MEGAH

“Are you from Japan?” Sapaku kepada para biarawati yang ada di depan kami. “No, we are from Korea, South Korea.” Jawab mereka. “Anyong haseo!” Sapaku. Para biarawati itu pun terkejut. “I learnt it from Korean Drama. From Song Hye Kyo. Do you know her?” Saya melanjutkan pertanyaan. “No, we don’t watch Korean drama.” Jawab mereka sambil tersenyum.

Percakapan di atas terjadi 2 tahun silam di sebuah taman di kota Istanbul. Saat kami asik menikmati jagung rebus dengan duduk-duduk di salah satu bangku taman, kami melihat beberapa biarawati. Kami yakin mereka tidak sedang mengunjungi masjid dan ingin studi banding tentang Islam di Turki atau tentang era kekhalifahan Ottoman. Mereka sedang melakukan ziarah. Ziarah ke salah satu Gereja terbesar di zaman Constantine, yang fungsinya diubah menjadi masjid setelah Konstantinopel ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih. Namun setelah revolusi Turki oleh Attaturk, fungsi dari Gereja Masjid itu diubah menjadi sebuah museum.

Hagia Sofia, menjadi tujuan kedua kami setelah Masjid Biru. Lokasinya hanya dipisahkan oleh taman tempat kami bertemu dengan biarawati tadi. Untuk masuk ke Hagia Sofia Kita harus membeli tiket seharga 40 TL untuk dewasa, dan 15 TL untuk anak-anak dan pelajar. Seperti biasanya ketika Nurul membeli tiket masuk, petugas tiket menanyakan keberadaan orang tua Nurul.

“Are you here alone? Where are your parents?” tanya petugas tiket berparas perpaduan arab dan eropa timur itu.

“I am with my husband.” Nurul menjawab sambil menoleh ke arah ku.

Petugas loket tersebut seperti tidak percaya jika wanita dihadapannya itu sudah menikah. Dia menebak usia Nurul masih belasan. Dan terkejut jika dia sudah memiliki pasangan. Nurul meminta petugas tersebut menebak usianya. Petugas perempuan itu mengatakan “Twenty three.” Saya tertawa mendengar percakapan mereka. Ingin saya mengatakan ke petugas loket itu bahwa sebentar lagi usia perempuan yang kau ajak bicara itu menginjak kepala tiga.

Pengawasan untuk masuk ke dalam museum sangat ketat. Kami harus melewati mesin pendeteksi logam. Dan tas yang kami bawa dimasukkan ke dalam mesin X-ray. Kami hanya diijinkan untuk membawa kamera. Bahkan tripod yang menjadi andalan kami agar kami bisa mengambil foto berdua pun harus dititipkan.

Bangunan Hagia Sofia sungguh megah dengan design interior yang sangat unik. Selain kaligrafi berlafadz Allah dan Muhammad, di dalamnya kita juga bisa menemukan lukisan Maria dan Isa. Hal ini membuat nilai sejarah bangunan ini sangat tinggi. Bagaimana agama dan kekuasaan saling mempengaruhi pada zaman itu. Dan Brown dalam bukunya Inferno menambahkan “Hagia Sofia, seperti semua tempat pemujaan besar, ukurannya yang luar biasa memiliki dua tujuan. Pertama, ia dibangun sebagai bukti bahwa manusia akan melakukan apapun untuk membuktikan kecintaannya kepada Tuhan. Dan kedua, ia juga terapi kejut untuk para pemujaNya — sebuah ruang fisik yang begitu mengesankan sehingga mereka yang masuk merasa dikerdilkan, ego mereka terhapus, keberadaan fisik dan kepentingan kosmik mereka menyusut menjadi seukuran setitik di wajah Tuhan, sebuah atom di tangan Sang Pencipta.”

Seringkali kita bercerita tentang penaklukan-penaklukan hebat, tapi kita lupa ada harga yang harus dibayar mahal. Ribuan nyawa manusia menjadi korban. Dan tempat yang megah ini, tempat kami berdiri, menjadi saksi bisu akan darah-darah yang mengalir atas nama agama dan kekuasaan. Harusnya kita mampu belajar dari sana, dari Hagia Sofia.

Why we only Rest In Peace? I believe we can also Live In Peace.

Tinggalkan komentar