Istanbul 2: Manusia (Part 1)

Alat transportasi yang kami gunakan selama di Istanbul adalah Tram. Semua transportasi umum di Istanbul lebih mudah penggunaannya apabila kita menggunakan IstanbulKart. 1 kartu bisa digunakan untuk lebih dari satu orang. Dan tarifnya pun menggunakan tarif flat. Jauh dekat sama. Kala itu masih seharga 1,5 TL. Maka dari itu kita harus berhati-hati dalam menggunakan kartu ini. Jangan sampai kita tap berkali-kali di pintu masuk halte tram, bus, ataupun metro. Bisa-bisa saldo didalamnya habis seketika. Setelah aku masuk halte, maka kartu aku berikan ke Nurul untuk digunakannya membuka palang pintu halte. Kami menunggu tram selama kurang lebih 5 menit. Tujuan kami berikutnya adalah Grand Bazaar, hanya saja ketika kami sampai di depan pintu masuk pasar terbesar di Turki itu, salah seorang yang kami temui disana mengatakan bahwa pasar tutup pada hari Minggu. Kami kurang beruntung. Kami alihkan tujuan kami ke University of Istanbul, karena lokasinya tidak jauh dari sana, hanya sekitar 10 menit dengan jalan kaki.

DSCF7935

= Grand bazaar Tutup =

Jalan di depan kampus University of Istanbul ini sangat luas. Lebih mirip halaman. Jalan terbuat dari batu alam. Banyak burung dara bermain di lapangan tersebut. Di depannya terdapat sebuah masjid. Masjid yang juga sedang dalam tahap renovasi. Suasananya menyenangkan. Nurul bermain dengan segerombolan burung dara. Hingga akhirnya seseorang mendekati kami. Penjual buku. Menunjukkan kami beberapa tempat yang harus dikunjungi di Istanbul. Termasuk di dalamnya masjid Sulaymen. Bahasa Inggrisnyapun cukup lumayan. Hanya saja setelah itu dia meminta kami untuk membeli buku yang dia bawa. Berisi tentang spot-spot pariwisata di Istanbul beserta deskripsinya. Awalnya dia menawarkan seharga 20 TL. Namun kami menolak bahwa kami tidak membutuhkan buku tersebut. Namun dia tetap memohon agar kami mau membeli bukunya. Berapapun harganya. Dia bilang bahwa dia memiliki anak yang harus dia nafkahi. Omsetnya turun sejak ada banyak masalah keamanan di Turki. Saya mengeluarkan uang 8 TL untuk membeli bukunya. Dia kemudian menunjukkan kami arah ke masjid Sulaymen, yang dibangun oleh salah satu sultan Turki. Lokasinya berada di sebelah utara (belakang) University of Istanbul.

DSCF7940

= Di depan kampus istanbul University =

Setelah kejadian tersebut kami bersepakat untuk lebih berhati-hati dalam membuka pembicaraan dengan orang lain. Aku dan Nurul merupakan tipe orang yang sama ketika melihat orang-orang seperti mereka. Rasa tidak tega kami lebih besar daripada rasa tega kami. Kami pun mengingat kejadian setahun yang lalu ketika kami sedang mengadakan perjalanan 7 Hari 3 Kota 1 Cinta yang mana ketika di mushalla stasiun Lempuyangan Jogja, kami bertemu dengan seorang anak yang bercerita tentang pengalamannya menjadi mualaf. Dia menjadi santri di salah satu pondok di kota Malang. Dia pergi ke Jogja untuk menemui ibunya. Hanya saja oleh ibunya dia diminta untuk kembali masuk ke agama sebelumnya. Dia pun kabur hanya dengan berbekal uang 10 ribu. Dia ingin kembali ke pondoknya di Malang dengan naik kereta Prambanan Express kemudian turun di Solo. Sesampainya di Solo, dia akan berjalan kaki hingga sampai ke Malang. Wajah anak itu nampak polos sedikit kumal. Tentu saja mendengar ceritanya kami merasa iba. Ada beban moral jika saya tidak membantunya maka dia akan merasa bahwa saudara muslimnya ternyata tidak memiliki empati. Dan yang paling aku khawatirkan adalah anak ini akan menempuh jalan yang salah. Maka aku meminta uang sebesar 50 ribu kepada Nurul untuk diberikan kepada anak itu. Setidaknya itu membuatku merasa lega, karena tugasku sebagai saudara sesama muslim telah terpenuhi. Aku dan Nurul masuk ke peron stasiun. Menunggu kereta Gaya Baru Malam yang dikabarkan terlambat. Dan kereta Prambanan Ekspress tiba lebih dahulu di peron 2. Aku mencari anak tadi. Tapi ia tidak terlihat di peron. Sesaat terbesit dalam pikiran untuk membuka google. Mencari tahu kasus penipuan yang sering terjadi di stasiun. Salah satunya menggunakan model mualaf seperti yang baru saja kami alami. Dan sekali lagi kami menghadapi hal yang serupa tapi tak sama di negeri nun jauh di sana. Di negeri sejuta menara.

