Cerita 8. Kepanasan

Sesampainya di hotel, punggungku terasa perih. Penyakit lama bersemi kembali. Biang keringat. Padahal cuaca di Tokyo tidak begitu panas. Hujan gerimis hampir menemani sepanjang perjalanan kami seharian ini.

Aku meminta Nurul melihat kondisi punggungku. Ia menggambarkan betapa merahnya punggungku. Kalau di rumah, ia biasanya akan mengoleskan bedak kulit ke bagian tubuh yang terserang biang keringat. Bedak Herocyn. Sepertinya tak akan ku temukan di sini.

Nurul pun menyarankan agar aku mencoba melakukan terapi air hangat. Beruntungnya meskipun kelas hostel, Train Hostel Hokutosei tidak hanya dilengkapi dengan kamar mandi yang bersih, tetapi juga lengkap dengan fasilitas air hangatnya. Ruangan kamar mandi terdiri dari 2 bagian, bagian untuk laki-laki dan bagian untuk perempuan. Saya hanya tahu bagian dalam kamar mandi laki-laki. Terdiri dari kurang lebih 5 shower room dan 2 buah toilet masing-masing dilengkapi dengan pintu yang bisa dikunci.

Di dalam kamar mandi aku menghadapkan punggunggku tepat di bawah kepala shower. Aku geser gagang kran 90 derajat ke arah simbol berwarna merah. Ada dua simbol aku lihat kala itu, biru dan merah. Biru kemungkinan menunjukkan dingin. Benar saja sepersekian detik air keluar dari kepala shower tepat dipunggungguku. Airnya terasa hangat. Dan tidak lama setelah itu, perubahan derajat panasnya begitu cepat, alhasil mulutku reflek saja berteriak “Wadaaaauw”. Airnya panas sekali. Suaraku membuat beberapa penghuni lainnya yang menggunakan kamar mandi penasaran. Dari luar aku mendengar suara “Are you okay?”. “I am fine” aku menjawabnya.

Setelah kembali ke bangsal tempat tidurkui, Nurul tidak ada ditempat. Kemungkinan ia juga sedang mandi. Sambil menunggu aku mencoba merecharge beberapa peralatan elektronik seperti HP dan Kamera Action. Tak lama berselang Nurul kembali. Dengan membawa teh hangat, sebungkus onigiri, serta 2 butir telur rebus yang ia beli dari 7/11 yang lokasinya berada di sebelah hostel. Sungguh aku sangat bersyukur memiliki istri yang baik hati.

Dari jendela hostel, aku melihat langit Tokyo malam ini sudah tak lagi diselimuti mendung. Hujanpun sudah berhenti. Kami menuju ke tempat tidur kami masing-masing. Karena memang matras yang kami tiduri hanya cukup untuk satu orang saja. Tirai tempat tidur kami tutup. Tapi tiba-tiba Nurul memanggilku dengan suara lirih. Aku buka tiraiku. Tempat tidurnya tepat berada di seberang tem[pat tidurku. Bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara. Tapi aku bisa membacanya. “Terimakasih”.

Tinggalkan komentar