Ella

5 tahun, Allah menguji kami, dengan cintaNya yang tiada terkira. Begitu banyak pelajaran dan hikmah yang Dia berikan kepada kami, agar kami senantiasa belajar untuk bersabar dan bersyukur. Dua senjata ampuh dalam menarungi kehidupan, seperti yang pernah disampaikan oleh sayyidina Umar bin Khattab.

Rupinder Kochhar, dokter ahli diabetes dan endokrinologi Central Manchester University itu mendiagnosa Nurul dengan hiperprolaktin yang disebabkan oleh microprolactinoma di pituitary. Sebelumnya beliau memberikan cabergoline untuk diminum sembari menunggu hasil MRI.

Tahun-tahun sebelumnya kami sudah mengunjungi beberapa dokter. Nurul memiliki masalah menstruasi yang tidak reguler. Kadang datang 4 bulan sekali. Bahkan yang terparah hingga 8 bulan. 2 dokter pertama mendiagnosa Nurul dengan PCOS. Beliau meresepkan semacam pil KB yang agar diminum sesuai dengan hari yang tertera di kemasan obat. Setelah mengkonsumsi obat tersebut, memang Nurul mengalami menstruasi. Hanya saja, ketika stop tidak mengkonsumsi obat tersebut, masalahnya kembali muncul.

Hingga memasuki tahun ketiga pernikahan, terapi-terapi yang diberikan dokter tersebut belum membuahkan hasil. Sehingga kami memberanikan diri untuk pergi ke dokter di salah satu rumah sakit di mana asuransi kami tidak mengcover biaya berobat di sana. Dokter yang kami temui memberikan analisis berbeda. Beliau mengatakan bahwa dinding rahim Nurul tipis, jadi harus terus diterapi. Hanya saja obat yang diresepkan oleh dokter tersebut sama dengan dokter-dokter sebelumnya. Semacam pil KB. Dengan merk yang berbeda. Ditambah beberapa suplemen dan vitamin. Dokter tersebut juga menekankan bahwa dalam kasus kami, sebaiknya saya juga sebagai suami sebaiknya diperiksa. Sayapun mengiyakan. Hanya saja dokter tersebut ingin memastikan dulu bahwa siklus menstruasi Nurul kembali normal.

Sekian bulan diterapi di rumah sakit tersebut, diagnosa dokter mulai menampakkan hasil. Sang dokter berkata bahwa, dinding rahim Nurul mulai menebal. Hanya saja lagi-lagi, ketika Nurul berhenti mengkonsumsi pil KB, maka ia kembali tidak mengalami menstruasi.

Dalam masa-masa itu, kadang rasa frustasi muncul. Sehingga membuat semangat kami untuk datang ke dokter meredup. Namun, kami masih terus meyakinkan diri, saling menyemangati satu sama lain bahwa Allah pasti berikan yang terbaik. Iman, harus tetap dijaga. Doa terus dipanjatkan. Dan kewajiban kita adalah untuk terus berikhtiar.

Ujian terberat bagi kami adalah saat berkumpul dengan keluarga, entah saat ada acara keluarga atau dalam momen hari raya. Pertanyaan “sudah isi, sudah berapa tahun menikah, ayo buruan jangan jalan-jalan terus” dan sebagainya menjadi semacam anak-anak panah yang siap menusuk kami, terutama Nurul. Sesekali, air matanya menetes. Hanya saja ia selalu berusaha menutupi. “Kangen Bapak” itu menjadi alasan yang selalu ia ungkapkan ketika aku bertanya kenapa. Meskipun aku tahu bahwa ia menangis karena ia sangat merindukan sekali seorang buah hati.

Di tahun ketiga pernikahan kami pula, saya melihat ada setitik cahaya. Aku ingin menghibur kesedihan-kesedihan yang dialami Nurul. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih titik cahaya itu. Meskipun kemungkinannya tipis. Karena aku tahu dengan kompetensi yang aku miliki, jalan terjal ini akan sangat sulit aku taklukkan. Mendapatkan beasiswa, untuk studi ke Luar Negeri. Untuk lari dari pertanyaan-pertanyaan yang seringkali membuatnya menangis. Setidaknya untuk melupakan kesedihan-kesedihan walau hanya sementara.

