Sekitar tahun 1960-an, seorang ahli psikologi dari Hungaria mempelajari tentang kisah-kisah orang-orang yang ahli dalam bidang-bidang tertentu. Ia tiba pada suatu kesimpulan bahwa keahlian itu bisa dibentuk. Ia bukan sebuah bakat. Bahkan keahlian itu bisa dipersiapkan sejak kecil. Maka ketika ia mencari pasangan yang akan dinikahi, salah satu syarat yang diajukannya adalah ia menginginkan anak yang terlahir nanti menjadi sebuah eksperimen tentang kesimpulan yang ia temukan ketika belajar tentang orang-orang yang ahli. Ia ingin, ketika anaknya terlahir atau bahkan sebelum ia lahir, mereka sudah menentukan kira-kira anaknya harus ahli dalam suatu bidang ketika dewasa nanti. Dan orang yang setuju menikah dengan sang ahli psikologi bernama Klara.
Perjanjian pun dibuat. Mereka berunding, memikirkan apakah anak-anak mereka nanti akan menjadi ahli matematika kah, atau bahasa, atau yang lainnya. Setelah melakukan proses diskusi yang panjang, mereka bersepakat untuk menjadikan anak mereka hali dalam permainan catur. Ahli psikologi ini bernama Laszlo Polgar. Ia memiliki 3 anak perempuan yang semuanya merupakan grand master di bidang permainan catur yang salah satunya menjadi pecatur terbaik sepanjang masa yaitu Judit Polgar.

Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:A_Polg%C3%A1r_l%C3%A1nyok_fortepan_40708.jpg
Catur kala itu dikenal sebagai sebuah permainan pikiran untuk laki-laki, para perempuan merupakan kasta kedua dalam permainan ini. Para perempuan memiliki turnamen tersendiri berbeda dengan kelas para lelaki karena adanya anggapan bahwa tidak adil jika ada pemain perempuan dihadapkan dengan pemain laki-laki dalam pertandingan catur. Dan salah satu anak Polgar, bernama Suzan Polgar berhasil menyabet gelar Grand Master lewat jalur yang sama bagi pemain laki-laki untuk meraih gelar tersebut di usia 15 tahun.
Eksperimen Polgar berhasil. Dan yang menjadi pertanyaan kita para orang tua adalah bagaimana dia menyiapkan anak-anaknya itu?
Dalam wawancaranya dengan salah satu media life style, Susan Polgar yang terkenal sebagai the Queen of the King’s Game itu menjelaskan awal mula ketertarikannya pada catur adalah ketika ia menemukan papan dan bidak catur di tempat mainannya. Awalnya dia tertarik pada bentuk-bentuk bidak catur. Lambat laun ia tertarik pada logika permainan catur dan segala macam tantangannya.
Tidak ada cerita yang pasti siapa yang menaruh bidak dan papan catur pada lemari mainan Susan kala itu. Jika melihat obsesi dari sang ayah, kemungkinan besar adalah Laszlo dan Klara lah yang menempatkan bidak itu di lemari mainan Suzan. Namun yang terpenting adalah Suzan dan kemungkinan kedua adiknya tertarik pada catur sejak kecil. Ya, sejak kecil.
Sekitar tahun 1980, salah satu ahli psikologi favorit saya Benjamin Bloom yang juga mengenalkan konsep Mastery Learning, membuat sebuah penelitian. Pertanyaan utama dari penelitiannya adalah tentang apa yang dilakukan para ahli ketika masa kecil sehingga mereka memiliki keahlian yang luar biasa dari orang-orang lainnya. Subjek dari penelitian Bloom ini adalah 120 ahli dalam berbagai bidang seperti pemain piano, juara renang olimpiade, juara tenis, profesor matematika dan fisika, dan sebagainya. Ia menemukan tiga jenjang yang dilewati mereka di masa kecil yang berpengaruh terhadap pencapaian mereka sebagai ahli.
Jenjang pertama adalah ketika anak diperkenalkan pertama kali pada bidang yang menjadi keahliannya lewat mainan. Dalam kasus Suzan, ia mengenal bidak catur sebagai sebuah mainan. Konon katanya, Tiger Woods, diberikan tongkat golf mini di usia 9 bulan. Mereka akan memainkan mainan-mainan itu dalam level anak-anak bersama orang tua. Di jenjang berikutnya, orang tua lebih serius lagi dalam membentuk keahlian anak. Level yang dulunya main-main sekarang diuabah menjadi agak lebih serius. Dalam kasus puteri-puteri Polgar, orang tua mereka mulai bermain catur dengan anak-anaknya secara serius. Di jenjang berikutnya adalah jenjang yang paling krusial, bagaimana orang tua terus memotivasi anak-anak mereka agar mencapai target-target tertentu dalam bidang yang digelutinya. Salah satu motivasi yang paling ampuh adalah pujian atas capaian-capaian anak-anak mereka. Ketika anak-anak mulai menorehkan prestasi dan capaian, rasa bahagia akan muncul bersama dengan benih-benih motivasi intrinsik. Bloom menyebut ini sebagai passion. Ia sendiri menemukan keunikan bagi mereka yang ahli dalam bidang sains seperti ahli matematika dan neurologi. Di masa anak-anak, orang tua mereka banyak membacakan buku-buku yang memunculkan rasa penasaran pada anak-anak.
