Matikan “Lonceng (Bel)” Sekolah

Lonceng Perdamaian Hiroshima

Pernahkah kita menyadari bahwa perkembangan intelektual siswa saat ini lebih banyak didikte oleh corporate time—ritme waktu kapitalistik yang diadaptasi ke dalam sistem pendidikan? Lonceng sekolah bukan sekadar pengatur jadwal, melainkan replika dari shift time di pabrik-pabrik industri, membentuk siswa menjadi calon pekerja yang patuh pada disiplin waktu ketimbang pemikir merdeka. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed mengkritik sistem pendidikan yang menindas, tetapi akar penindasan ini semakin dalam ketika kapitalisme mengubah sekolah menjadi training ground bagi logika produktivitas dan efisiensi ekonomi.

Sejarah modern menunjukkan bagaimana sistem pendidikan dirancang untuk melayani industri. Sekolah abad ke-19 meniru pabrik: bel menggantikan peluit mandor, kelas diatur seperti lini produksi, dan siswa dinilai berdasarkan output standar (nilai, ijazah). Waktu tidak lagi milik siswa, tetapi milik sistem ekonomi yang membutuhkan tenaga kerja terlatih.

Struktur waktu sekolah yang terfragmentasi ketat dalam slot-slot 40 hingga 45 menit bukanlah kebetulan pedagogis, melainkan cerminan dari logika industri yang telah menyusup ke dunia pendidikan. Sistem ini menciptakan paralelisme yang mengkhawatirkan antara ritme sekolah dan disiplin kerja pabrik. Di pabrik, waktu dibagi dalam shift-shift ketat untuk memaksimalkan produktivitas. Di sekolah, pembelajaran dipenggal menjadi “shift akademik” 45 menit untuk memudahkan administrasi. kita harus mengakui bahwa  sebagin besar perubahan topik belajar dilakukan bukan karena penyelesaian materi, tetapi karena “waktu sudah habis”. Neurosains menunjukkan otak membutuhkan 10-15 menit untuk mencapai fokus optimal. Dengan pergantian pelajaran setiap 45 menit, siswa sesungguhnya hanya mendapat 25-30 menit fokus efektif. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa interupsi termasuk selama pembelajaran—seperti pergantian topik mendadak akibat jadwal sekolah yang kaku—dapat menurunkan daya ingat (Zickerig et al, 2020; Wirzberger et al, 2020). Temuan ini memperkuat kritik terhadap model ‘shift pabrik’ dalam pendidikan, di mana waktu belajar terfragmentasi secara artifisial. Dalam pelaksanaannya, konsep kompleks yang membutuhkan waktu pengolahan panjang terpaksa dipenggal. Diskusi filosofis atau eksperimen sains yang memerlukan immersion terus-menerus diinterupsi.

Selain itu, sistem ujian standar dalam pendidikan modern beroperasi dengan logika yang identik dengan quality control di lini produksi pabrik, di mana produk dianggap “lulus” jika memenuhi spesifikasi teknis (dimensi, berat, fungsi). Dalam pendidikan, siswa dinyatakan “kompeten” jika mencapai skor minimal standar. Kita juga sama-sama tahu bahwa sekolah Indonesia menggunakan passing grade sebagai satu-satunya indikator kelulusan. Kita juga menemukan sistem ujian massal dimana lebih dari satu juta siswa mengerjakan soal identik pada hari yang sama – praktik yang secara teknis identik dengan proses inspeksi massal produk industri – yang akhir-kahir ini wacana mengenai kembalinya sistem penilaian semacam ini semakin menguat. Sebagian besar berpendapat bahwa hal tersebut bisa memotivasi siswa untuk belajar. Nyatanya, sebagian besar kita masih terjebak dalam bias Illusion of Control (Glasser, 1985).

Sistem pendidikan seperti yang sudah dijelasakan di atas disebut Freire dalam bukunya sebagai banking education, namun jika kita amati, saat ini kapitalisme sudah membawanya lebih jauh, sekolah tidak sekadar menabung pengetahuan, tapi juga memproduksi tenaga kerja siap pakai. Padahal, seperti Freire, sebagai guru dan kaum terdidik, kita semestinya berkeyakinan bahwa pendidikan harus membangkitkan kesadaran kritisuntuk melawan penindasan. Jangan sampai sekolah menjadi kepanjangan tangan penguasa untuk menormalisasi kepasifan, mematikan keingintahuan, serta menciptakakan hirarki yang kompetitif. Siswa diajarkan untuk menerima otoritas (guru, kurikulum, jadwal) tanpa kritis—persis seperti yang diharapkan dari pekerja di perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang ketimpangan sosial, eksploitasi buruh, atau kerusakan lingkungan dianggap tidak relevan karena tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi. Sistem ranking dan ujian nasional mengondisikan siswa untuk melihat teman sebagai pesaing, bukan mitra belajar—cerminan logika pasar yang individualistik. Dalam bukunya “The Element”, Ken Robinson bercerita tentang bagaimana sistem pendidikan justru menjauhkan banyak orang dari bakat sejati mereka. Siswa dipaksa mengikuti jalur yang sama, seolah-olah kecerdasan hanya bisa diukur melalui matematika dan sains, sementara seni, musik, atau pertanyaan filosofis dianggap sekunder. Padahal, banyak penemuan besar lahir dari keingintahuan yang tak terikat jadwal.

Pertanyaan mendasarnya tetap: bisakah kita membayangkan pendidikan yang benar-benar terlepas dari logika waktu kapitalistik? Jika masih hidup dan menanyakan kepadanya, Freire mungkin akan menjawab bahwa selama sistem ekonomi berlandaskan akumulasi profit, sekolah akan tetap menjadi alat reproduksi ketimpangan. Namun, kesadaran akan masalah ini adalah langkah pertama. Ketika guru dan siswa mulai mempertanyakan mengapa lonceng harus mengatur proses belajar, di situlah benih-benih pembebasan mulai tumbuh. Seperti kata Freire, pendidikan sejati harus mampu “membaca dunia untuk kemudian mengubahnya”, Iqra dalam terminologi Islam (lebih dari sekedar membaca teks) – dan langkah pertama transformasi itu mungkin sesederhana mematikan bel sekolah yang selama ini membisikkan logika pabrik ke telinga kita. Beralih ke sistem yang lebih memanusiakan manusia, yang menempatkan guru dan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran.

Daftar Bacaan:

  1. Buku  Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire bisa dibeli di sini klik
  2. Buku The Element karya Sir Ken Robinson bisa dibeli di sini klik
  3. Buku The Control Theory  karya William Grasser belum ada di Market Place 🙂
  4. Jurnal : Trends in Neuroscience and Education Volume 20, Memory-related cognitive load effects in an interrupted learning task: A model-based explanation bisa diakses di https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2211949320300156
  5. Jurnal : Differential Effects of Interruptions and Distractions on Working Memory Processes in an ERP Study bisa diakses di https://www.frontiersin.org/journals/human-neuroscience/articles/10.3389/fnhum.2020.00084/full

Terimakasih telah membaca dan membeli buku lewat link di atas … 🙂

Tinggalkan komentar