Pernah suatu ketika saya menemani atasan untuk memberikan sebuah seminar di sebuah hotel di Surabaya. Pesertanya adalah para guru dan kepala sekolah. Kurang lebih sekitar 500 orang. Saya masih ingat betapa megahnya hall yang dimiliki hotel tersebut. Dan nampak ruangan tersebut penuh dengan peserta seminar. Namun, saya lupa pastinya dari mana saja, yang jelas tidak hanya berasal dari Jawa. Yang saya ingat ada satu penanya dari sebuah sekolah di lombok.
Dalam salah satu sesi, atasan saya memberikan pertanyaan kepada para peserta yang hadir di sana. Pertanyaan pertama adalah tentang jumlah peserta yang sudah menikmati sertifikasi guru. Lebih dari separuh peserta yang ada di sana mengacungkan tangan. Pertanyaan kedua pun di lontarkan. Pertanyaan kedua ini diajukan khusus bagi mereka yang baru saja mengacungkan tangan. Pertanyaannya kira-kira begini “Adakah dari bapak inu menggunakan uang sertifikasi yang di dapatkan untuk membeli buku guna menambah kompetensi dan pengetahuannya?”. Dari sekitar 300an orang yang mengacungkan tangan tersebut, hanya tersisa sekitar belasan saja.
Meskipun tidak dapat disimpulkan, kejadian ini sedikit menggambarkan bahwa ada masalah pada kesadaran guru kita terhadap pentingnya peningkatan mutu keprofesiannya, terutama dengan membaca literatur dalam hal ini buku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa, setelah proses sertifikasi, banyak kita temukan guru-guru kita pergi ke sekolah dengan menggunakan mobil baru mereka. Buku tak lagi jadi prioritas, sementara di sekolah mereka meminta anak-anak mereka untuk membaca. Maka tak salah, jika hasil test membaca siswa kita di PISA termasuk yang terburuk.
Hak kita para guru untuk menentukan uang ‘kita sendiri’ akan kita pergunakan untuk apa. Tapi ada tanggung jawab besar, bahwa kompetensi kita akan sangat mempengaruhi hasil pendidikan yang kita berikan kepada peserta didik. Dan salah satu caranya adalah dengan memperbanyak referensi kita dengan membaca buku.
Kusumawardhani (2017) dalam penelitiannya menemukan bahwa siswa tidak mendapatkan benefit yang signifikan dari proses sertifikasi guru. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian SMERU bahwa meskipun pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan, mensertifikasi guru serta menaikkan gajinya, namun dampaknya sangat sedikit sekali terhadap peningkatan mutu pendidikan kita, sehingga dalam papernya kebijakan ini dikhawatirkan menjadi WHITE ELEPHANT. Ya, sebuah frase untuk menggambarkan sebuah benda yang sangat rusak dan menghabiskan banyak uang untuk memperbaikinya, tetapi hasilnya nihil.
Di era informasi yang super cepat ini, membaca menjadi sesuatu yang sangat penting. Hoax yang meraja lela adalah akibat dari kurangnya kemampuan membaca masyarakat kita. Dan jika ingin mengatasi masalah tersebut, UU terorisme bukanlah suatu yang tepat. Mulailah dari sekolah, galakkan program literasi, tapi guru tetap harus orang pertama yang membaca buku dan menularkannya ke para peserta didik.
Di gambar adalah buku yang saya beli bulan ini, dari situs bookdepository.com . Sebuah toko buku online di Inggris. Kelebihan membeli buku di situs tersebut adalah gratis ongkir ke seluruh dunia. Kelemahannya, tentu saja proses pengirimannya lama sekitar 3 Minggu, ya maklum saja gratis. Saya tentu punya harapan, bagaimana kalau Pos Indonesia juga melakukan kebijakan yang sama, membebaskan biaya pengiriman buku-buku. Sehingga saudara-saudara kita yang tinggal di luar pulau Jawa, tidak terbebani dengan ongkir yang kadang lebih mahal daripada harga bukunya.
Selamat membaca, Iqra’ bismirabbik …
Referensi:
1. Does teacher certification program lead to better quality teachers? Evidence from Indonesia. Bisa diakses di https://www.tandfonline.com/…/full/10…/09645292.2017.1329405
2. Education in Indonesia: A White Elephant? Dapat diakses di http://www.smeru.or.id/…/content/education-indonesia-white-…


