PRESTASI dan ZONASI

Mana yang lebih berprestasi? anak dengan nilai Matematika 9 dengan anak dengan nilai Seni Kebudayaan 9?

Selama ini, anak berprestasi itu identik dengan anak yang memiliki nilai matematika dan sains 9, dan anak-anak dengan nilai itulah yang diterima di sekolah “favorit”. Anak-anak yang nilai keseniannya 9 tapi tidak pandai dalam matematika, mereka harus rela bersekolah di sekolah “pinggiran”.

Adilkah?

Sudah saya jelaskan, satu-satunya tantangan sistem zonasi adalah sebaran sekolah, maka pemerintah daerah harus menjawab tantangan ini dengan perencanaan tata ruang yang baik. Sisanya, sistem zonasi inilah yang mendekati keadilan sosial.

Banyak anak yang tidak dapat sekolah?

Baiklah saya bantu jawab, dengan hitungan sederhana. Jika tiap tahun ada 100 siswa yang harus bersekolah, kemudian daya tampung sekolah kita hanya 50, maka akan ada 50 siswa yang tidak akan mendapatkan sekolah. Mau sistem zonasi atau tidak, jumlah siswa yang tidak dapat sekolah akan sama saja, selama jumlah daya tampung sekolah masih tetap 50. Bedanya, mereka yang kaya, jika menggunakan sistem ppdb hasil UN mereka punya banyak modal untuk pergi ke bimbel-bimbel yang harganya naik untuk intensif UN dan SBMPTN itu. Maka, saya hanya senyum nyengir saja jika ada yang berpendapat bahwa biarkan anak-anak bersaing secara natural.

Toh juga masih dibuka jalur-jalur lainnya 15 persen. Oh ya, sistem ini juga memberikan pembelajaran tidak hanya peserta didik tapi juga guru dan orang tua bahwa belajar itu bukan dalam rangka agar bisa masuk ke sekolah favorit, tetapi dalam rangka sebagai bekal mereka untuk hidup dan kehidupan.

Satu pemikiran pada “PRESTASI dan ZONASI

  1. Ping balik: Dilema Rapor | Coretan Thalut

Tinggalkan komentar