
Nama kendaraan robot itu adalah Curiosity, sama dengan namanya yang berarti rasa ingin tahu, maka tugas utamanya adalah mencari tahu. Ia dikirim ke Mars tahun 2011 oleh NASA, lembaga antariksa milik Amerika Serikat. Saya perlu jelaskan ini karena ada produk herbal MLM dengan nama serupa. Rasa ingin tahu adalah sifat natural yang dimiliki manusia. Dan mengungkap sesuatu yang belum pernah diketahui adalah inti dari pengetahuan.
Pengetahuan inilah yang selama ini hilang dari dunia pendidikan kita. Pelan tapi pasti, tujuan pendidikan yang semula agar para siswa memperoleh pengetahuan berganti menjadi memperoleh nilai setinggi-tingginya. Padahal nilai belum tentu mencerminkan pengetahuan seseorang. Banyak faktor penyebab disorientasi dalam pendidikan ini. Tapi menurut saya yang paling dominan adalah sentralisasi kebijakan pendidikan.
Sentralisasi berarti mengatur pola dan bentuk pendidikan terpusat, biasanya di Ibu Kota, dalam konteks Indonesia berarti Jakarta. Bukti nyata dari sentralisasi ini adalah adanya Badan Standar Nasional Pendidikan. Mulai dari undang-undang hingga proses pelaksanaan pembelajaran di kelas diatur sedemikian rupa. Jika tidak percaya, tanyalah pada para guru yang menghadapi asesor akreditasi dan pengawas sekolah. Standarisasi adalah sebuah akibat dari sentralisasi, agar pemerintah “lebih mudah” dalam pemetaan pendidikan. Hal ini dikritik oleh Dintersmith dalam bukunya “What School Could Be”. Dia menganalogikan pemerintah seperti seorang yang mencari kunci mobilnya yang terjatuh di suatu tempat, tapi orang itu hanya mencarinya di titik di mana lampu jalan menerangi. Padahal bisa jadi kuncinya terjatuh di bagian jalan yang gelap. Alasan orang itu adalah karena di situlah satu-satunya tempat ia bisa melihat.
Sudah lama pula pusat menentukan standar “anak pintar”. Istilah kerennya di sekolah adalah kriteria ketuntasan minimal, atau KKM. Kita sudah lama menganut sistem di mana nilai Ujian Nasional menjadi penentu sukses tidaknya belajar, jadi meskipun beberapa tahun terakhir ini kebijakan sudah diganti bahwa nilai ujian nasional tidak menjadi rujukan kelulusan atau harus menunggu pandemi untuk menghentikan ujian nasional, tapi paradigma lama bahwa “nilai is everything” pastilah masih terpaku di dalam pikiran para pendidik yang masih didominasi wajah-wajah lama. Ini tentu berpengaruh dalam ekosistem sekolah sehingga paradigma yang dimiliki para siswa pun mengejar nilai.
Dalam beberapa kesempatan saya sering menjelaskan bahwa sistem pendidikan kita ini adalah sistem lama. Kurikulum kita harus segera diperbaiki. Dari yang awalnya berorientasi pada ketuntasan materi yang ujung-ujungnya ada pada nilai, menjadi ketuntasan pola pikir. Kita harus mengembalikan tujuan pendidikan agar anak-anak memperoleh pengetahuan. Dan untuk mendapatkan pengetahuan sudah ada metode-metode yang lazim digunakan. Metode-metode inilah harusnya labih ditekankan daripada materi pengetahuan itu sendiri dalam pendidikan kita.
Di tahun 2013 sebenarnya saya melihat titik cerah ketika di sekolah-sekolah diperkenalkan penggunaan metode saintifik dalam pembelajaran. Mulai dari mengobservasi fakta-fakta dan kejadian-kejadian, membuat pertanyaan-pertanyaan, melakukan penalaran dan percobaan, hingga membuat hubungan antara pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lainnya. Hanya saja dalam pelaksanaannya, hal ini lebih bersifat administratif saja tertuang pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran guru, sementara dalam pelaksanaannya masih banyak para guru yang menggunakan ceramah dan hafalan sebagai jalan pintas. Sekali lagi ini bukan hanya salah guru tetapi juga tuntutan sistem pendidikan kita yang mensyaratkan penguasaan materi yang menurut saya terlalu banyak. Sehingga pola pikir anak tidak berubah, bahwa belajar itu harus ada gurunya. Kalau tidak ada guru, berarti tidak bisa belajar. Para orang tua tentunya bisa merasakannya di masa-masa Learning From Home seperti saat ini.
Materi belajar dan nilai bagi saya tidak lebih sebagai sebuah alat saja. Dengan alat itu kita memperkenalkan kepada anak-anak untuk berpikir saintifik. Dengan berpikir saintifik maka anak-anak diharapkan mampu memperoleh pengetahuan. Berpikir saintifik ini pula yang nantinya dibutuhkan anak-anak di kehidupan mereka di luar sekolah. Saya yakin hal ini lebih berguna dibanding nilai-nilai yang ada di buku rapor mereka.