
Karena rumahnya yang sangat jauh, Fauzan bukan hanya anak yang tidak pernah pulang ke rumah saat ijin pulang diberikan oleh sekolah sebulan sekali, tetapi juga anak yang tidak pernah dikunjungi oleh orang tuanya. Tapi tekadnya sudah bulat, ia sudah melakukan perjalanan jauh untuk belajar, di Al Hikmah. Sekolah yang dianggap orang tuanya bisa memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya.
Setelah shalat maghrib saya mengajak berbicara Fauzan. Menanyakan tentang masalah yang dia hadapi selama di sekolah. Pertama adalah pembelajaran di Al Hikmah menggunanakan Learning Content Management System yang artinya full menggunakan teknologi informasi, sementara ia sendiri tidak familiar dengan teknologi informasi, kenyataannya memang demikian. Pembangunan di Indonesia masih Jawasentris, Fauzan adalah saksi hidup bahwa Menteri Pendidikan yang baru masih harus bekerja keras karena banyaknya masalah di dunia pendidikan kita, terutama masalah pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan. Masalah kedua adalah bahasa Inggris. Yang ini sudah saya duga. Pertama kali bertemu dengannya saya sapa dengan “How are you?”. Ia nampak kebingungan. Saya berjanji padanya bahwa saya akan mengajarinya. Mulai dari yang paling sederhana. Setiap hari, yang terpenting istikomah. Beberapa waktu yang lalu saya menyapanya. Ia menjawab “I am not feel good, ustad!”. Secara struktur bahasa mungkin masih salah, tapi setidaknya ia sudah berani menjawab dengan percaya diri.
Melihat Fauzan saya jadi berpikir, tentang teman-teman sejawat saya di daerah terluar dan terdepan di negeri ini. Beban mereka pastilah sangat berat. Tak hanya fasilitas yang kemungkinan besar sangat terbatas, tapi juga tentunya gaji yang sangat terbatas pula. Kemudian saya membandingkan dengan kondisi saya di sini. Betapa previlise itu ada pada saya. Semua fasilitas serba ada di tempat kami. Internet 24 jam terkoneksi ke seluruhkomputer dan gadget kami, perpustakaan penuh dengan buku-buku, komputer canggih, kelas yang nyaman, dan tentunya gaji yang di atas rata-rata.
Seharusnya kami disini bekerja lebih keras daripada teman-teman sejawat lainnya. Seharusnya kami di sini mampu memberikan yang lebih baik lagi. Betapa kami harusnya malu pada sosok Fauzan yang rela menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk bersekolah di tempat kami. Sementara kami lebih sibuk menghitung, berapa yang kami terima di akhir bulan yang sebenarnya bagi kami yang menyatkan beriman semua sudah ditentukan.
Pagi ini salah satu siswa kami berdiri di atas podium. Memang sudah menjadi tradisi di sekolah kami bahwa pembina upacara adalah siswa. Dalam pidatonya, pembina upacara meminta maaf kepada kami para gurunya karena masih sering mengecewakan kami. Tapi pagi ini, di hari guru ini, seharusnya kami yang berdiri di atas podium itu, meminta maaf kepada para siswa karena sejauh ini kami belum bisa memberikan yang terbaik. Karena sejatinya, siswa adalah cerminan dari gurunya.