Penakluk Senja

Senja bagi sebagian banyak orang adalah waktu yang romantis. Hingga banyak sekali kita temukan puisi, syair, lagu, dan novel yang berlatar tentangnya. Bahkan tak jarang aku jumpai anak-anak muda yang menuliskan biografi akun sosial media mereka dengan kalimat “penikmat senja dan kopi”. Padahal bagiku, satu-satunya orang yang pantas menyandang gelar tersebut adalah Seno Gumira Ajidarma. Lihat saja syair-syairnya dalam “Sepotong Senja untuk Pacarku” dan novelnya yang berjudul “Negeri Senja”, saya saja sampai kesulitan mengumpulkan senja di dalam dua karya itu tersebab tak hanya indahnya ia menggambarkan senja tetapi juga banyaknya kata senja di dalamnya.

Sementara bagi saya seorang guru yang berangkat pagi dan pulang di kala senja menghampiri, ia bisa bermakna banyak. Kadangkala, senja berarti aku yang harus menggeber gas sepeda motorku agar bisa sampai rumah sebelum magrib tiba. Sementara di tengah-tengahnya aku harus bersalipan dengan truk-truk besar yang melintas di sepanjang jalan menuju pulang.

Di lain waktu, senja bagiku adalah keringat yang membasahi kemeja kerjaku. Saat ban motor yang aku tumpangi bocor dan lokasi bapak penambal ban masih jauh. Saat itu aku harus menuntun motorku. Dan yang pasti banyak pengemudi lainnya yang melihat ke arahku. Mereka hanya melihat. Sepengelamanku, masih belum pernah ada yang menawarkan bantuan. Atau setidaknya memberiku sedikit minuman. Tapi aku tahu, mereka juga sedang berlari dengan waktu, agar sampai di rumah sebelum magrib tiba. Sama sepertiku.

Lain lagi saat musim hujan. Senja bisa bermakna basah ketika dalam perjalananku pulang ke rumah, aku lupa membawa mantel yang kemarin baru aku jemur di depan pekarangan rumah. Belum lagi di beberapa jalan, aku harus berani berspekulasi melewati jalan yang tidak nampak bentuk jalannya. Dalam Bahasa kekinian, jalan itu tergenang air. Dalam Bahasa masa kecilku dulu, aku menyebutnya banjir. Biasanya, aku berhenti di bawah pohon. Atau di teras toko yang sudah tutup. Di sana, aku memandang ke jalan. Banyak orang yang meneruskan perjalananannya. Alasan mereka mungkin sama, agar sampai di rumah sebelum magrib tiba.

Tidak jarang pula, senja bermakna keterlambatan untuk sampai rumah sebelum magrib. Yang ini biasanya disebabkan karena kemacetan. Kemacetan adalah suatu akibat, penyebabnya bisa bermacam-macam. Dan yang paling menyedihkan adalah akibat kecelakaan kendaraan. Beberapa kali aku menjumpai orang yang terjatuh dari sepeda motornya, ada yang terluka, ada pula yang harus pulang menghadapNya sebelum sampai rumah sebelum magrib tiba. Mereka sama sepertiku. Aku menjulukinya para penakluk senja.

Para penakluk senja ada di mana saja. Ia kadang laki-laki. Ia bisa jadi seorang perempuan. Bagi para penakluk senja, perjalanan yang paling menyemangati adalah perjalan ke tempat kerja, perjalanan yang paling indah adalah perjalanan menuju tempat ibadah, dan perjalanan yang paling menentramkan adalah perjalanan pulang ke rumah.

Bagi penakluk senja sepertiku, tak ada yang lebih membahagiakan selain sambutan dari orang-orang tercinta yang menunggu dari balik pintu rumah sederhana itu. Tak penting bagi mereka mau tiba sebelum atau setelah magrib. Yang jelas, orang-orang yang menunggu para penakluk senja, juga bahagia ketika yang mereka nanti-nantikan akhirnya tiba juga. Sesederhana itu.

-Untuk mereka yang sabar menungguku pulang-

Tinggalkan komentar