Setelah puas berkeliling Odaiba, kami melanjutkan perjalanan menuju Harajuku. Harajuku terkenal dengan pusat perbelanjaan pakai-pakaian ala-ala tokoh komik jepang atau lebih sering dikenal dengan istilah cosplay. Untuk menuju ke sana, dan karena akses yang kami miliki adalah Toei Day Pass, kami tidak bisa berhenti di stasiun Harajuku yang lokasinya tepat di depan Takeshita Street. Stasiun terdekat yang bisa diakses oleh tiket kami adalah Shinjuku.
Dari Shinjuku, kami berjalan kaki menyusuri gang-gang daerah pemukiman padat namun nampak begitu bersih dan teratur. Saya membayangkan apa jadinya jika ultraman benar-benar bertarung dengan para kaiju. Mungkin rumah dan flat ini akan ikut terinjak dan biaya perbaikannya pasti mahal. Meskipun pemukiman tertata rapi, ada satu hal yang membedakan Tokyo dan Manchester, yaitu keberadan kabel listrik. Kami melihat jaringan listrik di Jepang menggunakan jaringan kabel yang tersambung melalui tiang-tiang listrik, kabel-kabel nampak semrawut bergelantungan di atas rumah-rumah dan pemukiman penduduk. Sesekali kami juga berpapasan dengan sekolah-sekolah di daerah Shinjuku. Saya melihat ada ciri tersendiri sekolah-sekolah di Jepang, yaitu memiliki jam didnding yang besar yang terlertak di gedung utama sekolah.
Kurang lebih 20 menit kami berjalan kaki, akhirnya kami tiba di Harajuku, tepatnya di Takeshita Street. Meskipun dalam suasana gerimis, gang ini masih juga dipadati oleh para pelancong baik lokal maupun internasional. Begitu juga para pedagang di sini, kami menemui beberapa pedagang kaki lima bukan asli Jepang. Di lihat dari kulitnya mereka berasal dari Afrika.

-Suasana di Takeshita Street-
Di Takeshita street, kami masuk ke beberapa toko. Banyak sekali yang menjual cosplay. Kami benar-benar membuktikan bahwa Takeshita street memang surga bagi para cosplayer. Hanya saja kami tidak begitu tertarik dengan cosplay. Sehingga bagi saya, ya biasa-biasa saja. Kartun di TV nya sudah cukup bagi saya. Di sana, Saya hanya menikmati kerumunan di sana. Mengambil beberapa foto di tengah kerumunan. Hanya saja, seperti biasanya, pasangan perjalanan saya, Nurul, kurang ahli dalam membidik kamera. Sehingga hasil jepretannya, ya sudahlah sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Tidak di Akihabara, tidak di Harajuku, yang menarik perhatian Nurul hanya satu, Toko Kosmetik. Benar saja, alih-alih window shoping di toko-toko cosplay, dia malah masuk ke toko kosmetik. Mencoba-coba beberapa jenis lipstik dan bedak, serta pemerah bibir. Saya, sendiri tidak mau diajak masuk ke toko-toko itu. Takut saja. Takut dia minta untuk dibelikan sesuatu di dalam sana.
Sambil menunggu Nurul di luar toko. Aku menyaksikan banyak sekali, entah mereka wisatawan atau pramuniaga, orang-orang berjalan memakai pakaian seperti tokoh-tokoh anime Jepang. Yang jelas, beberapa diantara mereka tidak berbicara dengan bahasa Jepang. Kebanyakan anak-anak muda. Entah apa yang mereka ingin cari dengan menggunakan baju-baju tersebut, apakah ini suatu ekspresi seni? Ataukah mereka sendiri mulai kehilangan jati diri mereka, saya juga tidak mau menganalisis lebih dalam.
Setelah keluar dari salah satu toko kosmetik, Nurul seperti biasanya akan tanya kepadaku, “Ada perbedaan nggak?” Sambil berharap aku memperhatikan mukanya, lipstik, bedak, dan pemerah pipi yang ia coba. Ya, agar lebih mudah, dan mendapatkan pahala karena menyenangkan istri, saya cukup acungkan jempol saja.

-Memebeli Crepes di Takeshita Street-
Di Takeshita street, juga banyak kami temukan pedagang crepes. Selain tampilan toko yang unik, gambar crepes yang sedap di pandang mata, para penjajanya yang masih muda dan interaktif juga menjadi daya tarik tersendiri. Kami menyempatkan untuk membeli crepes di ujung jalan Takeshita street yang kami lewati itu. Hargannya sekitar 600 yen atau sekitar 72000 rupiah. Setelah menikmati crepes jepang kemudian kami membandingcan dengan crepes Indonesia yang biasa kami beli di pinngir jalan. Kesimpulan kami, crepes jepang hanya enak dipandang saja dan dibuat foto-foto, crepes abang-abang di Indonesia jauh lebih nikmat.