
Pada awal tahun ajaran baru kemarin, beberapa teman mengeluhkan tidak sinkronnya kebijakan pemerintah tentang pembelajaran di sekolah. Secara, menurut aturan yang berlaku, dalam hal ini SKB 4 menteri mengenai masuk sekolah dan tahun ajaran baru 2020/2021, memerintahkan agar sekolah-sekolah tidak melakukan pembelajaran secara langsung di sekolah. Bahkan daerah zona hijaupun diminta untuk menunggu selama dua bulan untuk bisa menyelenggarakan pembelajaran di sekolah.
Selama masa transisi itu, anak-anak harus belajar secara daring. Sementara itu, ketika anak-anak harus belajar dari rumah, banyak kantor, termasuk kantor pemerintahan, membuat kebijakan bekerja dari kantor. Artinya ada peluang anak berada di rumah sendirian, ketika kedua orang tua mereka merupakan pegawai kantoran. Di belahan lain negeri, ini ada orang-orang “non-kantoran” yang harus pergi ke sawah, ladang, pasar, atau tempat-tempat lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Biasanya, orang-orang ini memasrahkan anak-anak mereka ke sekolah, sementara mereka mencari nafkah. Kini mereka seperti dihadapkan pada buah simalakama, jika mereka menemani anak-anak mereka maka kebutuhan hidup tidak tercukupi. Sementara ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan rumah, mereka akan meninggalkan anak-anak mereka sendirian.
Bagi mereka yang memiliki privilese, tentu saja kebijakan ini tidak begitu memberatkan. Ke empat anak-anak dari orang tua kelas ekonomi menengah ke atas, tentunya sangat mudah menyediakan piranti belajar daring bagi anak-anak mereka. Atau, kalau pun kedua orang tua dari kelas menengah ke atas ini bekerja, mereka masih bisa menyewa asisten rumah tangga untuk membersamai anak-anak mereka. Tapi bagi Janu dan kakaknya Ikrom, kondisinya tentu berbeda. Ayah dan Ibu mereka adalah buruh tani yang untuk membeli paket data saja harus menunggu gaji dari hasil panen sawah dan ladang yang “digarap” mereka.
Dalam mengambil kebijakan mestinya pemerintah tetap memperhatikan asas Keadilan Sosial. Berkeadilan sosial bukan berarti menyamaratakan kebijakan. Sama dengan ketika pemerintah menyamaratakan kebijakan ujian nasional bagi semua sekolah dari Sabang sampai Merauke, padahal tiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda, pun juga jika ditinnjau dari sisi sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dalam hal ini guru. Begitu pula permasalahan pandemi di tiap-tiap daerah tentunya berbeda, apalagi level kecamatan maupun desa. Akan lebih bijak jika kebijakan terkait pendidikan ini sepenuhnya diserahkan kepada pemerintahan terdekat, yaitu pemerintah daerah.
Albert Bandura dalam “Social Cognitive Theory”nya menekankan tentang pembentukan manusia tergantung pada tiga aspek yang saling mempengaruhi yaitu: personal, lingkungan, dan kebiasaan. Aspek yang terkuat akan mempengaruhi yang lebih lemah. Jika anak-anak memiliki semangat belajar yang kecil, bisa jadi lingkungan sekolah yang baik akan membuat dia memiliki perilaku belajar yang baik pula. Sehingga hal ini akan mengubah kebiasaan anak-anak tersebut dalam belajar. Hal ini lebih familiar dengan istilah “Triadic Reciprocal Determination”.
Para petani di desa itu mengirimkan anak mereka ke sekolah karena mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka menyediakan lingkungan belajar di rumah ketika mereka pergi ke sawah. Begitu pula dengan pedagang-pedagang di pasar, buruh pabrik, tukang ojek, dan sebagainya. Dengan kondisi seperti ini, ditambah kebijakan pukul rata pemerintah dalam dunia pendidikan, mereka tidak hanya terancam secara ekonomi, tetapi masa depan anak-anak mereka juga terancam.
Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pendidikan tentunya akan juga berpeluang meningkatkan angka putus sekolah. Bagaimana tidak, ketika sekolah ditutup untuk jangka waktu yang cukup lama sementara mereka yang terpinggirkan ini tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk mengakses pembelajaran secara daring, maka ini akan menaikkan tingkat retensi anak-anak. Seperti yang bisa kita tebak bersama, hasil belajar mereka tidak optimal sehingga terjadi demotivasi untuk bersekolah.
Adanya kebijakan zonasi mestinya sedikit memberikan peluang sekolah untuk tetap membuka diri bagi peserta didik yang ingin masuk, tentunya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Pemerintah daerah harus lebih gencar lagi melakukan tes-tes masal, terutama di wilayah pedesaan dan pinggiran. Jika di dapati satu desa sudah hijau atau bahkan nol kasus, maka pusat-pusat serta akses pendidikan di desa itu bisa saja dibuka. Anak-anak tak perlu lagi meminta pulsa dan gawai kepada orang tua mereka sebagai media belajar daring. Lagipula prosentase desa-desa di Indonesia yang sudah terfasilitasi masih terbilang rendah, sekitar 40% dari total desa yang ada di Indonesia. Dan kemungkinan sebagian besar anak-anak itu di desa yang memiliki jaringan internet harus datang ke tempat-tempat berhotspot seperti kantor desa atau kelurahan. Semoga ke depan aka nada kebijakan baru dari mas Menteri. Yang perlu diingat adalah Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya, atau Pulau Jawa. Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke dengan desa dan ribuan pulau yang ada di dalamnya.
Referensi:
- SKB 4 Menteri mengenai Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan tahun Akademik 2020/2021 pada masa Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19), bisa didownload di https://lldikti13.kemdikbud.go.id/2020/06/23/panduan-penyelenggaraan-pembelajaran-pada-tahun-ajaran-2o2o-2o21/
- https://en.wikipedia.org/wiki/Reciprocal_determinism