Semangat Sebatang

Jumat, 30 Oktober 2015

Jam tanganku menunjukkan pukul 20.00. Nurul mengantarku ke gerbang depan perumahan. Aku hendak ke terminal Bungurasih, hendak ke Jogja lebih tepatnya. Kali ini, Nurul tidak ikut bersamaku, ibu sedang berkunjung ke rumah kami. Tidak mungkin kami berdua meninggalkan beliau sendiri di rumah.

20 menit kemudian, Angkot yang ku tumpangi menurunkanku di pintu keluar bus antar kota terminal Bungurasih. Ku cocokan jam tangan ku dan jam dinding terminal. Jam tanganku ternyata 10 menit lebih cepat. Banyak penumpang menunggu bus di pintu keluar, padahal sudah ada larangan dari otoritas terminal untuk memberhentikan bus di sana. Memang saat akhir pekan, pengguna transportasi bus ini cukup padat.

Di peron terminal aku menunggu bus Eka yang tak kunjung datang. 10 hingga 15 menit berlalu, bus yang ku tunggu datang juga. Hanya saja ia sudah membawa penumpang yang cukup banyak. Ditambah kami para penumpang yang menuggu cukup lama saling berebut. Padahal berebut adalah hal yang sebisa mungkin aku hindari. Lebih baik aku mengalah. Mungkin mereka yang saling berebut itu memang harus segera sampai ke tempat tujuan mereka dikarenakan istri yang hendak melahirkan, kerabat yang meninggal, atau alasan-alasan yang lain yang membuat mereka saling berebut.

image

Satu dua tiga bus sudah melewati peron dengan kondisi yang sama. Sudah satu jam lebih aku berdiri di peron. Para calon penumpang semakin sedikit. Dari kejauhan ku lihat sebuah harapan. Bus Eka yang belum berpenumpang. Aku mencoba menghitung-hitung dengan kalkulator kepalaku, membandingkan jumlah calon penumpang yang ku lihat dan jumlah kapasitas bus kemungkinan aku bisa naik bus ini. Perhitungan manusia sungguh berbeda dengan perhitungan Tuhan, segerombol pemuda datang ikut berebut menaiki bus tersebut. Pintu bus ditutup tanda kursi sudah penuh. Untuk kesekian kalinya masih harus menunggu. Beberapa meter bus berjalan, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kondektur. “Satu orang… satu orang…!”. Para penumpang saling pandang, sepertinya mereka pergi berkelompok sehingga ada perasaan tidak enak jika harus meninggalkan rombongannya lebih dulu. Aku berlari. Menjemput kesempatan itu. Mendapatkan kursi di belakang. Tak mengapa, aku tidak sabar bertemu para sahabatku.

Hari berikutnya, pukul 04.00 alarm dari handphone ku membangunkanku. Aku melihat keluar. Masih berada di daerah Klaten. Mungkin satu jam lagi aku akan tiba di Jogja. Ku ambil tayamum kemudian shalat subuh di atas bus. Satu jam berlalu, ku teguk air mineral fasilitas bus. Semakin tak sabar bertemu dengan para sahabat. Aku hubungi Praditya “Adit” Janu, teman yang akan menjemputku. Kabar baiknya, ada teman-teman dari Bandung yang juga akan ia jemput. Bersama-sama, mungkin itulah yang bisa menambah semangat apa-apa yang akan kita kerjakan saat ini dan dikemudian hari.

Aku berhenti di daerah bernama Janti. Pintu gerbang kota Yogyakarta. Di sambut sopir taksi, pengemudi ojek, dan tukang becak yang menawarkan jasa mereka. Serasa artis yang baru keluar dari ruangan pemutaran perdana film yang ia bintangi, kemudian dimintai tanda tangan. Wajah Adit belum nampak. Lagi-lagi aku harus menunggu. Menunggu bagi sebagian orang adalah hal yang membosankan. Padahal menunggu adalah latihan kesabaran. Bukankah kita semua sedang menunggu sesuatu yang pasti datang?

Aku tak lagi sendiri dalam perjalanan kali ini. Ada teman-teman Sabilulungan; mas Aris, mas Johan, mas Wahyu, mas Februariyanto, mbak Mila, dan mas Rifki. Mobil APV coklat milik Adit mengantar kami ke tujuan utama kami. Dukuh Sebatang, Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Itu adalah desa binaan kami, para pemuda yang banyak hutangnya kepada masyarakat Indonesia, yang kelak tentunya akan ditagih oleh masyarakat Indonesia tentang hutang-hutang kami yang harus kami pertanggungjawabkan itu.

image

Dari jalan propinsi, jalan tanjakan, jalan bergelombang, jalan menurun yang tajam kami lalui. Pemandangan di kanan kiri kami pun tak kalah menarik untuk menjadi perhatian. Daun-daun yang gugur. Menunjukkan hujan masih belum sampai ke tempat ini. Waduk Sermo pun nampak surut. Inilah secuil dari keindahan bumi Indonesia tercinta.

Di rumah singgah, kami disambut oleh mas Burhanuddin Azis. Mas Azis menjelaskan bahwa ada 3 kegiatan pada hari itu secara bersamaan di Sebatang. Pelatihan guru PAUD, Workshop Jathilan, dan Sosialisasi EDS. Mas Aziz mengantar ku ke SD Muhammadiyah Menguri. Aku disambut oleh si Mbok Lail, mbak Ratna, dan mas Henry Juga gelak tawa ceria semangat anak-anak SD Muhammadiyah yang sedang bermain kasti.

image

Aku masih percaya bahwa tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib bangsa ini menjadi lebih maju selain lewat jalur pendidikan. Dan guru memegang peranan penting dalam memproduksi generasi-generasi di masa yang akan datang yang akan memimpin bangsa ini. Jika guru gagal dalam mendidik, maka kita sedang menyiapkan kegagalan masa depan bangsa ini.

image

Setidaknya ada 9 guru yang hadir di hadapanku. Sebagian dari mereka jauh lebih berpengalaman dalam mendidik anak-anak di sekolah. Bapak Bambang Agus misalnya, sudah lebih dari 15 tahun beliau mendidik di SD Negeri Menguri. Dan ia begitu semangat untuk menghadiri pelatihan yang pematerinya lupa bahwa ia belum mandi sejak sore kemarin setelah sekian jam bergelut dengan debu jalanan. Begitu pula dengan guru-guru yang lainnya. Saya melihat ada harapan dari tangan-tangan mulya para pendidik ini akan lahir generasi-generasi yang tentunya lebih baik dari kami. Tak terasa kurang lebih 2 jam saya berbagi pengalaman dengan para guru di Sebatang. Mulai dari sesi motivasi hingga penjelasan pengisian EDS sudah kami lalui. Hari ini aku belajar, bahwa apa yang aku kerjakan tidak seberapa di banding apa yang sudah para guru ini berikan untuk anak-anak di sekitarnya. Aku bisa melihat apa yang mereka dapatkan setiap bulannya mungkin tidak sebanding dengan apa yang mereka terima, tapi komitmen kuat merekalah yang membedakan manakah pejuang sesungguhnya.

Minggu, 1 November 2015

Jam tanganku menunjukkan pukul 04.00 WIB. Terminal Bungurasih masih lengang. Nurul mengirimkan pesan “Butuh jemputan, sms ya cinta…” Aku tersenyum. “Tolong antar ke Anggaswangi pak” kataku pada sopir taksi.

image

Tinggalkan komentar