Allah yang maha mengatur segalanya, akhirnya kami berdua pergi ke negeri jauh. The United Kingdom, atau lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Inggris. Kami tinggal di kota di mana sepak bola menjadi agama penduduk mereka, Manchester.

Saat kami mengurus visa, kami juga membayar asuransi kesehatan nasional Inggris yang dikenal sebagai NHS. Kami masih yakin bahwa inilah jalan yang Allah tunjukkan. Setidaknya 17 kali dalam sehari kami berdoa agar Allah menunjukkan kepada kami jalan yang lurus. Dan jalan lurus itu bukan jalan yang mudah. Jalan yang lurus itu adalah jalan adam yang terusir dari surga kemudian bertobat, jalan lurus itu adalah jalan Nuh yang harus kehilangan anak kesayangannya, jalan yang lurus itu adalah jalan Ibrahim dan Zakaria yang menanti puluhan tahun untuk memiliki keturunan, ialah jalan Musa yang harus berhadapan dengan ayah angkatnya sendiri, jalan Isa yang dikhianati oleh muridnya, dan jalan Rasulullah Muhammad berdakwah menjadi rahmat bagi semesta alam. Dari sana lagi-lagi kami belajar bahwa ujian yang kami hadapi belum seberapa, dan usaha yang kami lakukan mungkin belum maksimal.

Apakah layanan kesehatan di Inggris lebih “baik” daripada di Indonesia? Nanti bisa anda simpulkan sendiri. Langkah awal kami setiba di Inggris adalah dengan membuat janji dengan seorang General Practicioner (Dokter Keluarga) di sebuah klinik bernama Robert Darbishire (Puskesmas). Untuk membuat janji kita harus menelpon klinik, kemudian bersepakat untuk bertemu hari apa, jam berapa, dengan siapa. Siang itu, staff administrasi klinik mengarahkan kami untuk bertemu dengan dokter Manisha Kumar.

Kami menceritakan masalah kami dengan beliau. Dari awal hingga akhir. Beserta terapi-terapi yang kami jalani. Kemudian beliau membuatkan kami rujukan dengan seorang dokter spesialis diabetes dan endokrinologi. Kami hanya perlu menunggu surat dari klinik.

Kami kira, surat tersebut akan datang keesokan harinya. Dan ternyata satu bulan dari ketemu GP, surat itu baru kami terima. Surat itu berisikan nama dokter yang harus kami temui, kapan harus kami temui, dan di mana lokasi dokter tersebut. Dan kami mendapatkan sebuah nama dokter Rupinder Kochhar.

Kepada beliau kami bercerita persis apa yang kami sampaikan kepada GP. Dari keterangan yang kami berikan, beliau mendiagnosa bahwa kemungkinan Nurul mengalami apa yang disebut sebagai dengan Hiperprolaktin. Hanya saja untuk memastikannya, Nurul diminta untuk melakuan tes prolaktin. Kemudian beliau meminta kami menunggu surat pengantar untuk dibawa ke klinik. Dan waktu untuk menunggu surat pengantar itu kurang lebih 3 minggu.

Waktu menunggu yang cukup lama ini, membuat kami harus ekstra bersabar menghadapi pelayanan medis di negeri ratu Elizabeth ini. Setelah membawa surat ke klinik, kami diminta menunggu telpon dari klinik mengenaik kapan pengambilan sampel darah bisa dilakukan. Dan lagi-lagi kami harus menunggu. Beberapa haru kemudian, klinik menghubungi kami tentang slot waktu yang memungkinkan untuk pengambilan sampel darah Nurul. Kami diberikan pilihan, dan kami memilih waktu yang tentunya tidak bertabrakan dengan jadwal kuliahku.

Setelah pengambilan darah, kami diminta menunggu untuk mendapatkan surat dari rumah sakit. Surat yang berisi waktu dan tempat untuk bertemu dengan dokter Kochhar. Dan surat tersebut baru tiba di rumah kami satu bulan kemudian.

