“Aku… pulang dari rantau, bertahun-tahun di negeri orang, oh Malaysia…”
Lagu dari Maestro Musik Melayu tahun sebelum saya lahir itu dulu sering sekali diputar oleh Papa. Papa memang penggemar berat musik dari yang kalem seperti Said Effendi itu hingga Deep Purple dengan Smoke on the Water nya. Malaysia, sebuah nama yang sejak kecil aku dengar sebagai sebuah negeri perantauan dan sekarang lebih terkenal dengan Upin dan Ipin nya di kalangan anak-anak Indonesia. Yang sangat dibenci oleh suporter fanatik Timnas Indonesia akibat ulah mereka mengalahkan Timnas di final piala AFF di tahun 2012.
Perjalanan kali ini bukan disebabkan rasa penasaran akan masa kecil, bukan karena upin ipin, atau bukan karena untuk membalas dendam atas kekalahan Timnas. Perjalanan ini dikarenakan Tiket 0 Rupiah yang ditawarkan oleh AirAsia dengan rute Surabaya – Kuala Lumpur.
Kami berangkat dari bandara Juanda pada tanggal Jum’at 12 Juni 2015 pukul 18.30 WIB dan tiba di KLIA2 pukul 22.00 Waktu Malaysia yang selisih satu jam lebih cepat dari Surabaya.
Aroma perbedaan antara Indonesia dan Malaysia yang notabene satu rumpun ini sudah terasa sejak kami menginjakkan kaki di bandara yang sangat luas dan megah ini. Padahal menurut si mbah, bandara ini merupakan bandara pengganti LCC alias bandara untuk maskapai dengan tarif rendah. Tujuan pertama kami, seperti kebanyakan pelancong setelah datang di sebuah stasiun atau bandara, adalah satu tempat istimewa. Toilet. Toilet di bandara ini sangat bersih. Saya jamin kalian cukup kerasan berada di dalamnya.
Setelah itu kami menuju Imigrasi. Kami pikir, karena saking banyaknya Tenaga Kerja Indonesia illegal asal Indonesia, kami akan kesulitan menembus barikade imigrasi Malaysia. Nyatanya sebaliknya, saya lolos tanpa syarat dan tanpa interograsi apapun meski hanya berupa pertanyaan dengan logat melayu “Kapan awak nak balek Indonesia?”
Kami makan malam di salah satu restoran cepat saji di KLIA2 karena kami pikir makan di fastfood adalah yang paling aman karena saranya yang “standar”. Kami dijemput oleh teman lama Nurul yang sudah menetap kurang lebih selama Lima Tahun di Malaysia. Sebut saja namanya mbak Yessi. Seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu (emang kenyataanya sudah lama tidak bertemu) si Nurul dan mbak Yessi melepas rindu mengingat memori jaman susah kala sama-sama satu kamar kos 14 tahun yang lalu.

Tujuan kami Putrajaya. Kota cyber tempat tinggal mbak Yessi dengan keluarganya. Kota ini merupakan kota Pusat Pemerintahan Malaysia. Mulai dari Istana raja hingga bangunan-bangunan kementerian atau yang biasa dikenal dengan “Ibu Pejabat” semuanya berada dalam satu kawasan Putrajaya.

Kami ke Putrajaya menggunakan moda transportasi KLIA Transit. Harganya kurang lebih 8 Ringgit untuk satu orang penumpang. Namun kala itu kami tidak perlu membayar, mbak Yessi yang membelikan tiket kami. (Rejeki anak Sholeh).
Berbincang dengan beliau yang sudah lama menetap di negeri orang menumbuhkan sebuah pertanyaan yang tentunya aku sendiri tahu jawabanyya. “Apakah ia tidak merindukan kampung halaman?” Ia sendiri bercerita jika Bapak dan Ibunya dan banyak dari familinya yang sudah pindah ke Malaysia. Tentunya alasan finansial menjadi alasan utama. Negara tidak mampu memenuhi hajat hidup rakyatnya, sehingga banyak dari rakyatnya harus rela menjadi “anak tiri” di negara lain. Ya, anak tiri. Itulah nasib para tenaga kerja kita di sana terutama bagi mereka yang berstatus ilegal.
Rumah mbak Yessi sendiri berbentuk flat. Hampir mirip sebuah apartemen. Selain dengan suami dan anaknya yang masih balita, ia tinggal dengan beberapa Tenaga Kerja Indonesia yang menyewa kamar di rumahnya. Saya ngobrol cukup banyak dengan salah satu bapak yang berasal dari Blitar. Tentang kerinduan akan kampung halaman. Namun tidak bisa untuk pulang ke Indonesia disebabkan Paspornya yang sudah habis masa berlakunya. Jika ia kembali ke Indonesia lewat jalur standar, ia harus berhadapan dengan imigrasi Malaysia, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara. saya jadi mengerti kenapa mereka tidak kembali ke Indonesia, bukan karena tak rindu, tetapi lebih karena tak mampu.

Ketika diskusi saya lanjutkan dengan sebuah pertanyaan “bagaimana terus apabila keberadaan anda diketahu Polisi Diraja Malaysia?” beliau pun menjelaskan jika kita beruntung kita bisa membayar mereka beberapa ringgit agar dilepaskan atau di Indonesia lebih sering dikenal sebagai uang damai, apabila sedikit tidak beruntung, si polisi akan meminta uang yang lumayan banyak, dan apabila bernasib sial maka kita harus bersiap-siap untuk masuk penjara. Bagi saya Malaysia dalam hal ini korporasi membutuhkan pekerja-pekerja kasar yang ilegal seperti bapak ini tentunya dengan alasan yang sama. Pekerja illegal sama dengan bayaran yang murah.
Banyak cerita yang ingin saya gali kala Subuh itu, hanya saja sang bapak harus segera menyambung hidupnya. Sebakda subuh adalah kondisi yang aman apabila ingin bepergian. Jarang sekali ada razia di kala subuh.
Sungguh, banyak pelajaran berharga bagi kami bahwa kami harus senantiasa bersyukur karena kami banyak diberi kemudahan di sini, kami bisa bertemu orang-orang yang kami cintai tanpa perlu khawatir dan was-was, kami bisa bekerja dengan tanpa rasa khawatir akan ditangkap oleh aparat. Semoga perjuangan para sahabat di negeri orang senantiasa diberi kemudahan oleh Allah SWT dan dinilai sebagai sebuah jihad fii sabilillah karena untuk menafkahi keluarga.
(Next Story: Sehari Keliling Ibu Kota Malaysia)