
Akhirnya selesai sudah pemuda itu membuat maha karyanya, ia memberi nama patung itu dengan sebutan Galateia. Patung itu dibuat presisi, seukuran manusia. Ia dipahat dengan begitu detail. Sang pemahat ingin membuktikan kepada dunia bahwa patung yang dibuatnya jauh lebih cantik dan rupawan dari seluruh wanita di Athena. Dan hasilnya memang benar adanya. Patung itu begitu cantik. Bahkan sang pemahat begitu sangat mengaguminya. Ia berjanji bahwa ia tak akan menikahi siapapun, karena cintanya hanya untuk Galateia. Dewa melihat ketulusan pemuda itu. Kemudian mengubah Galateia menjadi manusia. Menjadi wanita tercantik yang pernah ada di Athena. Mereka berdua hidup bahagia. Nama pemuda pembuat patung itu adalah Pygmalion.
Ribuan tahun setelah mitologi Pygmalion, seorang professor dalam bidang psikologi pendidikan di universitas Harvard datang ke sebuah sekolah. Ia menemui temannya yang seorang kepala sekolah bernama Lenore Jacobson. Ia mengajak temannya yang merupakan ketua asosiasi kepala sekolah di California itu untuk melakukan penelitian.
Mereka mengawali penelitian dengan menguji kecerdasan beberapa siswa di sekolah dasar. Setelah itu, anak-anak yang diberikan tes dan diketahui hasilnya dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah mereka yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata dan yang kedua mereka yang di atas rata-rata. Kemudian, mereka berdua memberitahukan hasil tes ini kepada guru-guru di sekolah di mana anak-anak itu mengenyam pendidikan.
Setahun kemudian, sang professor dan temannya kembali ke sekolah. Menemui para guru dan kepala sekolah. Ia menanyakan kabar anak-anak yang mereka berikan tes kecerdasan setahun yang lalu. Hasilnya anak-anak memiliki kecerdasan di bawah rata-rata memiliki hasil belajar yang kurang optimal, berbeda dengan mereka yang di atas rata-rata. Tak puas dengan itu, mereka berdua melakukan tes kecerdasan yang sama kepada anak-anak itu. Hasilnya tak jauh beda.
Yang mengejutkan dari semua itu adalah, sang professor kemudian membuka sebuah rahasia. Ketika satu tahun yang lalu saat ia mengatakan pada para guru bahwa sebagian anak-anak itu memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, sementara sebagian yang lainnya memiliki kecerdasan di atas rata-rata adalah sebuah kebohongan. Fakta yang sebenarnya adalah anak-anak itu memiliki kecerdasan yang acak. Ia tak benar-benar mengelompokkan anak-anak itu sesuai tingkat kecerdasannya. Tapi di akhir, ia menemukan keunikan bahwa ketika guru memiliki pemikiran positif tentang anak didiknya maka kemungkinan besar hasilnya juga positif. Ia memberi nama teori ini dengan sebutan Pygmalion Effect. Tapi para rekannya di bidang psikologi lebih senang memperkenalkan teori ini sebagai Rosenthal effect. Diambil dari nama sang professor, Robert Rosenthal.
Dari sini saya belajar bahwa sebagai seorang pendidik, saya tidak boleh melabeli siswa dengan label-label negative seperti bodoh, tidak cerdas, IQ jongkok, dan sebagainya. Karena pikiran kita terhadap siswa secara tidak langsung akan memberikan dampak. Bisa jadi karena kita sudah melabeli mereka dengan istilah tersebut di atas, kita berputus asa, motivasi kita turun ketika memberikan layanan pendidikan kepada mereka, dan ini berdampak kepada hasil belajar mereka.
Tidak ada murid yang bodoh, yang ada adalah murid yang belum bertemu dengan pendidik yang pas. Yang mau mengerti mereka. Yang sadar bahwa kecepatan belajar masing-masing anak berbeda. Yang mengerti bahwa sebagian dari mereka membutuhkan waktu dan perhatian lebih dari pendidiknya.
Rasuluullah adalah sebaik-baik teladan, mari kita belajar dari Beliau Saw. ketika mencari suaka ke Thoif akibat penolakan yang terjadi di Makkah. Kita sama-sama tahu bahwa di Thaif beliau ditolak mentah-mentah. Diusir bahkan dilempari kotoran dan batu sehingga dahi Beliau berdarah. Tapi sungguh menarik munajat yang beliau sampaikan kepada sang Khalik kala itu
“”Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Engkaulah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan diriku. Kepada orang yang jauh yang menyerangku ataukah kepada Zat yang dekat yang mengatur urusanku. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Aku berlindung terhadap cahaya wajah-Mu Yang menerangi kegelapan dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat, dan kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah Yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya dan upaya selain dan Engkau.”
Lihatlah kalimat pertama oyang Beliau Saw. panjatkan. Adakah menyalahkan penduduk Thaif. Tidak. Sama sekali tidak. Beliau mengembalikan apa yang terjadi di Thaif kepada diri Beliau sendiri. Beliau mengevaluasi bahwa Beliau memiliki kekuatan yang lemah dan usaha Beliau yang sedikit. Beginilah seharusnya adab para pendidik. Alih-alih menyalahakan para siswa, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri “Sudah maksimalkah usaha dan layanan yang kita berikan untuk anak-anak kita?”
Ping balik: UMPAN BALIK (FEEDBACK) UNTUK MEMINIMALISASI MUSIBAH BELAJAR | Coretan Thalut
Ping balik: Mualim (Guru sebagai Pemimpin): Membumikan Konsep Guru dalam Islam dengan Pendekatan “Petani” | Coretan Thalut