Sehabis bersihkan badan dan shalat, waktu menunjukkan pukul 19.00. Tokyo, kota metropolitan yang super sibuk ini tidak mungkin bisa dijelajahi keseluruhannya dalam waktu lima hari. Yang bisa kami kerjakan adalah mengoptimalkan waktu yang kami punya untuk mengunjungi tempat-tempat yang memang mainstream para pelancong pergi ke sana. Kebetulan lokasi hotel tidak begitu jauh dari pusat elektronik terkenal di Jepang, Akihabara.
Dengan berjalan kaki, hanya butuh waktu kurang dari 20 menit untuk sampai di Akihabara. Meskipun gerimis mengguyur, masih banyak kami temui maid waitresses berpayung yang menawari para pejalan kaki untuk singgah ke cafe mereka. Meskipun dari kebanyakan orang itu, kami tidak termasuk di dalamnya. Bisa jadi karena mereka tahu bahwa kami adalah budget travelers, atau bisa jadi karena hijab yang dikenakan Nurul. Memang pramusaji yang berdandan menggunakan kostum pembantu rumah tangga khas negara-negara eropa yang sedikit dimodifikasi (dipotong rok panjangnya menjadi rok di atas lutut) ini menjadi kekhasan distrik yang terkenal dengan gemerlap lampunya di malam hari ini. Tapi tentunya bukan itu tujuan utama kami, melainkan berkunjung ke bangunan nomor 48 di distrik Akihabara. Apalagi kalau bukan AKB 48 yang lagunya dipakai sebagai soundtrack iklan minuman penambah ion tubuh.

– foto: AKB 48 –
Kami pun memasuki bangunan 8 lantai itu. Langsung menuju ke lantai 8 yang merupakan studio dari AKB 48. Meskipun saya tahu bahwa mereka sedang tidak ada pementasan, tapi apa salahnya menyenangkan hati teman seperjalananku. Seperti dugaanku, studio AKB 48 tutup dengan tulisan bahwa tidak ada pementasan AKB 48 hari ini. Setidaknya saya sudah mengantarkan Nurul ke sana.

-AKB 48 Theatre sedang tidak ada pertunjukan-
Setelah itu kami turun beberapa lantai menyusuri pertokoan. Padat sekali. Penuh dengan barang-barang. Di sana kami membeli charger hp karena steker Indonesia berbeda dengan steker Jepang. Ini sangat membantu. Karena HP kami harus tetap hidup agar kami tetap bisa menggunakan google map sebagai penunjuk arah. Pepatah malu bertanya sesat di jalan tidak berlaku di sana apabila kamu tidak mahir berbahasa Jepang.

– foto: wanita, yang dicari selalu kosmetik –
Setelah puas mengelilingi Akihabara dan masih ditemani oleh gerimis, perut kami terasa lapar. Suatu momen yang pas untuk mencari makan. Onigiri. Nurul begitu penasaran dengan nasi kepel khas Jepang ini. Berbekal pengalaman perjalanan 3 tahun yang lalu, teman yang sudah lama tinggal di Jepang pernah berpesan bahwa kita harus berhati-hati dalam memilih makanan. Bisa jadi itu mengandung minyak babi atau sake. Begitu kami masuk ke salah satu convenient store, kami langsung menuju ke bagian onigiri. Semua tulisan di onigiri itu berbahasa Jepang. Saya harus bertanya kepada penjaga toko memastikan tidak ada kandungan babi atau sake di dalamnya. Sayangnya komunikasi tidak berjalan lancar. Saya teringat teman di Indonesia, mahasiswa program Bahasa Jepang, Universitas Muhammdiyah Yogyakarta. Seketika, saya foto onigiri yang ada dalam genggaman saya dan saya kirim ke teman saya tersebut sambil bertanya “Apakah ini aman untuk dikonsumsi?” Dia membalas “Aman”. Rasa lapar sudah tak terbendung lagi. Satu onigiri seharga 112 Yen dan satu botol teh tarik kami beli.
Setelah keluar dari toko kami mencari tempat untuk duduk. Karena kami meyakini sunnah rasul bahwa kalau makan harus dalam posisi duduk. Pesan masuk ke WA saya. Dari teman saya tersebut. Awas itu amis. Nurul yang kelaparan sudah terlanjur makan onigiri tersebut. Ia nyaris memuntahkannya karena rasanya yang memang amis. Saya hanya makan bagian tepi onigiri. Jadi yang saya rasakan hanya nasi. Tapi Nurul yang terobsesi dengan onigiri terpaksa menghabiskannya, meskipun harus diiringi dengan menahan nafas. Saya mengirimkan pesan lagi kepada teman saya itu “itu rasa apa sih?” ia menjawab “telur salmon.” Orang jepang suka sekali dengan bahan makanan mentah. Dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasa telur ikan mentah. Saya bertanya pada Nurul “Kenyang?”. Ia menjawab “Ya kenyang, tapi aku butuh minum. Amis banget mas…!” Saya hanya bisa menahan tawa, melihat ekspresi wajahnya.
Nanti akan saya ceritakan, bahwa pengalaman makan onigiri ini membawa hikmah untuk perjalan kami berikutnya.

– Bonus foto: Lihatlah koin yang mereka bawa –