“Yuk mas kita lanjut jalannya?” ajak Nurul

“Ke mana? Ke masjid yang diberitahu bapak tadi kah?” jawabku

“Boleh … Tadi diminta bapaknya lewat sana.” kata Nurul sambil menunjuk sebuah jalan di ujung pagar Universitas Istanbul.

Kami melewati jalan di barat pagar kampus. Jalanan yang sangat lengang dan basah. Yang ada dipikiranku adalah rasa was-was. Semoga tidak ada orang yang bermaksud jahat kepada kami. Iktiar sudah maksimal. Barang yang amat berharga jika sedang berada di negeri orang adalah dompet, paspor, dan BRP (Biometric Resident Permit/Semacam KTP untuk tinggal di Inggris). Semuanya sudah diamankan di saku bagian dalam jaket kami. Karena jika barang-barang ini hilang berarti hilang pula identitas kami. Seperti para imigran yang berdatangan di negeri yang berbatasan langsung dengan Suriah ini.

“Kok sepi jalannya ya mas?” Nurul berkata sambil mengeratkan genggaman tangannya.

“Mungkin karena ini hari Minggu banyak orang memilih beristirahat non, makanya banyak toko tutup dan jalanan sepi seperti ini.” jawabku mencoba menenangkan suasana.

Kami mengikuti rute tembok pembatas kampus. Sesekali kami berpapasan dengan anak muda yang kemungkinan besar mereka adalah mahasiswa. Kebanyakan langkah mereka cepat. Karena memang dengan berjalan cepat bisa mengurangi rasa dingin. Suhu di Istanbul sendiri kala itu menembus 6 sampai 8 derajat celcius. Baru beberapa hari yang lalu bandara Attaturk harus tutup karena badai salju.

Tak terasa sudah 20 menit kami berjalan hingga akhirnya tiba di persimpangan. Kami melihat beberapa toko kelontong berlabel Suleymeni. Artinya kami tidak salah mengambil rute. Nurul meminta berhenti sebentar dan minum. Dari tempat kami berhenti, aku menengok ke kanan. Nampak dari kejauhan kubah dan menara masjid.

“Itu masjidnya, masjid terbesar kedua di Turki.” kataku pada Nurul.

Tepat di luar pagar masjid terdapat beberapa toko cindera mata. Aku melihat magnet kulkas yang ada di salah satu toko. Kebetulan di setiap kota yang kami kunjungi kami selalu membeli oleh-oleh magnet kulkas. Meskipun sebenarnya bisa saja kami beli via toko online seperti ebay atau amazon, tapi kesannya pastilah berbeda. Toko yang kecil dengan penjual yang sudah paruh baya.

“Malaysia?” penjual tersebut bilang kepada kami. Aku rasa dia sedang menanyakan dari mana kami berasal. “No, Indonesia” saya menjawab.

Setelah melihat beberapa design magnet kulkas, akhirnya kami tertuju pada satu design dimana ada tulisan istanbul yang dibentuk dari bangunan-bangunan khasnya seperti masjid dan menara. Pada huruf “I” nya terdapat gambar mata satu. Kami bertanya kepada sang bapak dengan menunjuk simbol mata itu, yang tidak hanya terdapat pada design yang kami pilih tetapi juga beberapa souvenir Turki lainnya. Dengan bahasa Inggris sebisanya sang bapak menjelaskan “Fortune”. Kami menyimpulkan bahwa ini adalah semacam jimat keberuntungan atau semacam dream catcher nya orang Turki. Simbol ini paling banyak ditemukan pada kalung atau gelang dari bahan kaca fiber berwarna biru. Belakangan kami baru tahu bahwa benda itu bernama Nazar Bonjuk atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Turkish Devil Eyes.

