Keesokan harinya …
Setelah menikmati onigiri rasa telur ikan salmon (mentah), kami kapok untuk membeli onigiri dengan campuran apapun itu. Yang kami cari adalah salted onigiri. Nasi plus garam. Aman dan halal. Ditambah telur rebus. Dan tak lupa teh tarik. Harga sekali makan untuk menu tersebut sekitar 250 – 300 Yen. Agar lebih variatif, terkadang mini market juga menyediakan edamame. Namun harganya lebih mahal daripada onigiri.
Hotel kami tepat berada di atas stasiun Bakurocho. Stasiun ini dilewati oleh Sobu line yang merupakan jaringan kereta milik pemerintah yang lebih di kenal dengan JR. Di hari kedua, kami berencana menuju ke Odaibu. Hanya saja wilayah ini tidak dijangkau oleh JR. Jika ingin ke sana ada beberapa opsi. Dan opsi yang menurut kami paling hemat dan murah adalah menggunakan jaringan Toei. Logo dari jaringan ini adalah lebah berwarna hijau.
Kami membeli Toei one day pass. Dengan 700 yen kita bisa naik Toei Subway (Asakusha Line, Mita Line, Shinjuku Line dan Oedo Line) dan Toei Bus. Kami memulai perjalanan dari stasiun Toei terdekat yaitu Bakuroyokoyama. Dari stasiun in kami naik Shinjuku line menuju stasiun Morishita. Inilah pertama kalinya kami naik subway di Tokyo. Suasana antrian di peron stasiun cukup lengang. Papan kedatangan kereta menunjukkan bahwa kereta akan tiba dalam waktu 5 menit. Seiring menunggu kereta tiba, perlahan tapi pasti antrian di belakang kami bertambah panjang dan mengular. Kami baru sadar bahwa ini adalah jam sibuk.
Kereta datang. Beberapa penumpang keluar dari dalam kereta. Kini giliran kami masuk. Dan benar, kereta begitu sesak. Aku terus menggandeng tangan Nurul agar tidak terlepas. Terasa dorongan demi dorongan dari belakang. Sepertinya semua orang memaksa masuk ke dalam gerbong. Mereka berkejaran dengan waktu. Aku terjepit di antara manusia berpakaian tuksedo lengkap. Tanganku tiba-tiba saja terlepas dari Nurul. Aku takut kami terpisah. Sejauh pengalamanku, satu-satunya ia melakukan perjalanan sendiri adalah ketika ia harus pulang dari Manchester ke Bali. Itupun setibanya di Bali dijemput oleh keluarga kami. Selain itu, ia tidak pernah melakukan perjalanan sendiri. Entah kenapa dalam perjalanan-perjalanan seperti ini terkadang muncul rasa takut kehilangan dia. Muncul rasa was-was seaindainya kami terpisah di negeri orang. Padahal bisa saja teknologi komunikasi seperti WA atau Facetime menyelesaikan masalah itu. Tapi tetap saja rasa itu muncul.

– Foto: Lega setelah berhasil keluar dari kereta –
Kami harus berhenti di Morishita. Saya berdoa peron stasiun ini dekat dengan sisi pintu tempat kami berdiri agar tidak susah kalau mau keluar dari gerbong. Hanya dua stasiun dari Bakurokoyama, terdengar suara dari speaker dengan logat bahasa Jepang “Morishita … Morishita … “ pertanda kami harus turun. Aku memberikan tanda kepada Nurul agar berhati-hati.
Kereta berhenti. Dan rupanya pintu disisi yang jauh dari kami yang terbuka. Nampaknya sedikit sekali penumpang yang turun. Kami harus bisa menembus kerumunan orang yang berdiri di depan kami. Nampaknya akan sulit bagi kami untuk bisa keluar dari gerbong. Namun, kami tidak menyerah. Pengalaman tiga tahun lalu memang sangat berharga. Kalimat ini sangat ajaib apabila kita membutuhkan pertolongan di Jepang. “Sumimase … “ begitulah aku ucapkan kata itu dengan logat jawaku. Dan orang-orang didepanku pun secara teratur memberikan kami jalan untuk keluar dari gerbong. Di antara mereka ada yang harus keluar kereta terlebih dahulu untuk kemudian masuk lagi. Dan penumpang yang di luar pun tidak masuk kereta sebelum semua penumpang yang berhenti di stasiun itu keluar. Satu kata untuk orang Jepang, tertib.