“Kalau kita ingin anak kita jadi ahli dalam satu hal, sebaiknya sedini mungkin kita temukan bakat dan keterampilan mereka, lalu kita istikomahkan untuk melatih mereka pada bidang tersebut.” Seringkali saya mendengar pernyataan tersebut. Mungkin teman-teman juga pernah mendengarkan hal yang sama. Asumsinya adalah semakin cepat kita menemukan bakat anak kita dan melatihnya, maka semakin dia menjadi ahli di bidang itu, dan pada akhirnya akan bermanfaat bagi kesejahteraan mereka kelak.

Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Kenapa? Untuk beberapa hal, memang spesialisasi sedini mungkin itu bisa berhasil. Ambil contoh Messi, pemain dengan gelar terbaik di dunia paling banyak. Sejak kecil ia sudah dilatih dan dipersiapkan oleh orang tuanya, dimasukkan ke dalam sekolah sepak bola La Masia milik Barcelona. Skill yang ia pelajari sejak kecil akan sangat bisa dia gunakan dalam kehidupannya di dunia sepak bola. Kenapa? Karena sepak bola aturannya sejak dulu seperti itu, sedikit sekali perubahannya sejak era sepak bola modern di mulai tahun 1863 di Inggris.
Namun hanya sedikit hal dalam hidup yang seperti sepak bola. Kita hidup di dunia yang penuh dengan ambiguitas, kompleksitas, dan perubahan terus-menerus. Dalam presentasinya, atasan saya sering menyebutnya sebagai VUCA. Dalam dunia kedokteran misalnya, ada banyak sekali perubahan seiring berkembangnya teknologi. Begitu juga bidang-bidang lainnya.
Saat ini, orang-orang yang paling sukses rata-rata berlatar belakang generalis. Mereka tahu bagaimana memadukan berbagai pendekatan untuk menghadapi tantangan baru dan tak terduga.

Dari riset David Epstein dalam bukunya Range saya menemukan bahwa banyak orang paling efektif di bidang profesional elit (seperti olahraga, seni, penelitian ilmiah) berhasil bukan karena sedini mungkin mereka melakukan spesialisasi, tetapi mereka menemukan jalan ke bidang tersebut setelah melakukan upaya lain terlebih dahulu yang lebih umum.
Dengan kata lain, generalisme dan spesialisasi adalah teman, bukan musuh. Tapi urutannya penting. Generalisasi lalu spesialisasi. Bukan sebaliknya!
Ketika kita melakukan spesialisasi sejak dini (untuk anak-anak kita), saya khawatir mereka akan mudah terjerumus ke dalam “functional fixedness”. Mereka buta terhadap solusi kreatif karena mereka hanya menguasai satu set keterampilan.
Biarkan anak-anak bereksplorasi dan belajar banyak hal, melakukan kesalahan-kesalahan, dan memperbaiknya tanpa ada tekanan untuk berkomitmen dalam pelaksanaannya, hal ini akan membantu mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Penelitian Gullich dan teman-temannya (2022) menemukan perspektif baru dalam dunia olahraga. Spesialisasi awal memiliki implikasi kemajuan yang lebih cepat tetapi puncaknya lebih rendah maksimal hanya sampai level nasional. Atlet kelas dunia banyak berlatih berbagai macam olahraga di usia dini, kemudian fokus, namun memang membutuhkan waktu lebih lama untuk berprestasi dibandingkan atlet tingkat nasional. Tapi puncak karirnya jauh lebih tinggi.
Saran terbaik saya, kita boleh mengirim anak-anak kita ke kursus-kursus musik, olahraga, matematika, bahasa, dan lain sebagainya. Tapi ingat, jangan menuntut mereka agar ahli di bidang tersebut. Biarkan mereka bermain dan bereksplorasi. Biarkan mereka menemukan apa yang mereka sukai.
Referensi:
- David Epstein (2019), “Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World” buku ini bisa dibeli di sini ya …
- Gullich et al (2022), “What Makes a Champion? Early Multidisciplinary Practice, Not Early Specialization, Predicts World-Class Performance” diakses di https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1745691620974772