Mumpung hendak ke masjid, akupun menanyakan kepada bapak penjual kalau ada kopiah merah khas Turki. Awalnya dia salah menangkap perkataanku. Beliau menyodori saya topi detektif. Aku menggelengkan kepala. Kemudian beliau mengajak kami masuk. Di dalamnya kami melihat tumpukan karpet dan sajadah. Ada juga kerajinan-kerajinan dari bahan logam seperti pedang khas Ustmani, serta beberapa kaos dan baju bergambar bendera Turki. Saya mencoba memandangi satu sudut ke sudut lainnya barangkali aku bisa menemukan kopiah merah yang aku cari. Tapi tidak ku temukan. Kemudian sang bapak tiba-tiba saja masuk ke dalam dan memintaku untuk menunggu. Dan tiba-tiba saja dia keluar dengan setumpuk kopiah merah. Beliau memilihkan satu untukku, akan tetapi tidak muat di kepalaku yang cukup besar ini. Satu persatu aku coba kopiah-kopiah itu. Wajahnya seperti berharap-harap cemas agar ada kopiah yang pas untuk kepalaku. Sambil mencoba kopiah-kopiah itu aku mendengar sedikit curahatan dari sang bapak pemilik toko bahwa akhir-akhir ini omsetnya menurun. Jumlah wisatawannya juga turun. Syak wasangkapun muncul dalam hatiku, menanyakan motif yang sama dengan penjual buku yang kami temui tadi. Akhirnya aku menemukan topi yang muat di kepalaku. Ku lihat harga yang tertera 15 TL.

“I wanna take this.” kataku padanya.

“Ok. It looks good on you.” jawabnya sambil tersenyum

Diapun kemudian menjumlahkan uang yang harus kubayarkan. Ia menunjukkan kalkulatornya. “18” aku berikan uang 20 TL. Dan ia mengembalikan 2 TL. Ternyata dia pedagang jujur. Masa-masa sulit tidak membuatnya kehilangan kehormatan dengan meminta-minta. Atau setidaknya berpura-pura menolong untuk kemudian meminta imbalan di akhir. Kami pun berpamitan kepda beliau. Di akhir aku menanyakan namanya. Ia menjawab “Ahmet”. Dan aku meminta kenang-kenangan untuk berfoto bersama di dalam tokonya.

Bareng Penjual

= Foto Bersama Rahmet =

Setelah dari Toko pak Rahmet, kami langsung menuju ke area masjid Suleymen. Berdasarkan informasi dari pak Rahmet, pintu itu merupakan pintu belakang. Untuk masuk lewat pintu depan kami harus berputar cukup jauh. Maka sebaiknya kami masuk melalui pintu itu saja. Ukuran pintu masuknya seperti pintu-pintu rumah pada biasanya.  Dari pintu gerbang kecil itu kami disambut oleh kompleks pemakaman. Bentuk nisannya tinggi-tinggi menjulang. berhiaskan kaligrafi tulisan arab. Di antara nisannya terdapat tanaman mirip dengan daun pandan.

Selain kompleks pemakaman, kami juga melihat beberapa mauseloum yang didalamnya juga terdapat makam. Dari sini sudah nampak bahwa orang yang dimakamkan di dalam itu memiliki strata sosial yang lebih tinggi daripada mereka yang dikuburkan di luar. Setelah mencari tahu dari tulisan di sekitar dan secara diam-diam ikut mendengarkan penjelasan pemandu wisata yang kebetulan ada di sana, kami baru tahu jika makam di dalam bangunan itu adalah makam Sultan Suleymen, sang Hareem, beserta keluarga dan penerusnya. Beberapa orang nampak berdoa di depan makam dan memberikan kecupan jarak jauh. Akupun ikut-ikutan tingkah para peziarah itu namun tujuannya hanya untuk menggoda Nurul yang cukup tegang saat berada di kompleks pemakaman.

Setelah dari area pemakaman kami menuju ke area samping masjid. Dan kami baru sadar jika masjid ini terletak di bukit yang cukup tinggi. Sehingga vie kota Istanbul dari kota ini sungguh indah. Dari sini kita juga bisa melihat selat boshporus dan menyaksikan tegaknya menara Galata, sebagai menara pengawas pertahanan kota di zaman Ottoman.

DSCF7959

= Pemandangan Kota Istanbul Dari Halaman Masjid Suleymen =

“Coba kamu lihat ke arah sana non. Ke arah menara itu. Di sana dulu Al Fatih dengan pasukannya menaikkan kepal menghindari rantai yang dipasang oleh konstantinopel di sepanjang laut itu sehingga kapal-kapal pasukan Al Fatih tidak bisa menembus ke dalam.” ceritaku pada Nurul.

“hah luar biasa Al Fatih ya mas …” jawab Nurul.

“Tapi korbannya banyak non, sama-sama banyak baik dari pasukan Al Fatih maupun konstatinopel. Ribuan.” Nurul ku ajak diskusi.

Beberapa saat kemudian seorang pelancong meminta kami untuk mengambilkan gambarnya berlatar masjid Suleymen. Dari logat dan wajahnya pelancong ini kemungkinan dari India. Sudah ada 10 gambar yang coba saya ambil, tetapi si Mithoon ini tetap tidak puas dengan hasilnya, dan yang terakhir dia memintaku untuk mengambilkan gambar karena dia belum pakai kacamata hitamnya. Bersyukurlah orang-orang yang dalam perjalanannya mampu mengambil pelajaran, tidak hanya berpose ria dengan latar objek wisata.

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar