
Suatu hari dosen saya mengumumkan tentang tugas akhir mata kuliah Educational Leadership. Beliau menampilkan beberapa topik yang bisa dijadikan bahan diskusi dalam essai yang kami buat. Selain itu, beliau juga menjelasakan mengenai waktu pengerjaan hingga batas akhir pengumpulan. Rentang waktunya untuk melakukan desk research ini adalah kurang lebih selama 2 bulan.
Di minggu pertama mulailah saya menyusun agenda agar saya bisa segera menyelesaikan tugas ini dan menggunakan sisa waktu untuk jalan-jalan dan liburan. Dengan begitu semangatnya saya datang ke learning commons (semacam ruang belajar yang bisa diakses 24 jam dalam seminggu) sembari dihinggapi perasaan yang dipenuhi keyakinan bahwa saya bisa menyelesaikan tugas ini kurang dari 1 bulan. Setelah mendapatkan kursi yang cukup nyaman di LC, saya mulai membuka laptop dan mencoba mencari beberapa referensi untuk mengembangkan tulisan saya. Alih-alih pergi ke Google Scholars atau perpustakaan digital kampus, kata kunci yang saya ketikan di browser saya kala itu adalah highlight UCL. Tentu saja mesin pencari langsung mengarahkan ke channel YouTube Football Momentum Asia. Di sana saya melihat beberapa cuplikan pertandingan, dan saya sangat menikmatinya. Tak terasa, saya telah melewati kurang lebih satu jam waktu saya di LC dengan melihat cuplikan gol.
Pikiran saya mengarahkan kembali ke beberapa jurnal yang harus saya baca. Baru sekitar 10 menit, tiba-tiba pikiran terasa jenuh, saya merasa saya membutuhkan kopi untuk memulihkan semangat saya. Saya pun pergi ke mesin vending machine pembuat kopi. Setelah itu saya kembali ke meja saya. Kali ini tiba-tiba saja saya ingin melanjutkan menonton drama korea rekomendasi teman saya. Setelah satu episode saya selesaikan, kemudian saya begitu penasaran dengan episode selanjutnya. Setealh drama korea hal sik lainnya yan bisa dilakukan di LC adalah mengikuti lelang di ebay atau mengecek beberapa harga produk di Amazon. Hampir setiap hari siklus saya selalu saja sama dan berulang, hingga H-3 sebelum batas pengumpulan barulah saya benar-benar fokus menyelesaikan tulisan saya yang tentunya sudah terdistorsi oleh drama korea, cuplikan pertandingan sepak bola, kegagalan dalam lelang, serta barang-barang dari Amazon. Pas semalam sebelum hari H batas pengumpulan, saya benar-benar baru bisa menyelesaikan mengklik tombol submit di sistem akademik kampus.
Apakah hanya saya saja yang mengalami masalah semacam ini. Jawabannya tentu saja tidak. Hal ini juga terjadi pada sebagian besar mahasiswa lainnya. Mungkin kalian yang membaca tulisan ini juga sering mengalami masalah yang sama. Tidak hanya dalam menyelesaikan tugas di kampus, tetapi bisa juga di kantor maupun pekerjaan-pekerjaan di rumah. Masalah ini sering disebut sebagai procrastination. Penderitanya disebut procrastinator.
Untuk menjelaskan kenapa ini bisa terjadi, di otak procrastinator ada bagian yang disebut sebagai Rational Decision Maker ini adalah pikiran pertama saya tadi yang ingin segera menyelesaikan tugas kampus. Selain itu, di otak kita juga ada Instant Gratification Monkey, inilah ilusi rasa senang yang sering mengganggu RDM. Monyet ini selalu saja membujuk RDM, “kenapa harus buru-buru, masih ada waktu kok! Ayo bersenang-senang dulu.” Sayangnya RDM tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjinakkan monyet ini. Bahkan ia sendiri tidak sadar telah diajak bermain oleh sang monyet ke dalam taman bermain yang disebut sebagai The Dark Playground. The Dark Playground memberikan kesenangan semu, karena di akhir permainan yang kita rasakan hanyalah perasaan bersalah, menyesal, cemas, takut, hingga membenci diri sendiri. Satu-satunya yang bisa mengusir monyet dari dalam pikiran itu adalah monster yang disebut sebagai Panic Monster. Panic Monster ini lebih sering tidur. Satu-satunya yang bisa membangkitkannya adalah tekanan. Tekanan ini bisa berarti deadline atau bisa juga bos yang galak. Dalam kasus saya tadi, batas akhir pengumpulan tugas yang sudah mepet berhasil membangkitkan Panic Monster dan berhasil mengusir si monyet pengganggu.
Studi menunjukkan ada harga yang harus dibayar oleh para procrastinator. Tice dan Baumeister (1997) menyebutkan bahwa procrastination bisa menyebabkan depresi, rasa percaya diri yang tidak rasional, penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah, rasa cemas dan gelisah, serta stress. Bahasa yang sering digunakan oleh bos saya ada benarnya, “semakin menunda pekerjaan, semakin menderita.”
Saya tidak ahli dalam bidang psikologi, tapi menurut saya cara yang paling efektif (alhamdulillah sedikit ada hasil setidaknya untuk saya sendiri) untuk menghadapi masalah ini adalah dengan memiliki partner yang selalu mengingatkan akan tugas dan tanggung jawab kita. Sejauh ini, saya rasa Nurul Esti Hidayati melakukannya dengan baik.
Bagaimana dengan sesuatu yang tidak ada deadlinenya, menikah misalnya. Jadi ambil sisi positifnya saja jika lebaran nanti ada orang-orang yang menanyakan kepadamu “Kapan Nikah?”. Mungkin dia adalah orang-orang yang dikirimkan Tuhan kepadamu agar bisa membangunkan Panic Monster dalam pikiranmu, agar segera bisa mengusir si monyet yang selalu saja mengganggumu untuk menunda menikah. Biar You’ll Never Walk Alone lah …
Kok endingnya jadi seperti ini … ?
Referensi
1. Why Procrastinators Procrastinate. dapat diakses di https://waitbutwhy.com/…/why-procrastinators-procrastinate.…
2. Longitudinal Study of Procrastination, Performance, Stress, and Health: The Costs and Benefits of Dawdling. Dapat diakses di https://www.jstor.org/stable/40063233…