
Di suatu TK, seperti biasanya, guru meminta anak-anak untuk menggambar bebas. Di tengah-tengah proses menggambar, sang guru pun berkeliling kelas dan menanyai satu persatu siswanya tentang apa yang sedang mereka gambar. Hingga ia sampai kepada seorang siswa perempuan yang menggambar sesuatu yang menurut sang guru sangat unik. Dia pun bertanya kepada siswanya “what are you drawing?”. Anak tersebut tanpa melihat wajah sang guru menjawab “I am drawing the picture of God.” Sang guru pun kaget dengan jawaban anak itu. Ia melanjutkan pertanyaan “But nobody knows what God looks like?”. Dengan entengnya anak itu pun menjawab “They will in a minute.”
Cerita di atas adalah salah satu joke yang disampaikan komedian yang juga aktif dalam dunia pendidikan Marlo Thomas. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa percaya dirinya manusia dalam menggunakan dan mengungkapkan imajinasi mereka semasa kecil. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin dewasa, rasa percaya diri itu cenderung berkurang, mereka mulai takut untuk berimajinasi. Minta saja anak-anak kita di usia smp sma menggambar pemandangan. Saya rasa kita akan melihat hasil gambar mereka yang relatif sama yaitu gunung dengan jalan di tengahnya.
Padahal imajinasi adalah sumber kreatifitas manusia. Dan kreatifitas adalah satu-satunya yang tidak bisa dilakukan robot di era yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0 ini. Bagaiamana dengan sekolah kita? Apakah sekolah benar-benar menyiapkan anak-anak untuk menjadi kreatif?
Peraturan pemerintah yang baru tentang sistem zonasi memperbesar kemungkinan sekolah untuk mendapatkan siswa dengan rentang perbedaan kemampuan akademik yang sangat lebar. Di dalam satu sekolah bisa saja ada anak dengan kemampuan Matematika 100, 70, 50, bahkan 20. Sementara itu, dalam proses belajar sekolah memberikan mata pelajaran yang sama dengan bobot yang sama, jam yang sama, kelas yang sama, ujian dan tes yang sama mulai dari tes pertengahan semester, akhir semester, hingga ujian nasional. Setelah ujian anak-anak itu akan “dilabeli” istilah anak pintar dan anak bodoh. Parahnya proses ini dilanjutkan oleh perguruan tinggi. Mereka yang akan masuk ke jurusan seni, tetap mereka harus mengerjakan soal-soal tes potensi akademik yang sama dengan mereka yang akan masuk ke jurusan matematika. Lengkap sudah penderitaan anak-anak ini. Alih-alih mereka berpikir kreatif, mereka dituntut untuk lulus dari satu tes ke tes lainnya. Bagi saya, kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat ujian adalah sebagai suatu akibat saja dari sistem kita yang membatasi bahwa anak pintar adalah anak yang lulus ujian sekolah, ujian nasional dengan nilai 100.
Kita tahu dunia sedang berubah dengan cepatnya. Sementara sistem pendidikan kita masih sama. Lalu, dengan naifnya, kita bermimpi memiliki sumber daya manusia yang siap menghadapi masa depan.
Jangan tanya saya bagaimana solusinya. Kita sudah banyak memiliki profesor di bidang pendidikan. Mereka jauh lebih tahu dari saya.
Saya hanya ingin bercerita. Ketika saya belajar membaca Al Quran di suatu TPA. Saya harus mengulang kembali beberapa bab yang sama. Sehingga saya pun tertinggal jauh oleh teman-teman seusia saya. Orang tua saya tidak pernah protes terhadap guru ngaji saya. Pun juga, sepengetahuan saya tidak ada kurikulum nasional yang menyatakan bahwa anak sesusia saya harus masuk jilid tertentu. Lulus tidaknya saya mengaji, benar-benar ditentukan oleh guru ngaji saya. Bukan orang lain, apalagi pemerintah.
Saya ingin mengatakan bahwa yang pertama-tama adalah perbaikilah kualitas guru kita. Jadikan guru kita guru-guru yang kreatif. Kemudian percayakan proses pendidikan dengan segala tetek bengeknya kepada mereka. Bukan malah mengurusi bagaiaman guru harus menyiapkan Rencana Pembelajaran, bagaiaman menentukan kriteria ketuntasan minimal, hingga buku apa yang harus dipakai. Pemerintah cukup membuat garis besar tujuan pendidikan kita saja. Katakanlah, menjadikan manusia Indonesia manusia yang kreatif. Edukasi masyarakat agar kembali percaya kepada guru, seperti orang-orang dulu yang begitu percayanya pada kyai, sehingga dengan penuh ketawadhu’an menitipkan anak-anak mereka untuk diasuh oleh para kyai-kyai pada zaman itu.
Yakinlah bahwa guru-guru di Papua, jika memang berkualitas, mereka lebih tahu kondisi anak-anak di sana dan apa yang mereka butuhkan di sana. Begitu pula guru-guru di daerah lainnya. Sekali lagi dengan catatan mereka harus berkualitas.
Masalahnya, bagaimana kita mendapatkan guru-guru yang berkualitas sementara kita menggaji mereka dengan seadanya? Atau, dari seluruh anggaran pendidikan di pusat atau di daerah, berapa persen yang digunakan untuk peningkatan kualitas guru?
Sekali lagi, selamat hari pendidikan nasional. Semoga anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang berkeadilan.
Bibliografi
1. The Future Jobs Report 2018 dapat diakses di https://www.weforum.org/repo…/the-future-of-jobs-report-2018
2. The big lesson from the world’s best school system? Trust your teachers. Dapat diakses di https://www.theguardian.com/…/worlds-best-school-system-tru…