Dokter Kochhar, mengatakan bahwa diagnosanya sesuai dengan hasil laboratorium. Bahwa Nurul positif mengalami hiperprolaktin. Kadar prolaktin normal pada wanita dewasa yang tidak hamil adalah 106 sampai 850 mIU/L. Sedangkan Nurul ada pada level 4228 mIU/L. Ada banyak sebab penyebab kasus ini. Namun yang paling berbahaya adalah apabila hal ini dipicu oleh adanya microprolactinoma di otak. Semacam tumor kecil, yang membuat otak memberikan stimulus untuk memproduksu prolaktin secara berlebih. Untuk memastikannya dibutuhkan analisis Magnetic Resonance Imaging (MRI). Otak Nurul harus discan. Sembari menunggu waktu MRI, kami diminta menebus obat di farmasi. Obat tersebut bernama cabergoline. Tujuannya adalah untuk menurunkan hormon prolaktin. Dan lagi, kami diminta untuk menunggu surat dari Rumah Sakit yang berisi kapan kami bisa melakukan scan.

Hasil Lab

Surat MRI datang beberapa minggu setelah bertemu dengan dokter Kochhar. Memasuki pertengahan semester kedua perkuliahan. Yang mengejutkan adalah waktu MRI yang tertera dalam surat tersebut adalah 2 bulan dari datangnya surat. Dan kami bisa mengubah jadwal pertemuan tersebut melalui website nhs dengan username dan password yang tertera pada surat. Saya mencoba mecari rumah sakit yang tersedia, tapi tidak ada slot yang lebih cepat dari waktu dua bulan tersebut. Padahal kalkulasi saya, jika saya menerima jadwal tersebut apa adanya, maka akan berbenturan dengan jadwal pengambilan data penelitian saya. Saya pun berdiskusi dengan Nurul, dan dia ingin saya menemaninya pada saat MRI maka jadwalpun saya mundurkan menjadi sekitar 3 bulan berikutnya, dari awalnya terjadwal pertengahan Juli 2017, menjadi awal Agustus 2017.

Cabergoline yang sudah dibeli di farmasi, belum di minum oleh Nurul. Permintaan dokter Kochhar untuk MRI, membuatnya memutuskan untuk menunggu hasilnya terlebih dahulu. Setelah sepulang dari penilitian di Indonesia, dan kembali ke Manchester. Kami pergi ke Rumah Sakit Pusat Manchester. Nurul diminta untuk masuk ke ruangan MRI. Dan selang beberapa waktu kemudian dia keluar. Dengan pakaian khas ala-ala pasien rumah sakit. Semacam piyama. Ia berkata bahwa alatnya sedang error, sang radiolog sedang memanggil teknisi untuk membetulkan alat MRI tersebut. 30 menit kemudian, Nurul diminta masuk lagi ke dalam. Dan MRI berhasil dilakukan. Hasil MRI akan dikirim ke rumah beserta jadwal bertemu dengan dokter Kochhar. Kami harus menunggu lagi. Hingga jadwal kepulangan kami ke Indonesia. Surat itu masih belum tiba juga.

Awal bulan November 2017, saya kembali ke aktifitas kantor. Dan awal Desember 2017, Nurul menyusul saya ke Surabaya. Seorang teman mengatakan bahwa ada surat untuk Nurul dari rumah sakit. Surat itu dibawa oleh teman kami yang melanjutkan sewa rumah kami di Manchester dalam perjalanan pulangnya ke Indonesia. Dan benar surat itu dari rumah sakit, benar pula surat tersebut menunjukkan hasil MRI, dan benar pula bahwa ada microprolactinoma di otak Nurul.

Kami membawa semua rekam medis Nurul di Manchester ke dokter kami sebelumnya. Beliau menjelaskan bahwa dulu ketika mendiagnosa Nurul bahwa ada masalah dengan dinding rahimnya, beliau hanya mendiagnosa permukaanya saja. Dan dokter kami di Manchester, mendiagnosa langsung ke akar masalahnya. Beliau meminta Nurul untuk meminum cabergoline yang dia dapat. Beliau juga menambahkan bahwa obat ini sulit didapatkan di Surabaya. Yang paling mengejutkan adalah ketika dia menjelaskan bahwa apabila sudah selesai meminum obat tersebut, Nurul diminta untuk melakukan MRI ulang, jika masih ditemukan tumor kecil di otaknya maka harus dilakukan bedah dan pengambilan tumor kecil tersebut.

