Keasyikan mengelilingi kota Metropolitan Tokyo membuat kami lupa bahwa kami belum istirahat sama sekali. Entah sudah berapa kilometer rute yang kami tempuh mulai pagi. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga sore dan kami belum shalat. Selama perjalanan hari itu, kami belum menemukan tempat yang pas untuk shalat. Hampir semua sudut kota ini penuh dengan keramaian.
Dari lokasi patung Hachiko, google map mengarahkan ke arah Tokyo Cami jika ingin mencari masjid terdekat. Dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Kamipun memutuskan untuk mengikuti mesin penunjuk arah tersebut. Kami menuju ke arah utara agak serong ke barat. Masih melewati pertokoan-pertokoan di sekitaran Shibuya. Dalam perjalanan kami ke masjid, kami bertemu dengan anak kecil berseragam sekolah, bertopi kuning, yang sedang mengankat payungnya, melindungi dirinya dari rintik hujan. Anak ini tidak didampingi oleh orang tuanya, benar-benar berjalan sendiri. Aku teringat cerita salah seorang sahabat yang sudah lama bermukim di Jepang yang 4 tahun yang lalu sempat saya kunjungi bahwa sekolah di Jepang mengharuskan siswa-siswinya untuk berangkat sekolah sendiri tanpa ditemani orang tua mereka. Hal ini guna menumbuhkan kemandirian dan keberanian sejak dini. Hanya saja memang tingkat kriminalitas di Jepang sangat rendah. Sehingga orang tua tidak perlu lagi khawatir melepas putra-putri mereka untuk berangkat ke sekolah sendiri.

-Credit Foto: livejapan.com-
Dalam perjalanan ke masjid kami juga menemukan sebuah dealer sepeda motor yang sangat terkenal di Indonesia. Letaknya berada di jalan yang lumayan sempit. Tidak di jalan utama. Jumlah unit yang ditampilkan pun sedikit. Dan seharian ini aku jarang melihat ada orang yang menggunakan sepeda motor. Aku lebih banyak melihat orang yang menggunakan mobil, dan yang lebih banyak dari itu adalah para pejalan kaki.

– Dealer Motor-
Berjalan memang menjadi budaya di Jepang. Jalur pedestrian hampir merata dan tentunya difungsikan sebagaimana mestinya. Surga bagi para pejalan kaki. Vending machine menghiasi jalur-jalur tersebut. Ketika kelelahan cukup keluarkan 100 hingga 300 yen untuk bisa menikmati air atau soda.
Gerimis masih setia menemani perjalan kami. Anginpun bertiup kencang. Payung-payung di sini didesain cukup kuat untuk menahan tiupan angin. Hanya saja air sepertinya sudah berhasil menembus lubang-lubang di sepatu membuat kaki terasa dingin dan tentunya memunculkan rasa khawatir masuk angin.
Jalan menuju ke Masjid nampaknya jalan yang menanjak. Sampai-sampai di suatu perempatan kami harus naik lift untuk bisa mengakses jalan yang berada di atas. Sebenarnya ada anak tangga yang bisa kami gunakan untuk naik, dan lift ini kemungkinan disediakan untuk para difabel. Hanya saja kaki-kaki kami sudah terasa letih, oleh karenanya kami memutuskan menggunakan lift.
“Capek mas, naik lift ini aja yuk” kata Nurul
“Hah, emang boleh ya, kan ada gambar kursi roda?” aku ragu
Pintu lift terbuka. Dua orang remaja keluar dari dalam.
“Lah iki mbake gak popo lewat kene … ” celetukku.
Setelah hampir 30 menit berjalan kahirnya kami tiba juga di Tokyo Cami. Di luar dugaan kami, awalnya kami kira bangunan masjidnya seperti masjid-masjid di eropa yang tidak terlalu mencolok, seperti apartemen yang disewa menjadi masjid, nyatanya masjid ini lebih mirip masjid-masjid di Turki yang memiliki kubah besar dan menara yang menjulang tinggi. Untuk masuk ke masjid kami harus menaiki tangga yang cukup curam. Tangga dari marmer yang tentunya membuat kami harus berhati-hati karena hujan telah membuatnya menjadi licin.
Karena merasa letih kami duduk-duduk sebentar di serambi masjid. Membuka sepatu dan memeras kaus kaki. Nampak guratan tanda kedinginan di jari-jari kaki kami. Menoleh ke sana kemari mencari dan menebak di manakah toilet dan tempat wudlu masjid ini. Waktu itu masjid masih sepi. Karena memang telah lewat waktu dzuhur. Sedangkan waktu ashar masih 1 jam lagi, menurut jadwal shalat yang ada di masjid. Kami bertemu dengan orang Malaysia, mahasiswa Malaysia. Awalnya kami mengira mereka dari Indonesia. Saya bertanya di mana kami bisa mengambil wudlu. Mahasiswa tersebut mengarahkan ke arah tangga di halaman masjid. Tangga itu mengarah masuk ke bawah tanah. Di ruangan bawah tanah tersebut terdapat 2 lantai. Lantai pertama untuk jamaah perempuan dan lantai di bawahnya untuk jamaah laki-laki.

– Interior Masjid –
Setelah selesai shalat dzuhur dan menjamaknya dengan ashar kami mengambil beberapa foto interior masjid. Interior yang mengingatkan perjalanan kami ke Istanbul. Kemegahan yang menunjukkan harapan bahwa syiar Islam sedang menaburkan benihnya di negeri matahari terbit ini. Dan kami bahagia bisa menjadi saksi.
Kami memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat dan bersih diri. Lokasi masjid ini sebenarnya dekat dengan stasiun metro Yoyogi-Uehara. Hanya saja Kartu Toei kami tidak bisa digunakan untuk naik Metro Line. Karena sudah terlalu lelah kami memutuskan untuk naik kereta metro menuju stasiun Shinjuku dengan membayar sekitar 300 yen untuk dua tiket. Dari sana, kami bisa mengambil Toei line menuju stasiun Bakurocho di mana hostel kami berada.