Singapore (Part 13): Last Day

Keesokan harinya kami bangun agak pagi. Singapura masih sepi. Stasiun-stasiun MRT pun lengang. Tidak berjubel seperti kemarin. Setibanya di Harbour Front, warung-warung penjual makanan pun masih tutup. Begitu pula ketika kami memasuki Vivo City.

Kami keluar lewat pintu selatan mall itu. Di seberang sana sudah nampak pulau buatan hasil reklamasi bernama pulau Sentosa. Pulau itu terkenal dengan Universal Studionya. Dan untuk mencapainya kami tidak perlu naik kapal ataupun perahu. Melainkan cukup berjalan kaki saja menyusuri Sentosa Broad Walk. Jembatan yang menghubungkan Singapura dan Pulau Sentosa.

Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit kami tiba di pintu masuk pulau itu. Harga tiketnya 1 dollar. Hanya saja pagi itu tidak ada petugas sama sekali. Baik penjaga loket tiket maupun penjaga pintu masuk. Kami hanya melihat petugas kebersihan. Akhirnya kami memutuskan untuk menerobos masuk saja. Mungkin kala itu terlalu pagi.

Benar saja, di dalam pulau Sentosa, hampir semua tempat hiburannya masih tutup. Sehingga kami hanya bisa mengambil foto dari luar. Kalaupun sudah pada buka, belum tentu juga kami bisa masuk. Karena harga tiketnya mahal.Setelah puas berfoto ria di depan bola dunia khas Universal Studio.

Kami kembali ke Harbour Front untuk sarapan. Menu yang kami ambil cukup unik. Yaitu semacam su yang berisi sea food dan mie. Dan tentunya bersertifikasi halal.

Setelah dari sana, kami memutuskan untuk pergi ke Merlion Park. Setibanya di lokasi yang menjadi ikon Singapura itu, kami bertemu dengan beberapa wisatawan dari Indonesia. Sempat mengobrol dengan beberapa dari mereka. Kebanyakan beregu. Melalui agen travel. Nampak jelas perbedaannya. Kami backpacker dan mereka benar-benar wisatawan.

Kami melewati lorong Jembatan Fullerton. Di sana kami melihat toko oleh-oleh. Kami membeli beberapa oleh-oleh di sana dengan harga yang relatif mahal. Inilah satu-satunya hal yang paling tidak ingin kami ingat. Ingin sekali melupakannya. Tapi tetap saja kejadian ini harus aku tulis di sini. Untuk harga bolpoin khas Singapura kami harus merogoh kocek sebesar 8 SGD, dan kami membeli 2 bolpoin untuk oleh-oleh keponakan kami di Indonesia. Demikian juga ketika kami membeli bingkai foto. Harganya juga relatif mahal. yaitu 10 SGD. Kamipun membeli 2. Total yang kami belanjakan untuk oleh-oleh sekitar 300 ribu jika dirupiahkan.

Setelah dari sana kami kembali ke Hotel untuk mengemasi barang-barang lalu segera menuju bandara. Kala itu waktu menunjukkan pukul 14.00 waktu Singapura. Sedangkan penerbangan kami masih pukul 22.30. Waktu check in pun baru dibuka pukul 21.00 Waktu Singapura.

Kami menitipkan tas di bagian penitipan barang di Bandara Singapura. Satu tas seharga 6 SGD. Rencananya kami mau ke satu spot yang belum kami kunjungi. Yaitu Bugis Street Market. Ya kabarnya di sana ada pasar Bugis yang terkenal itu.

Hanya butuh waktu 20 menit dari stasiun bandara untuk mencapai ke Pasar Bugis. Disiniah penyesala itu muncul. Barang-barang yang kami beli di dekat Merlion Park tadi, dijual jauh lebih murah disini. Bolpoin seharga 8 SGD, di sini hanya 2 SGD. Frame Foto yang seharga 10 SGD di sana, disini juga hanya dihargai 10 SGD tetapi mendapatkan 4 buah frame. Bayangkan betapa menyesalnya kami. Kenapa kami tidak bisa bersabar untuk membeli oleh-oleh di Pasar Bugis yang jauh lebih murah. Ya, kami memang adalah manusia-manusia yang harus belajar bersabar.

Akhirnya kami memutuskan untuk membeli gantungan kunci seharga 10 SGD untuk 40 buah gantungan kunci. Menurut perhitungan kami itu sudah sangat murah. Melihat pagi tadi kami melihat di toko souvernir Merlion Park gantungan kunci itu berharga 5 SGD untuk satu bijinya.

