Pada zaman dahulu kala, guru-guru di Indonesia ini diproduksi oleh sebuah sekolah bernama SPG bukan Sales Promotion Girl melainkan Sekolah Pendidikan Guru, setara Sekolah menengah Atas. Kemudian karena dianggap guru harus dipersiapkan lebih matang maka munculah Institut Keguruan Ilmu Pendidikan atau IKIP. Yang satu ii di Indonesia masih bertebaran. Bentuknya pun bermacam-macam ada yang bernama STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan) dan ada pula yang menyatu dengan universitas yang lebih dikenal dengan FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan), namun produksi mereka semua sama yaitu Sarjana Pendidikan atau S.Pd.
Aku sendiri berasal dari Program Studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Jember. Jangan salah menilaiku, meskipun kuliah ku di program studi yang seari-harinya menggunakan bahasa Inggris, tapi aku hanya mengerti kurang dari 50% dari apa-apa yang dosenku jelaskan dan yang aku baca di buku teks. Itu karena memang dari kecil aku tidak begitu menyukai bahasa Inggris.
Lalu kenapa aku bisa mengambil program studi itu?
Alasannya pun mungkin bagi kalian tidak masuk akal. Aku hanya ingin menaklukkan kelemahanku saat itu. Aku ingin bisa berbahasa Inggris. Makanya aku belajar bahasa Inggris. Dan hasilnya? Tidak jelek-jelak amat. Aku sekarang tahu bahwa kata “I” tidak harus selalu di ikuti oleh “am”. Ia bisa diikuti oleh kata-kata yang lainnya.
Beberapa waktu yang lalu dalam perjalanan pulang ke Banyuwangi, saya dan Nurul menyempatkan untuk sejenak bernostalgia di kampus FKIP Gedung 3 Universitas Jember. Memang FKIP Unej memiliki 3 gedung. Gedung pertama berada di belakang Masjid Kampus, gedung kedua telah diakuisisi oleh Fakultas Farmasi, dan gedung 3 itulah di mana aku dilahirkan.

Keterangan Foto : Di Depan Kampus FKIP Unej, gedung 3.
Kata pepatah, “don’t judge a book from its cover”. Lumayan kan bahasa Inggris saya? So, jangan nilai FKIP dari penampakan gedung yang ada di belakang saya ini. Kelihatannya saja bagus, dalamnya? Tentu lebih bagus lagi. Saya sendiri belum pernah menikmati proses belajar mengajar di sana. Pernah sekali oleh bunda Wiwiek Istianah diminta untuk menjaga adik-adik yang lagi ujian. Hanya itu saja kenangan saya dengan gedung yang sudah tidak baru ini, selain tentunya mengurus hal-hal administratif di bagian kemahasiswaan.
Saya menikmati sekali sudut demi sudut kampus ini. Mencoba mengingat kembali kenangan dengan sang mantan teman-teman tercinta yang lebih banyak ngobrolin masalah politik ketimbang urusan akademik, padahal kami bukan anak FISIPOL. Sambil ngobrol sambil berharap ada sms masuk ke salah satu nomor kami dan itu dari dosen yang mengatakan bahwa tidak ada kelas hari itu. Namun, jika Allah berkata lain, kemudian langkah dosen dari ujung bangunan mulai terdengar, maka saat itu kami berlomba masuk ke dalam kelas untuk mendapat tempat duduk di bagian yang paling depan belakang. Jangan digeneralisasi, hal itu dilakukan hanya oleh sebagian dari kami. Sebagian Besar. Termasuk saya.
Galau sudah menjadi rutinitas saya kala itu. Menulis status di friendster dengan kalimat-kalimat yang menurut saya saat ini adalah alay menggelikan. Kemudian pindah ke facebook di semester 4 sebagai tempat curhat. Bisa dibilang jika bertemu dengan bang Ruhut Sitompul maka dia akan bilang “Lelaki Macam Apa Pula Kau Ini…”
———————————————————————————————-
Kampus ini mencetak guru. Tapi saya baru sadar jika di masa akhir-akhir kuliah saja saya senantiasa berpenampilan seperti guru ketika ke kampus. Sebelum itu, lebih banyak mirip rocker yang gagal mengikuti audisi ajang pencarian bakat. Celana robek di bagian lutut, rambut mohawk, kemeja jarang dikancingkan. Betapa ketika hari ini saya hrus melihat foto-foto saya semasa di kampus dulu, rasanya ingin senyum-senyum sendiri. Apalagi jika sampai foto tersebut ketahuan oleh Nurul, mungkin saya bisa dibully selama tiga bulan berturut-turut.
Dunia kampus itu dunia penuh persaingan, satu dengan yang lainnya berlomba untuk dapat IPK terbaik. Kala itu anak yang paling menonjol di antara kami ada 3 orang saja, Bilqis, Putri, dan Eka. Saya? Saya hanya butiran debu di antara tumpukan pasir dan semen. Tugas dikerakan 2 jam sebelum batas terakhir mengumpulkan. Pernah dimarahi dosen di kelas IC yang 18 SKS (dapat C pula) karena tertidur saat pembelajaran. Memiliki satu nilai D di dalam transkripnya, karena tanpa “D” saya yakin saya akan tidak bisa WISUDA, tetapi WISUA. Sehingga Bisa lulus saja, saya sudah senang minta ampun.
Selama di kampus, aku paling hobi membawa keliling tumpukan berkas skripsiku. Membuat getir semua teman-teman seangkatan kala itu. Bahkan kakak angkatanku. Aku mendengar dari seorang teman, bahwa melihat teman sudah mengerjakan skripsi sementara kita belum apa-apa itu sungguh menyakitkan. Aku hanya tersenyum dan menyemangatinya.
Di saat semua orang kehilangan kepercayaan bahwa mahasiswa bahasa Inggris tidak bisa menyelesaikan studinya tepat waktu. Aku yang serpihan debu ini ingin membuktikan bahwa hipothesis itu tidak dapat diterima. Hal ini terasa mustahil tanpa bantuanNya. Aku sudah membuktikan bahwa setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan. Aku pernah menunggu dosen pembimbingku dari jam tujuh pagi hingga jam tujuh malam karena beliau sibuk dengan kegiatan PLPG (sertifikasi guru). Ketika beliau keluar dari ruangannya saya mendapat jawaban telak “Besok pagi saja ya, ini sudah malam”. Maka keesokan harinya, aku datang lebih awal. Begitu beliau keluar dari mobilnya, dia sudah melihatku duduk di pelataran kampus. Dan yang mengejutkan adalah, beliau hanya menandatangani saja naskah skripsiku tanpa revisi, dengan satu kalimat meluncur dari mulut beliau “Saya percaya dengan kesungguhanmu”. Dan masih banyak perjuangan-perjuangan yang lainnya yang menguras tidak hanya fisik dan tenaga tetapi juga menguras isi dompet. Bagiku 60% ilmu dari masa kuliah ini, aku dapatkan ketika sedang mengerjakan tugas akhir. Disini aku belajar tentang filosofi Man Jadda Wa Jadda bahwa siapa yang berusaha sungguh-sungguh pasti ada jalan, bahwa lakukan yang terbaik dan biarkan Allah yang menentukan hasilnya.

