta uang kepadanya. Dia menolak untuk memberikan uang kepada wanita tersebut. Dan wanita tua itu berteriak “AYSIS AYSIS” yang berarti ISIS ISIS. Spontan Nurul dan orang-orang yang berada di sekitarnya menahan tawa.
Keempat, Toilet Kering. Sampai saat ini, aku masih belum menemukan satupun toilet di Manchester dan di London yang memiliki fasilitas sprayer untuk istinjak. Semuanya berkonsep toilet kering. Dan yang perlu diperhatikan bagi yang tinggal di rumah sepertiku. Fasilitas toiletnya rata-rata menggunakan alas kayu yang dilapisi oleh karpet. Sehingga jika kita tidak hati-hati dalam menggunakan kamar mandi hal ini bisa merusak lapisan kayu karena air yang tercecer di lantai kamar mandi bisa kemungkinan terserap oleh kayu dan membuatnya menjadi lapuk.
Kelima adalah internet. Tidak hanya bermanfaat bagiku sebagai newcomer di Manchester untuk menggunakan aplikasi City Mapper agar tidak tersesat, hampir semua kegiatan kampus terkoneksi dengan internet. Satu akun login yang diberikan oleh University of Manchester, dapat digunakan untuk mengakses semua kebutuhan kampus. Mulai dari masalah akademik hingga masuk masjid kampus hanya dengan satu akun tersebut. Bahkan kita bisa mengakses server kampus dari internet rumah kita dengan akun tersebut. Hal ini tentunya memaksaku dan teman-teman di rumah harus berlangganan internet di rumah kami. Plus juga berlangganan paket data kartu three. Jika di Indonesia kartu Three jarang digunakan, lain halnya dengan di Manchester. Three adalah kartu yang istimewa.
Kira-kira sampai di sini dulu menulisnya untuk kali ini. Lain kali saya akan cerita yang lebih serius lagi. Oh ya orang-orang Manchester mennyebut diri mereka sebagai Mancunian. Maka setahun kedepan aku akan menjadi seorang Mancunian juga tetapi rasa Java.