Pada saat Perang Dunia Kedua berlangsung, salah satu masalah yang dihadapi militer Amerika Serikat adalah bagaimana mengurangi korban pesawat. Mereka meneliti kerusakan yang diterima pesawat mereka yang kembali dari medan perang. Mereka mengobservasi bagian-bagian pesawat yang sering banyak tertembak. Mereka menyimpulkan jika sebagian besar lubang berada di bagian ekor dan sayap. Sementara bagian mesin relatif lebih aman dari peluru lawan. Oleh karena itu, militer AS saat itu mengambil kesimpulan untuk memperkuat bagian ekor dan sayap.

Ialah Abraham Wald, seorang peneliti Yahudi, satu dari beberapa anggota Badan Penelitian Statistik Columbia University, yang maju dan mengusulkan untuk membuat pelindung yang lebih kokoh pada mesin pesawat. Alasan Wald mengajukan hal tersebut didasarkan pada pemahaman apa yang sekarang kita sebut sebagai Survivorship Bias. Bias adalah faktor apapun dalam proses penelitian yang membuat hasil penelitian menjadi kurang akurat. Survivorship Bias menggambarkan kesalahan dalam melihat hanya pada subjek yang telah mencapai titik tertentu tanpa mempertimbangkan subjek (seringkali tidak terlihat) yang belum mencapai titik tersebut atau bahkan gagal dalam mencapai titik tersebut. Dalam kasus pesawat militer AS ini, mereka hanya mempelajari pesawat yang telah kembali ke pangkalan setelah konflik, yaitu para penyintas (survivor). Dengan kata lain apa yang sebenarnya ditunjukkan oleh diagram lubang peluru mereka adalah area-area dimana pesawat mereka dapat mengalami kerusakan dan masih dapat terbang dan membawa pulang pilot mereka. Sementara ada pilot-pilot lainnya yang mungkin saja tertembak pada bagian mesin pesawat yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. Angkatan Udara AS menderita lebih dari 88.000 korban selama Perang Dunia Kedua. Tanpa penelitian Wald, jumlah korban kemungkinan akan lebih tinggi.
Dalam konteks pendidikan, terutama ketika orang tua hendak memilihkan sekolah untuk anak-anak, orang tua juga perlu berhati-hati terjebak dalam bias ini. Tidak jarang sekolah-sekolah memajang foto-foto siswa mereka yang berprestasi, mulai dari yang level sekolah itu sendiri seperti juara kelas, hingga level-level wilayah seperti juara lomba baik ditingkat kota, provinsi, nasional, maupun regional. Tidak sedikit pula sekolah-sekolah mempertontonkan fasilitas-fasilitas yang mewah, guru-guru yang bergelar akademis, kurikulum internasional, hingga buku-buku yang mereka gunakan dalam pembelajaran. Kita memang perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang nampak tersebut, tapi jangan pernah melupakan aspek yang tidak nampak, atau dalam analisis Wald adalah pesawat yang tidak pernah kembali ke pangkalan.

Tentang prestasi misalnya, banyak iklan-iklan sekolah saat ini menampilkan foto siswa beserta prestasi yang telah diraihnya. Biasanya, mereka yang muncul di flyer maupun baliho ini adalah para juara lomba. Ini tentunya untuk menunjukkan kepada para calon walimurid bahwa, inilah prestasi sekolah. Padahal prestasi siswa belum tentu juga merupakan prestasi sekolah. Siswa menjadi juara olimpiade bahasa Inggris belum tentu juga karena hasil pendidikan dari sekolah. Faktor les tambahan di luar sekolah, latar belakang keluarga yang memang tinggal lama di negara berbahasa Inggris dan sebagainya. Maka sebagai orang tua kita juga jangan sampai terlena oleh bias ini. Harapannya dengan memasukkan siswa ke sekolah tersebut, maka anak kita juga akan memiliki kemampuan bahasa Inggris yang selevel dengan siswa juara olimpiade bahasa Inggris itu. Sekali lagi, orang tua wajib mencari tahu lebih dalam lagi, program bahasa seperti apa yang dijalankan di sekolah agar anak-anak mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni jika para orang tua menjadikan bahasa Inggris sebagai pertimbangan memasukkan anak ke suatu sekolah.
Sebenarnya ada dampak psikologis yang ditimbulkan oleh flyer-flyer atau baliho-baliho prestasi ini. Secara tidak langsung mereka yang tidak pernah muncul di dalam flyer atau baliho prestasi tersebut, secara tidak sadar akan menganggap diri mereka siswa yang tidak berprestasi. Padahal definisi prestasi dalam pendidikan semestinya tidak berhenti begitu saja sebelum kita jabarkan untuk apa, bagi siapa, dan di mana.
Agar tidak terjebak dalam Survivorship Bias, menurut saya orang tua perlu melakukan riset kecil tentang sekolah yang akan mereka pilih sebagai tempat pendidikan untuk anak-anak mereka. Biasanya dalam suatu penelitian, kita dituntut untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Tiga pertanyaan penting yang harus orang tua tanyakan adalah, pertama, apa visi sekolah? Hal ini penting mengingat proses pendidikan tidak akan berjalan dengan baik jika ada perbedaan yang mencolok antara visi rumah dan visi sekolah. Pertanyaan kedua adalah seperti apa proses pendidikan yang akan didapatkan ananda dari sekolah? Apakah anak-anak akan belajar secara klasikal, ataukah lebih personal. Apakah guru melakukan pendekatan belajar yang memperlakukan anak sebagai subjek belajar, ataukah menganggap anak-anak hanya sebagai objek yang perlu dicekoki informasi. Lalu pertanyaan ketiga adalah seperti apa laporan pendidikan yang orang tua dapatkan? Apakah berupa angka-angka ataukah sebuah deskripsi yang lebih bermakna dan komprehensif sehingga orang tua benar-benar tahu apa dan bagaimana anak-anak mereka mendapatkan pendidikan di sekolah. Setelah mendapatkan jawaban dari tiga pertanyaan itu barulah kita sebagai orang tua bisa memutuskan ke sekolah mana kita titipkan proses pendidikan anak-anak kita.
Referensi: