Istanbul 4: Balik Ekmek

Tentu saja jawaban Nurul menenangkanku. Semuanya hanya titipan, dengan cara apapun Allah bisa mengambil kembali titipan itu, dan menggantinya dengan hal yang lain yang lebih kami butuhkan. Termasuk uang di dalam saku ku tadi.

Setelah berbincang-bincang dengan seorang remaja masjid, yang lagi-lagi menjelaskan bahwa jumlah wisatawan di Turki khususnya Istanbul turun drastis pasca kejadian-kejadian teror dan kudeta. Ia juga mempertanyakan kenapa aku melepas kaos kakiku, padahal lantai di masjid cukup dingin. Ia menyarankan lain kali jika mau masuk masjid, sebaiknya kau tetap memakai kaos kaki. Dia juga menunjukkan kepada kami Al Quran dalam berbagai bahasa.

“It’s free for you. For all visitors.” ia mengatkan kepadaku.

Aku pun mengambil 2. Satu berbahasa Jerman dan satu berbahasa Inggris. Selain sebagai oleh-oleh, hal ini juga menjadi bukti otentik bagi kami, dan mungkin orang-orang yang kami temui nanti bahwa beginilah dakwah yang dilakukan oelh masjid-masjid di Istanbul. Menarik wisatawan masuk berkunjung ke dalam masjid, dan memperkenalkan nilai-nilai Al Quran.

Setelahnya, perut kami terasa lapar. Harus segera diisi, karena bagian terpenting dalam perjalanan adalah menjaga kondisi fisik agar tetap bisa terus berjalan. Maka dari itu kebutuhan nutrisi harus terpenuhi.

Salah satu rekomendasi tempat makan di Istanbul adalah di daerah Bosporus. Setelah keluar dari komplek masjid Suleymani, kami berjalan menyusuri gang-gang yang jalannya menurun. Beberapa kali kami berpapasan dengan kendaraan barang yang masuk melewati gang-gang itu dan membuat kami harus menepi dan ekstra hati-hati. Apalagi ketika tiba-tiba kendaraan dari belakang muncul. Meskipun jalannya sempit, sepertinya orang-orang di sini tidak mengurangi kecepatan kendaraannya.

DSCF7992

-Jalan Menurun dan Banyak Tikungan-

Setelah berjalan sekitar 20 menit akhirnya kami melihat laut itu. Laut yang kami lihat dari atas masjid Suleymani. Laut yang memisahkan Istanbul menjdai dua bagian. Satu bagian di Eropa dan satu bagian lainnya di daratan Asia. Burung-burung beterbangan di atas selat itu. Di tepiannya para pedagang kaki lima, penjaji minyak wangi, terminal bus dan tram, menunjukkan betapa riuh, ramai, dan padatnya lokasi itu. Angin dari laut yang berhembus kencang membuat wajah siapa saja menjadi pucat kedinginan. Sore itu suhu berada di kisaran 11 – 13 derajat celcius. Sementara perut kami belum terisi.

Di udara dingin itu kami melewati sebuah kios makanan. Asap dari alat panggangan masuk melewati lubang hidung kami. Menembus bulu-bulunya. Menyentuh silia saraf pembau, diteruskan ke dalam oktafori. Otak kami merespon “Makanan apakah ini?”

“What is that?” aku bertanya kepada pemiliki kios makanan itu.

“Smoked fish sandwich.” ia menjawab.

“Can I have one?” saya memesan satu. Hal ini selain untuk penghematan, juga dalam rangka mencoba makanan baru. Kami takut mubadzir apabila rasanya tidak cocok dengan lidah.

“please, have a seat!” pedagang itu memintaku duduk di kursi mini yang telah disediakan.

Kami pun duduk. Di depan kami beberapa orang memakai kemeja lengkap berdasi sepertinya baru pulang bekerja atau sedang istirahat kerja. Beberapa orang mengantri pesanan take away mereka. Di dinding luar kios itu terdapat beberapa macam menu dan harga yang ditawarkan. Nurul menduga-duga nama makanan yang kami pesan. Dan tentunya memprediksi berapa uang yang harus kami bayarkan. Setelah beberapa kejadian yang kami alami, kami harus lebih waspada agar tidak tertipu lagi.

Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Sebuah sandwich ukuran jumbo, dengan roti kurang lebih sepanjang 25 centimeter. Di dalamnya terdapat daging ikan tongkol yang sudah diasapi, sayur, dan perasan jeruk nipis.

“Untung cuman pesan satu non” kataku pada Nurul

“Iya lumayan gede sandwichnya” jawabnya.

Ketika kami asik bergantian memakan sandwich itu, seseorang berbadan gempal dengan brewok tebal memandangi kami. Kami mengangguk menyapanya. Dia membalas dengan senyuman. Kemudian dia mengangkat sebuah botol minuman berwarna merah. Menunjukkan kami cara memakan sandwich ala Turki. Meminum minuman merah itu, kemudian langsung memakan sandwichnya. Yang mengejutkan, dia meminta pemilik toko untuk memberikan kami satu botol minuman berwarna merah itu. Dia yang membayarnya. Di dalam hati kami, semoga ini bukan scam lagi.

DSCF7994

-Kios Makanan-

Kami mencoba meniru cara makan sandwich yang ia contohkan. Menenggak minuman merah itu, dan kemudian memakan sandwichnya. Tapi yang terjadi tidak senikmat yang kami bayangkan, cairan merah itu sangat asam dan asin, seperti kuah acar. Mataku menyipit ketika meminum cairan itu. Rasanya tidak enak sekali. Dan orang-orang disekitar kami tertawa melihat ekspresiku saat meminum cairan itu. Aku bergegas untuk segera menetralisir lidahku denagan memakan sandwichnya. Nurul kemudian ikut mencoba, ekspresinya kurang lebih sama denganku. Kami mencoba melihat komposisinya, ternyata minuman itu adalah Jus Lobak.

Orang yang membelikan kami Jus Lobak itu selesai dengan makanannya. Kami berterimakasih kepadanya. Dia menanyakan darimana kami berasal. Kami menjawab dari Indonesia. Dia kemudian selamat berlibur di Istanbul dan untuk tetap berhati-hati selama di sini. Kamipun berterimakasih kembali.

Setelah sandwich ikan tersebut kami habiskan, tiba saatnya kami untuk membayar.

“How much?” saya bertanya.

“Pay the sandwich only, 6 Lira” ia membalasnya.

Dari harga yang ia minta, kami jadi tahu nama makanan tersebut. Kami menebak berdasarkan menu-menu yang terpampang di dinding tokonya tadi. Untuk menu yang seharga 6 TL ada dua. Untuk memastikannya aku menanyakan kepada penjual tersebut

“What do we call the menu that I’ve just eaten?” aku menanyakan.

“Balik Ekmek” ia menjawab.

Dan kami menyesal hanya membeli satu porsi Balik Ekmek. Dan penyesalan itu selalu datang terlambat. Nanti akan aku ceritakan kisahnya.

 

 

Tinggalkan komentar