Setelah dari Pasar Bugis kami memutuskan untuk mencari Masjid. Kali ini kami bertemu dengan orang berbahasa Melayu. Entah orang itu dari Malaysia, Sumatra, atau asli Singapura. Hanya saja dari wajahnya, ia lebih nampak Jawa. Orang tersebut memberitahu kami di dekat sini ada masjid. Mungkin orang itu melihat Nurul yang berjilbab. Dan mengetahui bahwa kami ingin ke Masjid Sulthan. Padahal sejatinya kami mencari masjid apapun yang penting kami bisa melaksanakn shalat di sana. Dan beruntungnya kami, remaja masjid tersebut mengadakan bazaar menjelang Ramadahan di mana di sana terdapat kue-kue khas melayu. Kami berkesempatan mencicipi makanan-makanan itu. Cukup enak juga. Terutama untuk mengganjal perut kami.

Masjid Sulthan ada di dekat Arab Street. Dari namanya tentu saja kita tahu bahwa ini kawasan orang-orang Arab. Masjidnya cukup besar untuk kawasan semahal Singapura. Tentu saja harga tanah di sana sangat mahal melihat Singapura memiliki wilayah yang kecil sehingga lahan-lahan tentunya terbatas. Ia memang tak sebesar masjid-masjid di Indonesia. Tapi aku yakin ia jauh lebih mahal biayanya dan juga perjuangan untuk mendirikannya.

Setelah shalat jamak Dzuhur dan Ashar, kami kembali ke bandara. Kami tiba di bandara sekitar pukul 17.00 waktu Singapura. mau tidak mau kami harus menunggu untuk waktu check in. Sewaktu menunggu kami bertemu dengan beberapa perempuan paruh baya. Mungkin usianya sekitar 40an. Mereka hendak pergi ke Qatar. Ya, mereka adalah para Tenaga Kerja Wanita. Pahlawan devisa negara kita. Hanya saja kala itu para ibu itu kebingungan. Mereka terbang dari Bandung bersama-sama 10 orang lainnya. Hanya saja ketiga ibu ini terpencar dari rombongannya ketika melewati gerbang imigrasi. Mereka nampak kebingungan. Penerbangan mereka ke Qatar masih besok siang. Sehingga mereka harus menginap di Bandara. Benar-benar sebuah perjuangan untuk keluarga.

Aku teringat kejadian beberapa tahun silam. Ketika aku masih menjadi guru di sebuah sekolah negeri di Jember. Beberapa muridku adalah anak dari TKW. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa ayah mereka pengangguran. Ibunya mengirimi ayahnya di tiap bulannya. Dari sanalah aku tahu kenapa di desa kecil seperti itu banyak sekali tempat penukaran uang asing. Karena kebanyakan perempuannya bekerja sebagi TKW. Dan yang paling aku sesalkan adalah, tidak sedikit suami-suami dari para TKW tersebut yang nakal. Sudah mendapat biaya bulanan dari istri mereka, mereka malah menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat seperti berjudi, minuman keras, dan yang aling parah adalah berselingkuh. Tidak sedikit dari pria-pria yang tidak bertanggungjawab itu menikah lagi tanpa sepengetahuan istri mereka.Aku berjanji sebisa mungkin aku akan menjadi laki-laki yang bertanggungjawab. Sebisa mungkin pula kebutuhan ibu, istriku, adik-adik perempuanku tercukupi. Setidaknya aku masih terus berusaha untuk mebahagiakan mereka.

Setelah bercerita-cerita cukup lama dengan tiga orang ibu tersebut. Aku berkeliling termina 2 bandara Changi untuk mencari rombongan yang terpisah. Akhirnya kami menemukan mereka. Mereka sedang duduk-duduk di lantai 1 terminal 2 Bandara Changi. Kami pun memberitahu ketiga ibu tadi. Mereka pun mengucapkan terimakasih kepada kami. Kami hanya mendoakan mereka agar mereka senantiasa dalam lindungan Allah dimanapun mereka berada.

Dari layar ku lihat waktu check in kami sudah bisa dilayani. Beberapa menit lagi kami akan meninggalkan Singapura. Kembali ke Indonesia. Kami mengambil beberapa foto di bandara Changi sebelum kami kembali ke Indonesia. Aku yang kelelahan memanfaatkan kursi pijat gratis di sana. Nurul tidur di bangku area tunggu bandara. Beberapa menit kemudian petugas maskapai Mandala Tiger Airlines mempersilahkan kami masuk. Itu termasuk bagian penerbangan akhir Mandala. Karena setelah dinyatakan pailit maskapai ini tidak akan beroperasi lagi beberapa hari ke depan.

Kami berada di atas langit Jakarta. Singapura sudah menjadi kenangan. Saatnya kami melangkahkan kaki menyusuri sudut-sudut ibu kota pertiwi. Inilah perjalanan kami. Inilah safarnama kami.

*this travel diary is tributed to all the victims of AirAsia QZ 8501 Surabaya – Singapura. Peace be with you…

** keterangan gambar: Tangan Nurul dengan tiket Pesawat AirAsia QZ8501 beberapa bulan yang lalu.

Tinggalkan komentar