Jika anak-anak sudah mulai tertarik menemukan passion mereka, maka tahap berikutnya adalah tahapan pembelajaran secara serius. Orang tua mulai mendatangkan guru, pelatih dan instruktur terbaik atau mengirimkan ke anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang dianggap terbaik yang mampu memfasilitasi passion anak-anak mereka. Dalam tahap ini, anak-anak dituntut untuk lebih disiplin. Jika sebelumnya mereka masih dalam level bermain-main, kini mereka berada di level deliberate practice, latihan sungguh-sungguh dan terus menerus. Tega menjadi salah satu kata kunci dalam tahapan ini. Para guru tidaklah harus para ahli di bidang yang digeluti, tapi mereka yang mampu menjadi mentor yang mampu memotivasi dan menjaga motivasi anak-anak tersebut. Target dari semua ini adalah mastery. Selain itu anak-anak diajarkan cara untuk mampu mengembangkan keahlian mereka lewat pengayaan dan proses metakognisi. Di sini diharapkan anak-anak sudah mampu mengeveluasi di mana kekurangan mereka dan bagaimana cara memperbaikinya.
Dari keluarga Polgar dan penelitian Bloom kita sama-sama belajar bahwa pengaruh orang tua terhadap masa depan anak sangatlah kuat. Dari sana juga kita belajar bahwa semakin dini anak-anak menemukan bidang yang ingin digeluti di kemudian hari, maka semakin besar pula kemungkinan mereka menjadi ahli dalam bidang tersebut. Kanapa demikian? Karena untuk beberapa, atau kebanyakan bidang, semakin terlambat untuk menekuni maka semakin sulit pula tingkat penyesuainnya dikarenakan faktor fisik dan pertumbuhan tubuh. Di usia di atas 20 tahun, otot-otot sudah terbentuk, bagian otak yang kemungkinan besar bisa berubah pun hanya bagian hippocampus seperti yang ada pada sopir taksi di London. Semakin tua, maka semakin banyak pula permasalahan atau peluang masalah yang akan dihadapi seperti dalam masalah fisik kita mudah cidera, dalam masalah mental, kita sudah memiliki beban-beban lain yang harus ditanggung baik personal maupun interpersonal yang pastinya akan mengganggu deliberate practice yang kita kerjakan.
Saya sendiri pernah menjadi saksi seorang anak. Namanya Habibie. Sengaja nama ini dipilihkan oleh bapaknya karena ia menginginkan sang anak untuk bekerja di bidang aviasi, menjadi pilot. Saya mengajar Habibie selama kurang lebih dua tahun, di kelas sepuluh dan kelas sebelas. Anaknya tidak terlalu istimewa dalam pembelajaran, tapi dia selalu senang memainkan aplikasi simulasi penerbangan yang ada di komputernya. Dalam satu kesempatan, saya bersilaturahim ke rumah Habibie. Di sana saya disambut sang ayah. Yang membuat saya takjub adalah semua hiasan di ruang tamu adalah miniatur pesawat terbang dari berbagai macam maskapai baik dalam dan luar negeri. Tanyakan pada Habibie tentang satu jenis pesawat, apa mesinnya, berapa kecepatan maksimalnya, dan pengetahuan tentang aviasi lainnya dia pasti dengan mudah menjawab. Di rumahnya, ia juga memiliki semacam joystik yang memang didesain seperti kemudi pesawat sungguhan. Lama saya tidak mendengar kabar tentangnya, setelah beberapa hari lalu, kepala sekolah saya bercerita kepada saya jika sekarang Habibie sudah menjadi pilot di salah satu maskapai penerbangan internasional. Ia menjadi pilot pesawat kargo.
Sungguh dahsyat bagaimana visi orang tua terhadap anak. Mungkin itulah kenapa Rasulullah bersabda “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Saya mencoba melihat hadis ini dari perspektif lain, dari perspektif pendidikan. Bagi saya, Rasulullah ingin menekankan bahwa orang tualah yang memegang peranan penting terhadap masa depan anak-anak mereka. Seperti apa anak-anak di masa yang akan datang, dibentuk oleh pendidikan yang diberikan orang tua kepada mereka di masa kini. Dan itu benar-benar dibuktikan oleh Polgar, Bloom, dan orang tua Habibie.
Mari kita sama-sama belajar menjadi orang tua terbaik bagi anak-anak kita.
Referensi
- Buku – PEAK (Anders Ericsson & Robert Pool)
- Laszlo Polgar – The Hungarian Psychologist and Educator Who Raised Three Chess Prodigies; diakses di https://www.ststworld.com/hungarian-psychologist-laszlo-polgar/
- Chess Grandmastery: Nature, Gender, and the Genius of Judit Polgár; diakses di https://daily.jstor.org/chess-grandmastery-nature-gender-genius-judit-polgar/
- Putting a chess piece in the hand of every child in America; diakses di https://gamesmaven.io/chessdailynews/ask/putting-a-chess-piece-in-the-hand-of-every-child-in-america-hw-FW7ArSUucGs6rRxtNDg
- Developing Talent in Young People; diakses di http://www.kragen.net/uploads/4/5/4/3/4543087/developing_talent_in_young_people_-_book_review.pdf
