
Jika merujuk pada kalender pendidikan nasional, maka minggu-minggu ini anak-anak dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sedang memasuki masa penilaian tengah semester atau biasa dikenal dengan PTS. Bentuk penilaian ini biasanya terstandar, beberapa soal dalam bentuk pilihan ganda dan beberapa soal dalam bentuk jawaban isian baik panjang atau pendek. Dalam masa pandemi ini, penilaian tersebut dilakukan secara online menggunakan beberapa platform yang banyak tersedia di dunia maya dan bisa diakses secara gratis, beberapa sekolah mengembangkan secara mandiri platform penilaian mereka, dan beberapa sekolah menggunakan cukup mengirimkan soal dalam bentuk dokumen lunak ke nomor whatsapp orang tua untuk dikerjakan oleh anak-anak mereka.
Sebenarnya, jika mengacu pada undang-undang terbaru, sekolah tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan model penilaian serentak semacam ini. Menurut Permendikbud No. 23 tahun 2016, sekolah hanya wajib melaporkan perkembangan belajar siswa pada beberapa rentang waktu, salah satunya adalah tengah semester. Permendikbud ini menggantikan permendikbud-permendikbud sebelumnya yang memang meminta sekolah untuk melakukan UTS seperti Permendikbud No. 66 tahun 2013 dan No. 104 tahun 2014.
Ada beberapa masalah dalam pelaksanaan ujian terstandar berbasis rentang waktu semisal UTS ini. Masalah yang pertama adalah tentang ketuntasan anak-anak dalam belajar. Seperti yang kita ketahui bersama, masing-masing anak memiliki keunikan masing-masing. Kenunikan itu terbentuk dari sebuah proses yang panjang baik secara biologis maupun sosiologis. Contoh dalam hal biologis adalah asupan gizi yang diterima tiap-tiap anak berbeda, hal ini sedikit banyak akan berpengaruh pada perkembangan kognitif anak-anak. Anak-anak yang stunting akibat gizi buruk, tentunya berbeda tingkat kecerdasannya dengan anak-anak yang kebutuhan gizinya terpenuhi. Sementara itu dalam hal sosiologis, ada anak-anak yang mendapatkan perhatian penuh dari orang tua dan orang-orang terdekatnya, sementara banyak juga yang hubungannya bermasalah dengan orang tua mereka. Hal ini juga menjadi variabel yang bisa mendukung atau melemahkankan proses belajar anak-anak.
Dengan kondisi yang berbeda ini, anak-anak “dipaksa” untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam belajar. Dalam rentang waktu tertentu itu sebenarnya guru dan sekolah sudah tahu siapa-siapa yang memiliki masalah dan belum tuntas dalam beajar, dan siapa yang sudah bisa belajar secara mandiri dan tuntas. Penyelenggaraan ujian terstandar seperti UTS ini hanya semakin menambah kompleksitas masalah anak-anak yang belum tuntas dalam belajar. Kita bisa bayangkan, ada anak yang belum memahami sepenuhnya materi IPA tentang makhluk hidup, kemudian dia harus menghadapi penilaian yang sama dengan anak-anak, lalu setelahnya, hasil penilaian diumumkan bersama-sama. Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak dengan mudah, anak-anak mana yang lulus penilaian dan anak-anak yang harus ikut remidi, yang notabene untuk formalitas saja agar anak nilai anak yang sebelumnya belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) berubah menjadi memenuhi KKM. Atau setidaknya bisa mengurangi jumlah anak yang tidak memenuhi KKM. Hal ini memunculkan masalah berikutnya yaitu tentang motivasi belajar.
Teori paling banyak dijadikan rujukan dalam hal motivasi belajar adalah teori determinasi diri yang ditulis oleh psikolog Edward Deci dan Richard Ryan. Di sana dijelasakan bahwa untuk memiliki motivasi yang kuat setidaknya ada tiga kebutuhan dasar yang harus didapatkan oleh seorang manusia yaitu otoritas, kompetensi, dan keterkaitan. Ketika masalah belajar anak-anak belum selesai dan mereka harus menghadapi penilaian terstandar seperti UTS ini, hasil yang didapatkan anak-anak juga pastinya tidak optimal. Hasil yang dipublikasikan bersama-sama ini bisa menjadi bumerang bagi anak-anak itu sendiri. Mereka yang hasilnya dibawah teman-teman mereka akan merasa tidak memiliki kompetensi, sehingga motivasi belajar mereka semakin turun. Hari-hari ke depan bagi mereka adalah hari-hari yang semakin sulit. Jika sudah dalam tahap amotivasi, maka yang ada dipikiran mereka bisa jadi “ya sudahlah, ada penilaian remidi.”
Angka dalam rapor
Setelah proses penilaian, tibalah giliran orang tua menerima laporan hasil belajar. Inilah yang menjadi paradoks dalam kegaiatan belajar siswa selama ini. Dalam konteks UTS, orang tua akan menerima laporan belajar anak-anak mereka selama kurang lebih tiga bulan. Dan seperti apa proses belajar selama itu diwakili oleh angka-angka yang ada pada laporan yang dibuat oleh sekolah. Angka yang sederhana, berkisar antara 1 sampai 100.
Beberapa orang tua memiliki respon yang berbeda terhadap angka-angka itu. Ada yang puas, terutama mereka yang angka anaknya melampaui kriteria ketuntasan minimal (KKM), ada yang tidak puas karena angka anaknya yang kurang dari (KKM), ada yang biasa saja karena memang mereka sudah tahu dengan kemampuan anaknya. Dari beberapa respon orang tua ini, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang mencoba mencari tahu dari mana angka yang ada dalam laporan itu berasal dan apakah angka itu sudah benar-benar bisa mewakili kompetensi yang dimiliki oleh anak-anak mereka.
Padahal, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, tiap anak adalah unik dengan kemampuan dan kekurangannya, dengan setiap masalah dan bagaimana mereka berproses menyelesaikan permasalahan itu. Dan proses dalam rentang waktu tertentu itu tidak mungkin diwakili oleh sebuah angka.
Laporan yang lebih deskriptif
Sekolah atau guru boleh saja memasukkan angka di dalam laporan yang diberikan kepada orang tua. Tapi saya merasa perlu bagi sekolah dan guru untuk mendeskripsikan tentang proses belajar anak-anak di dalam kelas, bagaimana sikap belajar anak-anak, apa-apa yang sudah mereka pelajari dengan tuntas, dan apa yang seharusnya melreka pelajari namun belum tuntas, dan peran apa yang bisa dikerjakan oleh orang tua dalam mendampingi anak-anak dalam belajar.
Model penilaian deskriptif ini akan sangat sulit dilakukan ketika sistem pendidikan kita secara keseluruhan tidak diperbaiki. Salah satu contohnya adalah tuntutan jam mengajar guru dan banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari siswa. Padahal titik berat pendidikan kita seharusnya bagaimana anak-anak itu belajar, bukan seberapa banyak pelajaran yang mereka dapatkan. Jika orientasi kita pada ketuntasan materi belajar, kita harus tahu bahwa tidak semua materi belajar akan digunakan oleh anak-anak dalam kehidupan mereka di luar sekolah. Tapi jika orientasi pendidikan kita adalah bagaimana anak-anak belajar, maka kita sedang menanamkan sebuah pola pikir. Dan pola pikir inilah yang seterusnya akan digunakan oleh anak-anak di masa yang akan datang.