Di mata orang-orang Jawa Timur, terutama Surabaya, kata ini bisa memiliki makna yang beragam. Ia bisa digunakan untuk sapaan seorang sahabat kepada temannya, ia juga bisa sebaliknya menjadi sebuah ekspresi kemarahan.
Namun, ketika mereka ditanya tentang makna dibalik kata tersebut, masih banyak yang belum tahu, atau mungkin lebih banyak orang yang belum mencari tahu. Sialnya, kata tersebut dinisbatkan kepada seorang presiden.

Beberapa waktu sebelumnya, beredar sebuah gambar tank milik pasukan yang entah dari mana bertuliskan Jan Cox. Banyak teman yang mengirimkan ini lewat pesan Whatsapp. Saya pun tergelitik untuk mencari tahu asal-muasal kata tersebut.
Wikipedia sendiri menyebutkan ada 5 versi. Masing-masing dengan “hujjah” yang berbeda. Bahkan ada yang sampai ke tingkat riset atau penelitian.
Saya sendiri tidak puas dengan hasil wikipedia tersebut, tapi dari sana saya mendapat pencerahan jika kata ini sudah digunakan sejak dari dahulu kala, maka mungkin kata ini masuk ke dalam kamus bahasa Melayu – Belanda. Negara kolonialis atau imperialis biasanya memang mempelajari bahasa negara-negara jajahan mereka. Hal ini tentunya untuk mempermudah komunikasi dengan pribumi yang awalnya digunakan untuk berdagang. Hingga saat ini, jika kita ingin menempuh studi lanjut master dalam bahasa Jawa, kita bisa mengambil kuliah di Universitas Leiden, Belanda.
Ialah Hillebrandus Cornelius Klinkert yang membuat “Nieuw Maleisch-Nederlandsch woordenboek, met Arabisch karakter, naar de beste en laatste bronnen bewerkt” yang artinya menurut Google Translate adalah “Kamus Melayu-Belanda Baru, dengan karakter Arab, diedit ke sumber-sumber terbaik dan terakhir”. Dari kamus tersebut, saya menemukan ada kata yang mirip, yaitu “Antjoek”. Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa maknanya adalah pasangan yang tidur bersamaan. Selain itu, penulis kamus juga mengarahkan kata tersebut memiliki padanan makna dengan kata “Ampoet” yang bermakna kurang lebih bersenggama. Kedua kata itu memang sepertinya bersaudara, kemungkinan seiring berjalannya waktu kedua kata tersebut mengalami pergeseran pengucapan menjadi “Jancok” dan “Jampot”. Jika benar artinya demikian, maka kata tersebut bisa jadi disepadankan dengan makian terkasar dalam kosakata Bahasa Inggris yaitu “Mother Fucker”.
https://archive.org/deta…/afu7941.0001.001.umich.edu/page/72
Harapan saya setelah memahami betul makna dibalik kata-kata ini, kita jadi tahu masih pantaskah kita atas nama budaya menggunakannya dan mengucapkannya. Bukankah ini bertentangan dengan adab keislaman dan ketimuran kita. Nanti kita bisa celaka, seperti yang dijelaskan dalam surat Al Humazah.
Mengikuti langkah NU yang mengeluarkan rekomendasi untuk menggunakan kata non-muslim daripada kata kafir, melalui tulisan ini saya juga mengajak untuk stop menggunakan kata-kata “Jancok” dan “Jampot” untuk memanggil baik sesama muslim maupun non-muslim. Harapan saya sih, cebong dan kampret yang bermertamorfosa menjadi kadrun juga mengikuti. Masak perlu Bahtsul Masail agar istilah cebong dan kampret tidak digunakan lagi?
Salam …


