
Dalam rapat-rapat sekolah, saya sering memperhatikan pola yang berulang: kursi dan meja diskusi di bagian depan biasanya terisi oleh guru putra, sementara guru putri duduk berbaris di belakang. Saya tidak tahu kenapa, yang jelas saya tidak mau terjebak pada bias saya sebagai guru putra. Mungkin, bukan semata-mata karena mereka enggan, melainkan karena meja diskusi yang terbatas dan penempatan kursi sejak awal sudah membentuk pola seperti itu. Guru putra di depan, guru putri di belakang.
Sekilas, hal ini terlihat wajar. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, pola semacam ini secara tidak sadar menciptakan kultur di mana guru putri terletak di posisi yang kurang strategis. Dalam forum diskusi, posisi fisik seringkali memengaruhi tingkat partisipasi. Yang duduk di depan lebih mudah menyela, lebih cepat mendapat perhatian, dan lebih sering didengar. Sementara yang duduk di belakang cenderung menjadi penonton, meski sebenarnya mereka menyimpan ide dan gagasan yang berharga.
Di titik inilah saya merasa perlu mengambil langkah kecil tapi signifikan: meminta guru putri untuk maju ke depan, berbagi ruang yang sama dengan guru putra, agar kesempatan tampil lebih merata. Tujuannya sederhana—agar forum ini tidak hanya menjadi milik yang “duduk di depan”, tetapi menjadi ruang setara di mana setiap suara dihargai.
Langkah kecil ini terinspirasi dari sesuatu yang jauh lebih besar: revolusi sosial yang dibawa Rasulullah. Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab diatur oleh tradisi yang kaku, timpang, dan penuh diskriminasi. Perempuan ditempatkan jauh di pinggiran, bahkan sering dianggap beban keluarga. Tetapi Islam datang dengan pesan yang radikal: perempuan memiliki hak, martabat, dan posisi yang harus diakui.
Contoh paling jelas adalah ayat-ayat waris dalam QS. An-Nisa. Pada masa itu, tidak ada satu pun tradisi Arab yang mengakui perempuan berhak atas harta warisan. Tiba-tiba, Al-Qur’an menetapkan bahwa perempuan mendapat bagian pasti dari warisan. Ini bukan sekadar regulasi hukum, melainkan pukulan telak terhadap sistem sosial yang mengasingkan perempuan dari ruang kepemilikan dan pengaruh. Ayat ini adalah revolusi budaya—sebuah pernyataan bahwa perempuan adalah subjek penuh, bukan sekadar pelengkap.
Apa yang dilakukan Rasulullah adalah membongkar struktur ketidakadilan, tidak hanya dalam ide, tapi juga dalam praktik sosial sehari-hari. Beliau mengubah cara orang duduk, cara orang berbicara, cara orang diperlakukan. Sebuah detail yang mungkin kecil, tapi berdampak besar dalam menanamkan kesetaraan.
Dengan semangat itu, memindahkan guru putri dari barisan belakang ke depan bukan hanya soal kursi. Itu adalah simbol pergeseran budaya. Kita ingin forum diskusi di sekolah ini mencerminkan nilai Islam: setara, inklusif, dan adil. Kita ingin memastikan bahwa ruang pengambilan keputusan tidak hanya dihuni oleh suara mayoritas yang “kebetulan duduk di depan”, melainkan juga suara perempuan yang sering terletak di belakang.
Saya percaya, jika Rasulullah berada di ruang ini, beliau akan memastikan setiap individu punya akses yang sama untuk didengar. Karena inti dari dakwah beliau adalah menegakkan keadilan, mengangkat yang termarginalkan, dan memberi ruang bagi setiap manusia untuk menjadi khalifah di bumi.
Maka, langkah kecil ini—mengajak guru putri maju ke depan—semoga menjadi bagian dari upaya meneladani beliau. Dari sekadar bergeser kursi, kita belajar tentang nilai. Dari sekadar posisi duduk, kita melatih keberanian tampil. Dan dari keberanian itu, lahirlah forum yang lebih hidup, lebih kaya gagasan, dan lebih adil.
Link video : https://youtube.com/shorts/cCdXqlr4PeM