
Setiap kali berpapasan dengan siswa, sebisa mungkin saya berusaha untuk menyapa mereka dan setidaknya bertanya apa yang ingin mereka katakan mengenai pembelajaran yang terima. Tanpa terkecuali, hari itu saya bertemu Nanda (bukan nama asli). Jumat adalah hari terakhir Penilaian Akhir Semester. Mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika. Saya menyapa dia dengan menggunakan bahasa Inggris. Saya memang mencoba membiasakan anak-anak untuk menggunakan bahasa Inggris. Dari level yang paling sederhana.
Kala itu ia nampak lesu. Dari raut wajahnya saya sudah bisa menduga bahwa dia tidak bisa mengerjakan soal PAS Matematika. Benar saja, ia mengkonfirmasi bahwa soalnya sulit, banyak soal yang tidak ia kerjakan. Ia lebih memilih tidur setelah mengerjakan soal yang ia mampu jawab alih-alih berusaha mencari solusinya.
Nanda memang spesial. Dari semua mata pelajaran yang diujikan, semua nilainya tidak mencapai KKM. Tanpa terkecuali bahasa Inggris. Sebuah pencapaian remidi yang sempurna. Saya selalu memegang prinsip bahwa jika murid saya mengalami masalah dan tidak bisa menyelesaikan maka yang pertama harus saya evaluasi adalah saya sendiri sebagai guru. Pastilah ada satu dua hal yang harus saya perbaiki.
Kasus seperti Nanda secara umum banyak kita jumpai di sekolah-sekolah di Indonesia. Ini semacam lack of motivation. Kehilangan Motivasi. Reward dan punishment tidak akan bisa berimplikasi secara signifikan terhadap anak-anak yang kehilangan motivasi ini. Sekolah perlu mengkondisikan agar dalam diri anak-anak tumbuh motivasi intrinsik.

Dalam bukunya “Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness” Ryan dan Deci mengatakan bahwa untuk mendapatkan puncak performa dan pengalaman terbaik dalam melakukan sesuatu, sesorang harus memiliki motivasi yang berkualitas tinggi. Ini adalah kondisi di mana seseorang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati. Dan motivasi ini datang dari diri sendiri bukan dari luar. Atau lebih dikenal sebagai motivasi intrinsik. Dalam konteks belajar, anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik akan sadar bahwa belajar itu penting dan mereka akan senang belajar dan tidak akan mudah menyerah seperti kasus Nanda dan mungkin juga kebanyakan siswa lainnya.
Untuk memiliki motivasi intrinsik, setidaknya ada tiga kebutuhan dasar yang harus dimiliki oleh manusia, dalam konteks sekolah berarti oleh siswa.
Yang pertama adalah otonomi. Ini adalah semacam kebutuhan manusia akan pengalaman bahwa ia memiliki kuasa tentang apa yang mereka perbuat, bukan karena TERPAKSA. Masalahnya masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pilihan tentang apa dan bagaimana mereka belajar. Guru datang, siswa mendengarkan, dan kemudian mengerjakan soal. Siswa tidak lagi memiliki otonomi dalam belajar.
Kedua adalah kompetensi. Semakin tinggi kompetensi anak dalam suatu bidang maka semakin tinggi pula semangatnya untuk menguasai atau menjadi ahli dalam bidang itu. Anak-anak yang jago dalam olimpiade matematika itu pastinya akan melihat soal-soal matematika seperti kulit ayam KFC yang siap mereka lahap. Crunchy. Masalahnya, di kelas konvensional anak-anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sementara itu sistem pendidikan memaksa kita untuk pindah dari satu topik ke topik lainnya berdasarkan waktu, bukan ketuntasan pembelajaran anak. Maka anak-anak yang tertinggal semakin merasa bahwa mereka tidak kompeten dalam bidang itu dan alhasil motivasi mereka pun semakin menurun.
Ketiga adalah keterkaitan. Hal ini berkaitan dengan afeksi atau kasih sayang. Dan juga terkait dengan hubungan individu dengan individu lainnya. Meminjam lirik lagu Ari Lasso, anak-anak harus tersentuh tepat di hatinya. Empati menjadi kata kunci dalam faktor keterkaitan. Support dari teman, guru, dan seluruh civitas akademika sekolah harus diberikan. Tantangan terberat adalah buat anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan. Biasanya rasa empati mereka kurang karena kebiasaan hidup yang individualistis. Sehingga jika ada teman yang memiliki masalah dalam belajar mereka cenderung acuh. Ditambah lagi adanya peluang fenomena sosiopsikologis seperti difussion of responsibility di mana seorang siswa menganggap bahwa siswa lain bertanggung jawab untuk mengambil tindakan atas suatu masalah yang dihadapi oleh temannya.
Kembali ke Nanda dan prinsip saya sebagai guru, maka bisa jadi sikap amotivasi Nanda adalah sebuah akibat. Benar sebuah akibat dari seorang guru seperti saya ini yang belum berani mengambil tindakan untuk mengaplikasikan ketiga prinsip yang mampu menumbuhkan motivasi intrinsik tersebut di dalam kelas.
Hal lainnya yang masih menjadi tugas rumah saya adalah, sampai saat ini saya masih belum mampu menjelaskan kepada siswa tentang sebuah tanya “sebenarnya untuk apa sih PAS itu? apakah sebagai tempat di mana siswa berkompetisi untuk berebut nilai terbaik? sebagai bentuk formalitas administratif yang harus dilakukan sekolah? ataukah memang sebagai alat evaluasi pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah?” Bukankah adanya PAS juga berpeluang menjerumuskan anak-anak seperti Nanda ke jurang amotivasi yang lebih dalam lagi?
Referensi:
Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness by Richard M. Ryan and Edward L. Deci
Nb.
Untuk para guru atau sekolah yang ingin mengetahui motivasi intrinsik siswa bisa download beberapa alat ukurnya di website ini https://selfdeterminationtheory.org