Sepulang dari rumah sakit terdengar isak tangis dari belakang ketika saya membonceng Nurul ke rumah.

Forum mama-mama di internet memang luar biasa. Akun palsu pun aku buat. Mencoba mencari tahu, ikut berdiskusi, mencari alternatif dokter yang lain. Diskusi mengarah kepada Dokter Relly Y Primariawan, Sp.OG KFER. Pada saat bertemu beliau, cabergoline sudah dikonsumsi Nurul. Sekali minum hanya setengah butir diminum 2 kali dalam seminggu. Nurul menghabiskan dua butir. Setelah lebih dari satu tahun lebih tidak mengalami menstruasi, akhirnya ia datang juga. Kami menceritakan semua masalah kami kepada dokter Relly. Saran beliau berbeda dengan dokter kami sebelumnya bahwa Nurul tidak perlu MRI ulang, karena dia mendiagnosa tidak ada masalah dengan kondisi otaknya. Hal ini diindikasikan dengan tidak adanya masalah penglihatan pada Nurul, atau diagnosa-diagnosa awal yang berkaitan dengan otak. Nurul hanya perlu melakukan tes prolaktin ulang, pasca meminum cabergoline. Beliau juga meminta saya untuk melakukan uji sperma. Tentu saja saya tertawa sendiri ketika mencari tahu bagaimana proses uji sperma itu dilakukan.

Tiga hari berikutnya kami datang ke sebuah laboratorium kesehatan di Surabaya. Nurul diambil sampel darahnya. Keesokan harinya aku mengambil hasil laboratorium Nurul. Hasilnya, hormon prolaktin Nurul sudah kembali normal.

Tes Kadar Prolaktin

Awal February 2018, kami pergi ke salah satu bioskop di Surabaya. Kami menonton kelanjutan film The Maze Runners yaitu The Death Cure. Setelah menonton film tersebut, Nurul merasa pusing. Aku kira itu disebabkan karena kami belum makan siang. Kemudian kami membeli nasi padang di foodcourt pusat perbelanjaan tersebut. Setelah makan Nurul masih merasa pusing, aku memegang kepalanya. Terasa hangat. Kami memutuskan pulang ke rumah. Secara spontan dan sedikit bergurau kepada Nurul, aku memintanya untuk membeli test pack. Seperti biasanya ia hanya tersenyum manja.

Keesokan harinya, sepulang dari kantor. Ia meminta ku untuk melihat ke meja. Ada 3 buah alat tes bergaris dua. Serasa tidak percaya bahwa ini nyata. Entah tawa atau menangis bahagia, tetap syukur alhamdulillah yang utama. Beberapa hari berikutnya kami kembali ke dokter Relly. Beliau mengkonfirmasi bahwa Nurul positif hamil. Di akhir pertemuan dengan beliau saya bertanya, “apakah saya masih perlu tes sperma?”. Dengan nada gurau beliau menjawab “Lah sudah terlanjur hamil, ya gak perlu tes lah …”. Suster yang ada di ruangan itu juga ikut tertawa.

Ella masih super kecil

Sabtu 6 Oktober 2018, pukul 09.05 WIB, bayi perempuan terlahir melalui perjuangan Nurul. Perjuangan yang dia mulai sejak 5 tahun silam, dan puncaknya ketika kemarin dengan nyawa sebagai pertaruhannya. Ella Pugalum Iraivanukke, aku memberi nama anak kami. Untuk mengenang dua dokter kami di UK yang merupakan keturunan India. Nama ini juga merupakan sebuah frase dalam bahasa Tamil, digunakan untuk memuji keagungan Illahi. Menegaskan bahwa semua yang didapat manusia adalah titipan dariNya. Yang bisa diberikan kapan saja sesuai kehendakNya dan bisa diminta sewaktu-waktu sesuai kehendaknya. Sebuah bentuk penyerahan diri, bahwa kita manusia sungguh teramat kecil di hadapannya.

Kini menjadi tugasku untuk menjaga amanah-amanah itu sebaik dan semampuku.

Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa qurrata a’yuninaa waj’alnaa lil muttaqiina imaama … aamiin

-Kereta Wijaya Kusuma, Dalam Perjalanan Pulang ke Surabaya-

Tinggalkan komentar