(Awas SPOILER)

Akhirnya, Start Up sudah rilis final episode. Tapi saya sedang tidak ingin membahas apakah So Dal Mi lebih pantas dengan Nam Do San atau Han Ji Pyeong, tapi melainkan apa pelajaran yang bisa kita ambil dari drama yang ratingnya mencapai 97 persen itu untuk sekolah kita.
Sebagai informasi singkat, drama ini berlatar tentang tiga anak muda yang mendirikan sebuah perusahaan strat up bernama Samsan Tech. Singkat cerita takdir mempertemukan tiga pemuda yang sedang membangun bisnis ini dengan sosok So Dal Mi yang sudah bosan menjadi karyawan dan ingin membuka usaha sendiri di salah satu program inkubator yang diinisiasi oleh perusahaan bernama Sandbox. Sandbox inilah yang menarik perhatian saya. Selama 16 episode, Sandbox menjadi latar tempat yang dominan dalam drama ini.
Dari apa yang dikerjakan Sandbox dalam drama start up, saya melihat adanya kemungkinan adaptasi model inkubasi bisnis ke dalam sekolah. Dalam cerita tersebut, tahapan awal inkubasi adalah dengan menuliskan mimpi. Tentu saja, hal ini sangat mungkin di kerjakan di sekolah-sekolah menengah. Sekolah bisa mendorong anak-anak untuk menuliskan mimpi-mimpi mereka di papan mimpi. Membuat profil mereka di masa yang akan datang.
Tahapan selanjutnya adalah tentang pemilihan CEO. Semua peserta inkubator harus menjawab sejumlah pertanyaan yang bersifat problem solving. Beberapa peserta terbaik akan mendapatkan posisi sebagai CEO. Di sini kita bisa memperkenalkan masalah-masalah sosial, lingkungan, kepada para siswa. Misalnya mengenai sampah, energi terbarukan, diskriminasi, disabilitas, dan sebagainya. Siswa diminta menjawab pertanyaan terkait dengan masalah-masalah tersebut. Siswa dengan jawaban terbaik berhak untuk menjadi CEO.
Setelah CEO terpilih maka mereka memiliki kesempatan untuk membentuk tim. CEO bergerilya untuk merekrut tim terbaik mereka. CEO bisa menggunakan profil yang dibuat oleh para siswa dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam membentuk tim. Di sini,keterampilan persuasi dan negosiasi siswa dilatih dan diuji.
Setelah tim terbentuk, mereka harus segera membuat sebuah model bisnis di mana model bisnis itu harus bisa mampu menyelesaikan setidaknya satu permasalahan di masa yang akan datang. Di dalamnya anak-anak bisa menuliskan dan merencanakan pengetahuan apa saja yang mereka harus persiapkan dan kuasai. Ini juga bisa menjadi motivasi mereka untuk belajar suatu pengetahuan. Dalam tim mereka akan belajar bekerja sama dengan sang CEO sebagai pimpinannya. Dalam pelaksanaannya, setiap tim didampingi oleh seorang mentor. Di sinilah peran vital para guru. Guru diharapkan mampu mendampingi setiap tim dengan sebaik mungkin.
Di akhir masa inkubasi, sekolah bisa membuat sebuah pameran model bisnis. Secara teknis sekolah bisa mengundang para wali murid, para praktisi, dan jika perlu perwakilan pemerintah. Dalam pameran, setiap tim diberikan kesempatan untuk mempresentasikan model bisnis mereka. Kita bisa ibaratkan para tamu undangan sebagai investor, dan setiap tim punya kesempatan yang sama untuk menggaet para investor.
Ide di atas sebenarnya masih bisa terus dikembangkan atau disederhanakan tergantung pada kondisi masing-masing sekolah. Masa inkubasi model bisnis bisa berlangsung selama satu tahun ajaran atau setidaknya satu semester. Proyek ini bisa menggantikan model-model penilaian tradisional seperti soal-soal pilihan ganda yang dikerjakan secara bersama-sama.

