Sabtu dan Minggu, kemarin kami mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kampung halaman kami di Banyuwangi. Perjalanan kali ini benar-benar penuh keceriaan. Karena di dalamnya tidak hanya kami berdua, tetapi juga para teman sejawat di kantor YLPI Al Hikmah plus anggota keluarga mereka tentunya.
Banyak traveler-traveler kecil yang mengikuti Tour de Banyuwangi Mabes YLPI Al Hikmah. Dari yang usianya masih bulanan hingga yang duduk di bangku SMA.
Rencananya kami berkumpul di stasiun Gubeng Surabaya pada Jumat malam, namun karena beberapa alasan. Bukan bebera sih, satu alasan saja “Jauh”. Maka kami “Aku dan Nurul” memutuskan untuk naik kereta dari stasiun Sidoarjo yang lebih dekat dengan rumah kami.
Satu gerbong kereta Mutiara Timur Malam penuh dengan rombongan mabes Al Hikmah. Setelah ambil beberapa foto kondisi di dalam gerbong aku memutuskan untuk menggelar sajadah. Bukan untuk Shalat. Tapi tidur. Ya paling enak perjalanan malam dikereta itu dimanfaatkan untuk istirahat, karena praktis tidak ada pemandangan yang enak untuk di lihat. Lihat keluar jendela yang muncul malah bayangan wajah sendiri.
Kami tiba di stasiun Karangasem pukul 04.00 WIB. Di jemput kurang lebih 15 trooper. Sementara yang lainnya menuju masjid jami Baiturrahman, Aku menuju rumah menggunakan trooper yang khusus untuk barang. Ke rumah, untuk cium tangan ibu minta doa restu bapak, dan yang merupakan tujuan sesungguhnya adalah mengambil konsumsi rombongan yang alhamdulillah diamanahkan kepada ibu untuk memasakkannya. Setelah shalat aku menyusul rombongan ke masjid Jami.
Di masjid Jami’ Baiturrahman kita bisa melihat Al Quran terbesar di Dunia. Dengan panjang 2 meter dan lebar 1 meter. Namun sayang pada saat itu Al Qurannya lagi disimpan di ruang perpustakaan. Jadi kami hanya bisa melihat dari luar.
Setelah itu kami menuju watu dodol. Watu berarti batu, dodol berarti dijebol. Pantai ini tepat di tepi jalan raya jika kita hendak menuju ke Situbondo dari arah Banyuwangi. Di tengah jalan tersebut terdapat monumen batu bekas galian yang disisakan sebagai sebuah perjuangan pengembangan jalan propinsi. Kami sarapan di tepi pantai itu, memandangi pulau Bali, dan sembari bercengkrama dengan keluarga. Sarapan nasi bikinan ibu. Dari dulu masakan ibuku memang juara 1.

Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Nurul. Ke rumah ibu mertuaku. Rencananya di sana kami akan cuci muka, cuci badan, cuci tangan, dan cuci kaki. Dengan bahasa sederhana, kami akan menumpang mandi. Atas seijin dan takdir dari Allah, aku berjodoh dengan orang yang rumahnya berdekatan dengan Hutan Baluran. Kamu bisa tebak kemana destinasi kami berikutnya kan?
Ya, Hutan Baluran. Sebelumnya aku sempat khawatir. Kami pergi ke Baluran ketika musim penghujan baru datang. Datangnya pun tidak merata. Bahkan menurut ibu mertua, di daerah Galekan (dekat dengan Baluran) belum hujan sama sekali. Dan seperti yang ku bayangkan, kondisi hutannya tidak hijau, melainkan kecoklatan alias kering kerontang. Dan dampaknya hampir sepanjang perjalanan kami tidak disambut oleh sang penghuni semisal Banteng, Merak, Cendrawasih, Kijang, dan Rusa. Kami hanya disambut oleh saudara-saudara kami yang nakal, karena jika kami lengah mereka akan merampas makanan kami. Kera.

Setelah melewati medan yang cukup menantang. Akhirnya kami tiba di savana Bekol. Padang rumput yang luas. padang rumput yang berwarna kuning. Mungkin rusanya akan tersendat saat makan rumput-rumput kering ini. Apakah kondisi ini disebabkan oleh siklus alam ataukah karena ulah manusia, akupun tak tahu. Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang itik.
Di bekol kami hanya berhenti sejenak, kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pantai Bama. Pantainya tidak begitu spektakuler, karena airnya surut. Nothing special beside the menus for lunch. Ya makan siang kali itu terasa istimewa dengan menu nasi Tempong khas Banyuwangi. Tempong berarti Tampar. Bahasa jawanya adalah Kaplok. Rasanya sakit di Pipi. Nasi Tempong berarti nasi yang apabila setelah kita selesai makannya, mulut kita serasa ditampar. Pedas.

Sehabis makan siang dan shalat yang dijamak dan qasar. Kami menuju hotel. Rombongan perjalanan kami bertambah satu, namanya Nayla. Keponakan kami. Anak dari mabk Tutik. Kakak iparku.
Namanya erlian Abadi. Merupakan hotel berkelas pada zamannya dahulu. Tidak untuk sekarang. Tapi lumayan untuk melepas lelah kami. Aku dan Nurul mendapatkan kamar dengan nomor 206. Pilihan di hotel ini jatuh karena satu alasan. Cuma hotel ini yang menyediakan fasilitas kolam renang untuk anak-anak. Dan setibanya di hotel tentu saja anak-anak langsung memanfaatkan fasilitas itu. Termasuk Nayla.
Malam harinya beberapa teman bersilaturrahmi ke rumah ibu. Rumah ku. Tempat masa kecilku dididik dan dihabiskan. Rumah penuh kenangan. Dan aku tidak bisa mengajak semua teman-temanku. Hanya beberapa orang saja. Keluarga Pak Gatot, Pak Edy, dan Pak Nasikhin. Teman-teman satu ruanganku. Karena rumahku kecil, sempit, dan masuk gang. Tapi meskipun kecil hati sang pemilik rumahnya besar.Di rumah kami makan malam dengan menu khas Banyuwangi. Nasi Janganan. Tak usah ku jelaskan. Lagi-lagi masakan ibu memang tiada duanya.
Setelahnya kami mengunjungi kerabat pak Nasikhin di daerah penataban. Setelah berbincang-bincang kurang lebih 30 menit. Kami berpamitan kembali ke Hotel.
Aku jadi ingat bu Vera sang pimpinan rombongan ingin sekali merasakan masakan khas Banyuwangi. Aku sms ibu agar adikku Zidah mengantarkan makanan nasi Janganan ke Hotel. Beberapa menit kemudian ternyata bapakku yang mengantar. Suasana agak gerimis. Bapak datang sendirian membawa bungkusan makanan. Ku lihat bapak semakin tua. Waktu mengangkat nasi pesananan tadi pagi nafasnya terlihat terengah-engah. Tapi ia tak mau mengeluh. Bapakku memang bapak Juara 1. Rupanya ia tak mengijinkan adikku keluar malam-malam untuk mengantar makanan, ia sendiri yang mengantarkan ke hotel. Meskipun malam itu hujan. Hujan mengaburkan linangan air mataku dalam perjalanan kembali ke kamarku.