Menanyakan Wacana Pelajaran Coding

Beberapa waktu yang lalu, ramai video wawancara Najwa Shihab dengan CEO Nvidia Jensen Huang membahas tentang penting atau tidaknya pembelajaran coding di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Dalam obrolannya sambil menikmati makanan kaki lima, Najwa bertanya perlu tidaknya pelajaran coding diajarkan di sekolah dasar dan menengah di masa perkembangan kecerdasan buatan di mana kode-kode pemrograman bisa dihasilkan dengan satu kali perintah (prompt) saja. Jensen menjawab bahwa coding sudah tidak dibutuhkan lagi di masa yang akan datang, justru anak-anak harus belajar banyak tentang bagaimana membuat pertanyaan yang baik agar bisa menghasilkan kode yang baik pula oleh teknologi AI. Wawancara ini seolah menjawab wacana kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang hendak mewajibkan pelajaran coding untuk siswa dasar dan menengah. Dalam beberapa kali kesempatan, Menteri Dikdasmen, Prof. Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa ke depan anak-anak Indonesia perlu belajar coding di kelas-kelas mereka. Tentu pernyataan ini kontradiktif dengan hasil wawancara Najwa dengan CEO Nvidia.

Apa yang dikatakan Jensen tidak salah tapi juga mungkin tidak sepenuhnya benar. Benar bahwa ke depan AI akan dengan mudah membuat kode pemrograman dengan sekali prompt atau perintah dari kita. Namun, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah tujuan belajar coding itu semata-mata hanya untuk menghasilkan program ataukah ada manfaat lain yang mungkin tidak nampak (intangible) dalam proses pembelajaran coding itu sendiri.

Jika tujuan dari belajar suatu mata pelajaran pada pendidikan dasar atau menengah itu menghasilkan suatu produk, maka tidak hanya coding saja yang tidak relevan untuk diajarkan di bangku-bangku sekolah, mata pelajaran yang lain juga kemungkinan mengalami hal yang sama. Contoh, belajar seni rupa dalam ini membuat gambar. Jika orientasi belajar seni menggambar ini hanya product oriented, maka siswa hanya cukup memerintahkan AI untuk membuat gambar sesuai dengan perintah atau tugas yang diberikan. Dengan hitungan detik, AI akan membuat gambar untuk mereka. Hal yang sama apabila anak-anak belajar coding.

Inilah kenapa mindset kita dalam mendidik dan mendampingi anak-anak dalam belajar tidak boleh hanya berorientasi terbatas pada produk saja, tetapi juga pada proses belajarnya itu sendiri. Penting untuk melihat pembelajaran bukan hanya sebagai upaya untuk menghasilkan produk, melainkan juga sebagai sebuah perjalanan yang memperkaya keterampilan berpikir, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Proses belajar, terutama dalam konteks coding, memberikan peluang bagi siswa untuk melatih cara mereka berpikir, beradaptasi, dan mengeksplorasi solusi secara mandiri.

Sejak Berdiri di Tahun 2018 Al Hikmah IIBS Batu Sudah Mengajarkan Coding Kepada Siswanya

Salah satu hal yang harus dipelajari dalam coding adalah dekomposisi. Ini adalah proses memecah masalah besar atau kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola. Sebagai contoh, ketika seorang siswa diberikan tugas untuk membuat aplikasi sederhana, masalah tersebut mungkin tampak besar dan membingungkan. Namun, dengan menggunakan dekomposisi, mereka dapat membagi tugas tersebut menjadi sub-tugas yang lebih kecil, seperti mendesain tampilan antarmuka, membuat sistem input data, menangani logika pemrograman, dan akhirnya menghubungkan semua bagian tersebut untuk membentuk aplikasi yang berfungsi.

Selain itu, dekomposisi membantu siswa untuk melihat masalah secara lebih jelas dan terstruktur, dan tentunya diharapkan mampu memberikan mereka kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan yang tampaknya rumit. Misalnya, jika seorang siswa diminta untuk membuat program yang menghitung rata-rata nilai ujian dari seratus siswa, mereka mungkin merasa kesulitan dengan banyaknya data yang harus diolah. Namun, dengan menerapkan dekomposisi, mereka bisa memecahnya menjadi beberapa langkah sederhana: pertama, menerima input nilai siswa; kedua, menambahkan semua nilai tersebut; dan ketiga, membagi jumlah total dengan banyaknya siswa. Dengan cara ini, mereka dapat fokus pada satu langkah pada satu waktu tanpa merasa terbebani oleh kompleksitas keseluruhan tugas.

Dekomposisi yang merupakan bagian dasar dari coding akan mudah dipecahkan oleh AI. Tapi kemampuan anak-anak dalam mendekomposisi permasalahan yang akan mereka hadapi sehari-hari tentunya akan mereka butuhkan dalam setiap tahapan kehidupan yang akan mereka jalani.

Dalam suatu kesempatan, orang terkaya se dunia saat ini, Elon Musk berkata bahwa cara dia untuk berpikir kreatif adalah menggunakan apa yang dinamakan sebagai first prinsiple. First principle ini dalam praktiknya juga mendekomposisi suatu permasalahan. “Jadi saya berpikir, baiklah, mari kita lihat prinsip pertama. Apa yang sebuah roket terbuat dari? Paduan aluminium kelas dirgantara, ditambah beberapa titanium, tembaga, dan serat karbon. Lalu saya bertanya, berapa nilai bahan-bahan itu di pasar komoditas? Ternyata, biaya bahan roket sekitar dua persen dari harga tipikal.”

Alih-alih membeli roket jadi dengan harga puluhan juta dolar, Musk memutuskan untuk mendirikan perusahaannya sendiri, membeli bahan mentah dengan harga murah, dan membangun roket-roket tersebut sendiri. Inilah yang melahirkan SpaceX.

Dengan berpikir menggunakan prinsip pertama, Musk dapat medekomposisi masalah dengan kembali ke komponen-komponen dasarnya, menyelidiki harga sebenarnya dari bahan-bahan yang digunakan, dan menghindari biaya tinggi yang ada di industri luar angkasa. Dalam beberapa tahun, SpaceX berhasil memangkas harga peluncuran roket hampir sepuluh kali lipat, sambil tetap menghasilkan keuntungan.

Penerapan proses berpikir yang dilakukan oleh Elon Musk untuk menciptakan solusi yang lebih efektif sangat mirip dengan cara berpikir yang dibutuhkan dalam pembelajaran coding. Ketika siswa belajar untuk memecah masalah besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih sederhana (dekomposisi), mereka juga belajar untuk melihat komponen-komponen dasar dari sebuah masalah dan mencari solusi yang lebih efisien. Prinsip ini mendorong mereka untuk tidak hanya menerima solusi yang sudah ada, tetapi untuk menemukan cara baru dan lebih baik dalam menghadapinya.

Jika kembali ke pertanyaan pertama apakah pembelajaran coding perlu diajarkan kepada peserta didik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, maka tentu saja jawabannya sama pentingnya dengan mata pelajaran lain yang sudah diajarkan di sekolah asal orientasi belajarnya tidak terbatas pada produk saja. Justru pertanyaan fundamentalnya adalah apakah semua sekolah di Indonesia sudah siap menerapkan pembelajaran coding di saat kompetensi guru dan fasilitas belajar kita masih membutuhkan banyak perhatian?

Buku terbaik tentang Thinking : Thinking Fast and Slow Karya Daniel Kahneman bisa dibeli di sini ya … Klik

Terimakasih telah membaca dan membeli buku lewat link di atas … 🙂

Tinggalkan komentar