Keterangan Gambar: Itu tempat mahasiswa prodi bahasa Inggris berkumpul dan mengobrol. Nah itu helm siapa? Saya tidak tahu. Yang jelas ada anak lagi duduk-duduk di sana eorang diri, ketika nurul mau mengambil gambar ini, dia berpindah tempat meninggalkan helmnya.

Keterangan Gambar : Ini gambar 7 tahun yang lalu. Dari kiri ada Widi Cahyono, Sulistiya, dan Dyan. Widi dan Sulis adalah kasih tak sampai. 😦
4 tahun lebih sedikit saya bersama teman-teman berjuang untuk bisa lepas dari cengkraman Prodi Bahasa Inggris. Satu per satu pula kami harus dipisahkan oleh waktu. Seperti yang saya jelaskan di awal bahwa saya masuk program ini berawal dari nol sama sekali tidak bisa. Dan saya sudah membuktikan jika manusia itu berusaha sungguh-sungguh pasti juga akan menemukan jalan. Dan saya harus menjadi orang-orang yang meninggalkan teman-teman saya lebih awal. Bukan karena saya pintar, bukan pula saya ingin move-on, melainkan karena kondisi ekonomi keluarga yang memang menuntut saya agar lulus lebih cepat dan mungkin juga karena usaha saya yang sedikit lebih besar daripada yang lainnya, sehingga Allah kasihan kepada saya dan menurunkan rahmatnya.
Dan konsekuensi yang harus saya terima adalah bahwa saya harus berfoto wisuda sendiri, tanpa teman, tanpa pendamping wisuda di depan patung Triumviat Pendiri Universitas Jember.

Keterangan Gambar : Wisuda Sendiri, Tak ada yang menemani. Bahkan aku tak menyaksikan seorang temanpun di hari wisudaku. 😦

Keterangan Gambar : 6 tahun setelah wisuda. Patung triumviraat masih tetap ukuran badannya, sedangkan saya agak sedikit melar.
Teman-temanku adalah seperti lawan berlari. Kita bersaing untuk saling menjadi yang tercepat untuk mencapai finish, tapi tetap kita sama-sama menikmati permainan itu. Hingga pada akhirnya tidak ada pemenang sejati, yang ada adalah kebahagian selama kita memerankan pemain di permainan lari itu. Kalaupun ada kebahagiaan bagi seorang pemenang, itu hanya hegemoni sesaat. Dan hanya secuil. Setelah itu hilang. Yang tersisa hanya kenangan. Kenangan indah.
Aku sendiri tidak tahu, apakah aku bisa berlari sekencang ini tanpa teman-temanku itu. Tanpa hasrat untuk berkompetisi. Kita hanya jalan di tempat. Tidak kemana-mana.
Aku merindukan kompetisi itu. Aku sudah mendaftar sebagai peserta dan aku diterima. Aku ingin belajar lagi. Aku ingin berlari lebih kencang lagi. Aku ingin keluar dari kenyamanan yang melenakan ini. Bukan untuk menjadi yang terbaik, tetapi untuk melakukan yang terbaik dan lebih baik lagi. Dan tentunya dengan lawan dan tantangan yang lebih tangguh lagi.
See you again fellas…