Mendidik Pembelajar Sepanjang Hayat lewat Self Directed Mastery Learning

Saya masih belum menemukan teknologi membangun rumah yang memungkinkan proses pengerjaannya di mulai dari atap terlebih dahulu. Sejauh yang saya ketahui, yang pertama kali dibangun adalah fondasi. Setelah fondasi selesai dikerjakan barulah memulai membangun tembok dan dilanjutkan dengan membangun atap.

Akan menjadi masalah jika karena keterbatasan biaya dan hendak ingin segera memiliki rumah, kita hanya membangun fondasi rumah 75 persen jadi saja, kemudian dilanjutkan dengan membangun tembok juga sama 75 persen pula, dan begitu juga dengan atap. Selain akan menghasilkan bangunan yang tidak indah, yang lebih esensial dari itu, bangunan ini akan menjadi bangunan yang rapuh dan mudah runtuh sehingga bisa jadi mengorbankan orang-orang yang ada di dalamnya.

Begitupula dengan sistem belajar. Seharusnya sebelum mempelajari topik yang lebih sulit atau satu level di atasnya, anak-anak harus sudah menuntaskan topik atau pelajaran yang dibawahnya. Menuntaskan berarti mendapatkan nilai sempurna atau mendekati. Setidaknya 90 persen tuntas ke atas kata Bloom. Konsep ini disebut dengan Mastery Learning.

Andersen membagi dimensi pengetahuan ke dalam 4 tingkatan yaitu ada faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Faktual berarti anak-anak belajar tentang apa-apa yang bisa mereka lihat, dengar, dan rasakan lewat panca indra yang mereka punya. Misalnya ketika belajar tentang sepeda, maka fakta-fakta yang mereka lihat dari sepeda itu adalah adanya, roda, bodi sepeda, pedal, sadel, rem, dan sebagainya. Dimensi pengetahuan ini adalah dimensi yang paling bawah. Yang kemudian dilanjutkan dengan dimensi konseptual. Pada dimensi ini, anak-anak belajar tentang prinsip, kategorisasi, klasifikasi, hingga generalisasi. Ketika ditunjukkan berbagai macam sepeda maka anak-anak bisa membuat generalisasi bahwa bentuk roda sepeda itu bulat. Ini merupakan konsep roda, yaitu bentuknya bulat. Naik ke dimensi berikutnya yaitu prosedural. Di sini anak-anak belajar tentang suatu prosedur dan sistematika bagaimana sesuatu bekerja dan terjadi. Dalam kasus roda, anak-anak belajar bagaimana roda yang bulat tadi bisa berputar dan bergerak. Dari sini akan ada kaitan dengan faktor-faktor lainnya seperti pedal, gigi, rantai, dan sebagainya. Dan yang paling atas adalah dimensi metakognitif. Di sini, anak-anak sudah mengetahui cara yang paling efektif untuk belajar. Diantara prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengayuh sepeda, mana yang bisa menghasilkan kecepatan, bagian sepeda mana yang bisa dimodifikasi, dan lain sebaginya.

Sementara itu, dalam tahapan berpikir, Bloom membaginya menjadi 6 tingkatan. Yaitu mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mempertimbangkan, dan mencipta. Masing-masing tingkatan tersebut memiliki kata kerja operasional yang bisa diterapkan dalam pembelajaran. Level memahami sebagai contoh, beberapa kata kerja operasional yang disandingkan dengan level ini adalah menyebutkan, mendaftar, meniru, memberikan kode, menunjukkan, membaca, dan sebagainya. Level ini merupakan level paling bawah dalam tingkatan kognitif. Meskipun di level bawah bukan berarti jika kita terjemahkan dalam bentuk soal kemudian soal menjadi mudah. Karena jika saya meminta siswa menyebutkan ibu kota Azerbaijan, pasti siswa satu kelas akan kesulitan untuk menjawab. Jadi, tingkatan berpikir tidak ada kaitan dengan level kesulitan soal. Tingkatan tertinggi dalam berpikir yang disampaikan oleh Bloom adalah mencipta, kata kerja yang disandingkan dalam tingkatan kognitif ini adalah membangun, merencanakan, mengabstraksi, membuat pola, membuat model, dan kata kerja operasional lainnya di mana anak-anak menghasilkan sesuatu pemikiran baru. Dalam contoh kasus belajar tentang sepeda, setelah belajar tentang memahami konsep, menganilisis kondisi jalan di Indonesia, anak-anak bisa membuat model sepeda yang cocok untuk jalan di Indonesia yang berlubang-lubang.

Tahapan Anak Tangga Untuk Mencapai Level Mastery

Dimensi pengetahuan dan kognitif di atas menurut saya menjadi rahasia mastery learning yang disampaikan oleh Bloom. Dalam pembelajaran, anak-anak harus melewati tangga yang paling rendah hingga bisa sampai ke tangga yang paling tinggi. Ini juga mengikuti prinsip-prinsip game (permainan) yang dimainkan oleh anak-anak yaitu level sebelumnya biasanya lebih mudah daripada level setelahnya. Dan di Indonesia, tangga dan level tertinggi tertinggi itu sudah dibuat oleh pemerintah dalam bentuk Permendikbud No. 37 tahun 2018 yang diterjemahkan dalam bentuk Kompetensi Dasar.

Pemerintah tidak asal saja memberi nama Kompetensi Dasar dalam permendikbud tersebut. Dasar juga berarti bagian paling bawah. Artinya peraturan ini dibuat bukan untuk menjadikan anak-anak super jenius, juara olimpiade dan sebagainya. Hal ini saya yakini juga dengan mempertimbangkan kondisi sosio-geografis Indonesia yang heterogen. Dengan kata lin peraturan ini dibuat untuk anak-anak “normal” memungkinkan untuk mencapai level kompetensi dasar tersebut.

Jika kita saat ini mendapati anak-anak pada level kelas tertentu tidak paham dengan suatu konsep materi pembelajaran, saya meyakini itu bukan disebabkan ketidakmampuannya atau keterbatasan otaknya. Tapi besar kemungkinan karena dia tidak menuntaskan materi-materi yang seharusnya ia kuasai di level sebelumnya.

Misalnya, dalam Matematika untuk bisa menyelesaikan persamaan Pitagoras anak-anak harus paham terlebih dahulu tentang konsep akar persamaan kuadrat. Atau dalam pembelajaran IPA, anak-anak harus tuntas terlebih dahulu topik atau materi mengenai pengelompokan tumbuhan sebelum belajar tentang materi perkembangbiakan tumbuhan sebagai topik yang berada di atasnya.

Dengan mengaplikasikan model Mastery Learning ini, diharapkan para siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang utuh sehingga kesulitan-kesulitan untuk menguasai topik atau materi di atasnya lebih mudah diselesaikan.

Kita bisa membayangkan bagaimana jika seorang anak, belum paham sepenuhnya tentang konsep akar kuadrat kemudian belajar tentang persamaan Pitagoras, pastilah ia juga akan menemukan masalah yang akan sulit ia pecahkan. Dan sayangnya, banyak dari kita yang akan menjustifikasi dia sebagai anak yang tidak berbakat dalam matematika atau dalam bahasa yang agak kasar kita memberikan label “bodoh”.

Justru faktor yang menjadi masalah dalam mengaplikasikan Mastery Learning di sekolah-sekolah konvensional adalah keterbatasan waktu dan tuntutan mata pelajaran yang terlalu banyak. Guru-guru dituntut untuk segera menyelesaian tuntutan standar kompetensi yang harus dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu semester. Hal ini kadang harus ditempuh dengan cara mengabaikan capaian kompetensi yang didapat oleh siswa. Padahal, dalam satu kelas, ada siswa yang membutuhkan waktu hanya sedikit untuk menguasai suatu kompetensi dan ada siswa yang butuh waktu lebih. Dengan kata lain kecepatan belajar masing-masing siswa berbeda. Untuk mereka yang sudah mampu belajar dengan cepat, hal ini tidak menjadi masalah. Tapi untuk mereka yang kecepatan belajarnya masih lambat, maka mereka akan semakin tertinggal dan tertinggal.

Lebih anehnya lagi, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, tidak sedikit dari kita yang “terpaksa” mengkatrol nilai siswa agar mencapai KKM tanpa melalui proses remidial yang bermakna. Maksud saya, remidial teaching antara satu siswa dengan siswa yang lain itu harusnya berbeda karena bisa jadi siswa A sudah tuntas untuk topik X dan masih kurang untuk topik Z, sedangkan siswa B sudah tuntas untuk topik Z dan kurang untuk topik Y. Tapi realitanya, remidial teaching dibuat sama untuk semua siswa. Atau biasanya, kualitas soal remidial dibuat lebih mudah.

Namun di era perkembangan internet yang sangat eksponensial seperti saat ini, Masteri Learning sangat mungkin diaplikasikan. Guru atau pemerintah dapat menyusun sebuah Learning Content Management System di mana setiap kegiatan anak-anak bisa dilacak secara real time. Jumlah halaman yang mereka baca, soal-soal yang mereka kerjakan, video yang mereka lihat, semuanya bisa dipantau oleh guru. Anak-anak juga bisa mengambil ujian secara mandiri apabila mereka merasa sudah menguasai topik tertentu, dan apabila mereka mendapatkan hasil yang belum memenuhi kategori Mastery, maka ia bisa belajar lagi tentang topik-topik yang mereka tidak pahami baik secara mandiri pula maupun dengan bantuan guru (Self Directed). Setelah tuntas, barulah mereka bisa membuka topik berikutnya. Dengan bantuan teknologi, guru secara realtime bisa tahu siswa mana yang memang membutuhkan pendampingan intensif, atau siswa-siswa yang memiliki kecepatan belajar yang lambat. Tentu saja dengan teknologi ini pula, waktu dan bangunan sekolah tidak menjadi pembatas kapan dan di mana anak bisa belajar.

Survey yang diberikan kepada para ahli-ahli di bidang pendidikan dalam acara World Innovation Summit of Education di Doha Qatar pada tahun 2014 menghasilkan sebuah temuan bahwa paradigma pendidikan di masa yang akan datang haruslah berubah. Dari sebelumnya terbatas oleh ruangan sekolah menjadi bersifat daring. Tugas guru tidak lagi berceramah di hadapan para siswa, tapi lebih kepada menjadi pendamping dan mentor dalam belajar. Guru bergerak ketika menemukan masalah belajar yang dialami oleh siswa. Menjelaskan cara belajar yang benar sehingga siswa mampu menyelesaikan secara mandiri permasalahan yang dihadapinya.

Inilah sebenarnya tujuan belajar sesungguhnya. Apabila siswa sudah mampu belajar secara mandiri dengan cara yang benar (Mastery Learning) maka mereka sudah siap menjadi pembelajar sepanjang hayat. Karena dorongan untuk belajar sudah tidak lagi berasal dari luar, melainkan dari dalam pribadinya. Dengan demikian, seperti apapun perubahan yang terjadi di dunia nanti, mereka bisa dengan mudah beradaptasi karena mereka sudah menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Tinggalkan komentar