Di stasiun Morishita, kami berpindah jalur ke Oedo line untuk menuju ke stasiun Monzen Nakacho. Meskipun pindah, suasana kereta masih sama dengan sebelumnya, penuh dan sesak. Memang kereta-kereta ini adalah transportasi utama penduduk Tokyo. Selain cepat dan bebas macet, tarifnya juga relatif lebih murah jika dibandingkan dengan memiliki kendaraan pribadi, karena selain asuransi dan pajak kendaraan pribadi yang mahal, tarif parkir kendaraan pribadi kebanyakan bersifat progresif.
Setibanya di Monzen Nakacho, saya harus keluar stasiun untuk pindah ke jalur Toei Bus nomor 1. Hujan turun cukup deras. Di luar stasiun, antrian bus sudah sangat panjang. Meski demikian, mereka (baca: orang Jepang) antri dengan tertib dan teratur. Dua bus no.1 mendekat. Stasiun Monzen Nakacho merupakan halte pertama bus tersebut. Jadi bus yang berhenti di sana masih dalam kondisi kosong.
Satu per satu para penumpang mulai masuk, termasuk aku dan Nurul. Kami cukup menunjukkan Toei Day Pass kepada sopir. Bus pun juga terasa penuh. Kami, tentu saja, tidak kebagian tempat duduk. Kami harus berdiri. Setelah beberapa stop, barulah kami mendapatkan tempat duduk karena satu per satu penumpang mulai turun dan menyisakan tempat duduk mereka.

– Foto: Tombol “berhenti” di bus dan suasana sekitarnya –
Kami kesulitan melihat keluar. Kombinasi antara hujan dan pendingin ruangan di bus, berhasil membentuk lapisan embun yang menutupi kaca jendela bus. Saya bisa saja menjadi alay kemudian menuliskan kalimat “Nurul, Aishiteru” di kaca tersebut. Tapi tentu saja saya tidak melakukannya, meskipun saya yakin dalam hati Nurul menginginkan itu.
Papan pengumuman di bus menandakan bahwa pemberhentian berikutnya adalah halte stasiun Daiba (Stasiun ini tidak dilewati oleh kereta Toei). Saya menekan tombol berhenti yang tersedia di beberapa bagian interior bus. Bus pun berhenti. Kami turun. Hujan pun demikian, masih turun, meskipun sudah mulai agak reda.
Odaibu adalah sebuah pulau reklamasi. Letaknya dekat dengan garis pantai. Angin bertiup sangat kencang. Tidak hanya membelokkan arah hujan, tetapi juga membawa hawa dingin yang menembus kulit. Sesekali payung yang kami gunakan untuk melindungi kami dari air hujan terkena tiupan angin dan ingin lepas dan terbang dari tanganku.
Spot pertama yang kami tuju setiba di Odaibu adalah Liberty Statue. Di sini kami bertemu dengan beberapa pelancong Indonesia. Lokasinya tidak jauh dari pemberhentian bus, hanya sekitar 5 menit. Meskipun tidak sebesar patung Liberty di New York, tapi bentuk dan komposisinya dibuat identik. Setelah kami mengambil beberapa gambar di sana, kami memutuskan untuk berteduh sejenak. Karena hujan dan angin cukup membuat badan kami menggigil.

– Foto: Dengan Liberty Statue –
Saat berhenti itu, Nurul mengatakan bahwa padaku bahwa ia tidak menyangka akan sampai jumpa di negeri ini. Negeri Jepang. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya akan mengunjungi negeri sakura ini. Dari tempat kami berteduh, aku menunjuk bangunan tinggi yang ada di seberang jalan. Di atas bangunan itu terdapat ruangan menyerupai bola raksasa. Seperti sebuah kapal luar angkasa. Bangunan itu adalah Kantor Fuji Terebi (Fuji TV).

– Foto: Nurul dengan Kantor Fuji TV –
Aku mengajak Nurul untuk pergi ke masa kecilnya dulu. Ketika itu, kita masih disuguhi oleh hiburan-hiburan seperti Dragon Ball, Dr. Slump, Anpanman, Doraemon, Chibi Maruko Chan, dan serial kartun jepang legendaris lainnya di era 90-an. Serial-serial kartun tersebut diproduksi oleh Fuji TV ini. Seiring berjalannya waktu dan bergantinya era, kartun-kartun itu lambat laun menghilang. “Nanti ketika kita masuk ke dalam sana, kita pasti merindukan masa-masa kecil kita” aku bilang ke Nurul.
Sebelum masuk ke Fuji TV, kami mengunjungi Patung Gundam yang berada di depan, Diver City Tokyo Plaza. Ukuran gundam ini dibuat 1:1 dengan cerita di serial kartunnya. Kami bertemu dengan pelancong lokal Jepang. 1 keluarga. Kami sempat membantu mereka untuk mengambilkan foto keluarga di depan patung Gundam tersebut.

– Foto: Saya dengan Patung Gundam –
Kami lupa bahwa perut kami belum terisi apapun sejak pagi. Kami menuju sebuah convenient store yang ada di dalam stasiun Fuji TV. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, salted onigiri dan telur rebus adalah satu-satunya menu yang berani kami makan. Setelah agak kenyang, kami melanjutkan perbincangan tentang masa kecil. Tentang film-film kartun yang kami tonton. Tentang kisah Nurul yang berebut remote TV dengan mas Haris di hari Minggu. Tentang saya yang harus pergi ke rumah tetangga untuk bisa menonton acara kartun di televisi. Tentunya selera saya harus disesuaikan dengan selera tetangga. Salah satunya adalah, serial Sailor Moon. Karena kebetulan anak tetanggaku yang punya televisi kala itu adalah seorang perempuan. Perbincangan ditutup dengan menghabiskan teh tarik.
Setelah memanjakan kami dengan menu yang itu-itu saja, kami pergi ke bagian atas gedung Fuji TV. Saya sendiri lupa di lantai berapa. Yang jelas kami menaiki eskalator yang cukup tinggi di atrium Fuji TV. Di lantai atas kami berfoto-foto dengan legenda-legenda kartun era 90an. Dan Nurul pun berfoto dengan tokoh favorit kami. Arale. Hal ini bukan tanpa sebab. Entah, sesekali dalam gurauan di sela-sela kebersamaan kami, dalam bercanda, aku kadang mengejek Nurul dengan istilah wajah besar, dan ia mengejekku dengan kalimat yang sama bahwa wajahku jauh lebih besar. Kemudian kami menyanyikan lagu “Wajah besar … wajah besar … wajah besar … tidak …” Kekanakan? Bukan, ini romantisme ala kami.

– Foto: Nurul dan Arale, sudah mirip belum? –