Di awal cerita drama Start Up, ayah So Dal Mi keluar dari pekerjaannya. Ia berniat membuat sebuah aplikasi pemesan makanan. Singkat cerita, setalah usaha yang panjang untuk mencari investor, akhirnya ia dipertemukan oleh direktur modal ventura SH. Dalam perjalanan bertemu investor ini, ayah So Dal Mi mengalami kecelakaan. Namun ia tetap berusaha memenuhi janjinya bertemu sang direktur meskipun akibat kecelakaan itu ia mengalami luka parah. Setelah melakukan presentasi, sang direktur menyetujui proposal ayah So Dal Mi. Dalam perjalanan pulang, sang ayah secara tidak sengaja berada satu lift dengan sang direktur. Di dalam lift itu, ayah So Dal Mi menceritakan bahwa dunia usaha rintisan membutuhkan “Sand Box” atau “Kotak Pasir”. Ia menceritakan tentang anaknya yang enggan bermain ayunan, karena pernah terjatuh dan mengalami trauma. Untuk menghilangkan trauma itu, sang ayah menyiapkan kotak pasir di bawah ayunan, sehingga sekalipun terjatuh masih ada pasir yang menjadi tumpuannya sehingga bisa mengurangi resiko luka. Sejak saat itu sang anak tidak lagi takut bermain ayunan. Dari kisah yang diceritakan sang ayah inilah kemudian direktur modal ventura SH membuat sebuah ruang kerja untuk pera pengusaha rintisan di mana di dalamnya mereka mendapatkan berbagai fasilitas berupa kantor, pendampingan mentor, kesempatan untuk pelatihan dan juga bertemu dengan para investor sehingga mereka tidak perlu khawatir dengan modal awal dan termotivasi untuk membuat terobosan-terobosan di bidang teknologi.
Dalam dunia pendidikan, fungsi Sandbox mirip dengan fungsi sekolah. Tantangan kita adalah membuat bagaimana sekolah menjadi seperti Sandbox, tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk berkreasi. Anak-anak tidak perlu terlalu khawatir dalam mengembangkan dan menuangkan ide-ide yang mereka miliki. Mereka juga tidak perlu takut berbuat kesalahan, karena kesalahan dalam belajar itu adalah suatu keniscayaan. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, fungsi guru lebih banyak kepada yang bersifat mengarahkan bukan menentukan. Sementara keputusan diberikan kepada siswa dengan segala resiko yang harus mereka pertanggungjawabkan. Contoh yang paling gampang adalah tentang kriteria ketuntasan minimal. Sistem pendidikan kita menentukan berapa nilai yang harus dicapai anak agar bisa dikatakan lulus atau tuntas. Jika tidak memenuhi KKM mereka harus tinggal kelas, atau mengikuti kegiatan “remidial” yang terkadang agak sedikit dipaksakan. Anak-anak tidak pernah diberikan opsi lainnya. Setidaknya untuk memutuskan apakah saya bisa mengerjakan hal lainnya yang saya sukai selain kedua opsi itu. Hal itu adalah salah satu contoh saja, masih banyak kebijakan-kebijakan lainnya yang menjadi momok bagi para siswa.
Tahun 2045 Indonesia akan diprediksi akan memiliki bonus demografi di mana terjadi keberlimpahan sumber daya manusia Indonesia usia produktif. Bonus demografi ini akan benar-benar menjadi sebuah bonus apabila sekolah-sekolah mampu menyiapkan anak-anak saat ini, dengan model pendidikan yang tepat. Karena apabila terjadi ketidak sinkronan antara supply dan demand dalam kebutuhan sumber daya manusia, maka bonus demografi bisa menjadi malapetaka. Laporan dari McKinsey (2018) menyebutkan bahwa skill yang penting dan terus berkembang di tahun 2030 adalah skill kepemimpinan, hal yang masih jarang disentuh oleh sekolah-sekolah kita. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar energi sekolah-sekolah kita masih dihabiskan untuk penguasaan materi pelajaran yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Hal serupa juga kita bisa lihat dari laporan World Economic Forum yang menyebutkan 10 keterampilan yang dibutuhkan di tahun 2025. Prosentase tertinggi ada pada kemampuan complex problem solving yang didalamnya ada inovasi, kreativitas, inisiatif, dan analisis. Jika kita tidak berubah mulai saat ini, saya khawatir kita akan semakin tertinggal dan tidak siap dengan perubahan-perubahan yang semakin hari semakin cepat.
Referensi:
- World Economic Forum (2020). Future Jobs Report bisa diunduh di di https://www.weforum.org/reports/the-future-of-jobs-report-2020/in-full/infographics-e4e69e4de7
- McKinsey (2018). SKILL SHIFT AUTOMATION AND THE FUTURE OF THE WORKFORCE bisa diunduh di https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Industries/Public%20and%20Social%20Sector/Our%20Insights/Skill%20shift%20Automation%20and%20the%20future%20of%20the%20workforce/MGI-Skill-Shift-Automation-and-future-of-the-workforce-May-2018.pdf
- https://asianwiki.com/Start-Up_(Korean_Drama)